Jangan lupa tinggalkan jejak Manteman 🥰
Selamat Membaca
Langit semakin berkelabu, dedaunan mengikuti embusan angin yang tenang dan sejuk merasuki celah kamar jendela Zinia yang masih terbuka lebar. Sang empu masih tertidur dengan posisi nungging.
Tidurnya terusik akibat ada seseorang yang mendorong badannya hingga mengubah posisi tidur gadis itu menjadi meringkuk.
Ia merintih, masih merasakan sakit di perutnya. Kedua kakinya masih lemas, sangat enggan untuk bergerak. Dilihatlah lelaki yang sedang menatapnya dengan angkuh.
"Ngapain lo berdiri di situ?" sinis Zinia.
"Dicariin Papi, suruh ikut makan malam. Lu dari pulang sekolah ngunci kamar, untung gue punya kunci cadangannya." Zenio, tentu saja memaki kembarannya itu. Karena kebiasaan jika sedang datang tamu selalu mengunci kamar sampai lupa dengan dunia.
"Gue. Gak. Mood. Makan! Sana pergiii!!!" amuk Zinia tak mau diganggu.
"Ada yang mau Papi bicarain. Turun, makan malam, ditunggu!" Mendengar ucapan dingin Zenio mengucapkan deretan katanya membuat Zinia dengan amat terpaksa bangun.
Zinia berjalan ke kamar mandi untuk mencuci muka, ingat mencuci muka saja. Tidak mandi sedari pulang sekolah. Ia berjalan ke arah dapur, terilihat di sana sudah siap untuk makan, tinggal menunggunya saja.
"Bad moodnya ditunda dulu malam ini. Abis makan malam Papi mau bicara," ujar Jonatan melihat putrinya yang cemberut.
"Mana ada badmood ditunda, emangnya apaan." Zinia menggerutu kesal. Dengan ogah-ogahan, ia memakan-makanannya yang sudah disediakan oleh Nadira.
Nadira yang duduk di depan Zinia menggeleng sembari tersenyum kecil, lambat laun ia paham sifat dan sikap Zinia. Ia tinggal mencari tahu sikap dan sifat Zenio yang memang sangat tertutup. Tapi, Nadira sudah sangat senang kala sore tadi Zenio membantu menyiapkan makan.
Selepas makan malam, semua keluarga Jonatan berkumpul di ruang keluarga lengkap dengan Zinia yang masih merintih.
"Pih, cepetan dong ngomongnya. Mau tidur, perut Nia sakit ini!" cerocos Zinia tak sabaran.
"Sabar!" ucap Zenio ngegas.
"Gak usah ngegas juga kali! Pih cepeten," rengek Zinia lagi.
Beberapa menit hening. "Papih, jadi nikahin Tante Nadira."
"Hah?!?!" ucap si kembar barengan.
"Gak salah denger nih? Atau Jo hilap ngomong gitu?" tanya Nadira tak percaya.
"Minggu depan, tepat enam belas tahun Nia Nio dan enam belas tahun Clarissa tiada."
Semua penghuni rumah sudah tau. Jika seorang Jonatan sudah berkata serius, itu berarti serius dan tidak bisa dibantah sama sekali. Si kembar? Tentu saja mereka ingin menyangkal, tapi mau bagaimna lagi. Itu sudah keputusan bulat.
"Tapi, Pih ...," ucapan Zinia terpotong oleh ucapan Zenio.
"Kenapa harus hari itu?" tanya Zenio datar.
"Papih gak bisa jelasin. Udah malam kalian kembali ke kamar!"
"Ck, ya udah Nanti aja besok Nia introgasi Papihnya. Dipending dulu," ujar Zinia sembari beranjak menaiki anak tangga menuju kamarnya.
Zinio mengikuti langkah kembarannya, pikirannya masih mencari alasan mengapa papihnya memilih hari pernikahan itu berbarengan dengan hari ulang tahunnya.
Duk, "Aduh, Nioooo. Lo ngapain di belakang gue? Udah tau gue jalannya pelan-pelan, lo nerobos aja. Jalanan tangga masih luas juga kenapa malah di belakang si?" amuk Zinia tepat di hadapan Zenio hingga cowok tersebut memundurkan wajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Z² (Zinia & Zinio)
Teen Fiction(Sequel Ice Girl is My Wife) (Slow Update) "Dalam bidang apapun unggul, di sekolah sok polos, sok baik, sok rapih tapi di luar hobby-nya ke clubbing, ngebut ngebutan. Emang gila lo" ~Zinia Devana Kalita~ "Mana ada cewek sok berani, hobby bolos, ambu...