22

2.6K 164 6
                                    

"Fi, ada titipan"

Alfi yang tengah fokus membaca sambil mengoreksi proposal mendongak saat Zuhdi, tiba-tiba datang dan mengatakan hal tersebut. 

"Apa?"

"Dari Salwa"
Mendengar nama Salwa, rasanya ia tidak bisa untuk tidak menoleh.

Alfi menatap buku bersampul biru muda yang diulurkan oleh sang menteri riset dan aplikatif itu. Buku yang di pinjam oleh Salwa seminggu yang lalu.

"Katanya makasih dan maaf nggak bisa balikin langsung."

"Loh emang Salwanya kemana Zu, kok kamu yang balikin?" Ragil yang tengah sibuk dengan komputer di sudut sekre ikut bersuara.

"Tadi dia buru-buru katanya masih ada urusan penting, makanya dia titip buku itu ke aku."

Alfi mengangguk sambil tersenyum tipis. "thanks ya Zu"

Zuhdi mengacungkan jempolnya. Usai mengambil sesuatu dari loker, laki-laki itu langsung pamit keluar dari sekre.

"Fi, kalian belum baikan ya?" Setelah kepergian Zuhdi. Ragil langsung mematikan komputer dan mendekat ke arah sahabatnya.

Alfi tidak langsung menjawab. Meski fokusnya mendadak pecah, ia berusaha kembali membaca proposal di tangannya. Laki-laki itu terlebih dulu membubuhi proposal tersebut dengan berbagai coretan tinta merah sebagai koreksi.

Semenjak kejadian perdebatan di sekre beberapa hari yang lalu. Hubungan keduanya sedikit renggang, sudah beberapa hari ini Salwa tidak terlihat di sekre. Bahkan untuk membalas pesan dan telepon darinya enggan perempuan itu lakukan.

Entah kenapa dada Alfi terasa sesak saat mengetahui perempuan itu seperti tengah menghindarinya.

"Ngaruh ke kinerja gue Gil?"

Ragil langsung menggeleng, laki-laki yang duduk didepan Alfi itu menegakkan tubuhnya. Saat Alfi sudah menggunakan kata gue, itu artinya ada sesuatu yang benar-benar mengganggu pikiran sahabatnya ini.

"No, aku ngomong gini bukan karena kinerja kamu atau Salwa menurun. Teman-teman tetap lihat kalian berdua sebagai presiden mahasiswa dan sekretaris jendral yang bertanggung jawab, profesionalitas kalian juga nggak perlu diragukan lagi. Kali ini aku nanya sebagai sahabat kamu. Kamu lagi ada masalah?"

Alfi menghela nafas. Laki-laki itu mengedarkan pandangannya pada ruangan sekretariat yang lengang. Hanya ada mereka berdua.

"Maaf, Gue belum bisa cerita Gil. gue tahu gue salah banget udah bersikap seperti itu ke kalian. Harusnya gue bisa ngontrol emosi. tapi jujur kemarin gue nggak bermaksud ngomong kayak gitu ke teman-teman. Dan gue juga nggak tahu kalau Salwa bakal semarah ini"

Dada Alfi kembali sesak saat mengingat perempuan itu menangis karena ucapannya.

"Wajar sih kalau Salwa semarah itu. Secara saat lo diluar, dia yang meng-handle semua masalah internal kabinet. Salwa juga yang jadi telinga dan mata mu disini. Memastikan seluruh program kerja berjalan dengan baik dan memastikan teman-teman bekerja dengan baik juga. Dia tahu bagaimana kinerja teman-teman selama ini, tahu up and down nya mereka.

Kamu juga tahu kan bagaimana perjuangan kita demi mensukseskan sebuah acara? Rela nggak tidur dan sebagainya. Terus tiba-tiba kamu ngomong kayak gitu, jelas lah Salwa marah. Bahkan Aku, Tyo dan Ian juga kesel dengarnya. Sebagai ketua mungkin kamu ingin semuanya terlihat sempurna, kita juga sama Fi. Kita udah berjuang semaksimal mungkin. kalau pun ada yang harus di evaluasi, ya nggak papa. tapi nggak pake cara emosi "

Alfi diam mendengarkan penuturan Ragil dan membenarkan seluruh pernyataan sahabatnya ini.

"Satu lagi, yang berjuang di BEM ini bukan cuman kamu doang. tapi kita semua sama-sama berjuang memberikan yang terbaik untuk organisasi ini. Jadi tolong hargai juga mereka dan kita harap kamu bisa sedikit mengurangi sifat perfeksionis kamu itu"

Salah satu keresahan dalam diri Alfi adalah sifat perfeksionis nya. Ia jadi sulit percaya sama orang dan terlalu menetapkan standar kerja yang tinggi yang terkadang membuat rekan-rekan nya jadi tertekan.

Ia beruntung bertemu dengan orang seperti Ragil dan sahabatnya yang lain. Mereka adalah orang-orang yang realistis dan tak segan untuk menegur serta mengingatkan Alfi ketika salah dan sudah melampaui batas.

Pendapat mereka selalu dijadikan 'second opinion' untuk membuat balance target-target kerjanya. Belajar menempatkan diri di posisi orang lain dan mendiskusikan standar kerja tersebut bersama teman-teman yang terkait dengan pekerjaan tersebut. Sehingga ada batasan kapan ia bisa menuntut lebih dan kapan ia harus puas dengan hasil yang ada.

"Sorry"

Ragil mengangguk lalu menepuk lengan Alfi. "Tapi kamu udah minta maaf sama Salwa kan? Lewat chat atau telepon gitu"

Alfi menggeleng. "Aku udah coba telepon dan chat dia, tapi nggak ada balasan. Dia cuman mau balas masalah BEM aja"

Tadinya sore ini ia akan menemui Salwa untuk meminta maaf langsung. Namun rencana itu terpaksa gagal karena Alfi harus bertemu dosen pembimbingnya.

"Lah terus yang waktu kamu ngejar dia, itu buat minta maaf kan?"

"Niat nya sih gitu"

Ragil mengernyit keheranan "Niatnya?"

"Iya niatnya mau minta maaf tapi nggak jadi"

"Kenapa?"

"Ada Zuhdi"

"Zuhdi?"

Alfi mengangguk seraya mengusap wajahnya gusar. Sebenarnya saat Salwa keluar dari sekre Alfi langsung mengejarnya, namun saat melihat ada orang lain bersama perempuan itu. Alfi mengurungkan niatnya dan memilih kembali.

"Loh, bukan Adrian? Si Ian kan kemarin nyusul juga Fi, selama inikan mereka dekat banget. Kok sekarang Zuhdi sih"

"Ck aku ndak tahu lah Gil"

Sesaat hening melingkupi keduanya. Alfi kehabisan kata-kata dan Ragil hanya mampu menepuk pundak sahabatnya sembari sibuk mencerna sesuatu dalam kepalanya.

Cinta (Luar) BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang