#Fandy plot
Aku baru selesai mengantar ima sampai rumahnya, karena kalut aku akhirnya menuju cafe tempatku makan dengan ima tadi. Aku ingin menikmati suasana di lantai atas sambil menjemput senja.
Aku jadi kepikiran soal ima terus. Meskipun aku sudah memberinya perhatian dan mencoba mencintainya tapi kenapa ima masih saja tidak bisa mencintaiku, bahkan setelah tragedi di kantin tadi dia malah mendiamkanku. Aku memang salah melakukan hal itu. Tapi itu satu usahaku mendekatinya. Sebentar lagi aku juga sudah tak punya alasan untuk mendekatinya. Tugasnya akan selesai besok senin, dia sudah berjanji soal itu.
Ketika aku sedang menikmati minumanku tak sengaja mataku berkeliling ruangan ini dan menemukan 2 orang yang sedang bermesraan. Masalahnya mereka adalah sadi dan zeni. Aku memfokuskan pandanganku dan aku yakin mataku tidak sakit apa apa. Aku benar benar melihat mereka berdua bermesraan. Apa sadi sudah memaafkan zeni? Ataukah semua atas kerja sama mereka berdua? Atau zeni berniat memanfaatkan sadi? Disitu aku melihat zeni sangat manja pada sadi dan begitupun sikap sadi yang sangat menyayangi zeni.
Aku membalikkan badan dan menatap kedepan. Bingung antara benci melihat hal itu karena aku tau zeni tipikal wanita keras kepal yang akan berusaha mendapatkan apapun sekeras mungkin dan senang karena akhirnya sadi mendapatkan wanita yang ia incar sejak dulu. Aku hanya tak ingin sadi menjadi batu loncatan atau alat permainannya untuk mendapatkan kemauan zeni. Itu akan sangat menyakitkan.
Aku mendengus kesal. Lelah dengan semua usaha serta perjuanganku. Hubunganku dengan ima yang tak kunjung membuahkan hasil. Begitupun hubunganku dengan sadi yang tak kunjung membaik. Aku harus apa sekarang?
Aku masih duduk di sofa empuk ini sambil melihat hpku yang biasanya di kirimi pesan oleh ima tapi tidak dengan hari ini. Mungkin dia marah karena aku mengakuinya sebagai pacar. Mungkin juga dia takut teman temannya mendengar hal itu. Tapi aku juga tidak boleh menunggu lama lama. Waktuku di kampus ini sisa 3 bulan. Meski harus menunggu waktu yang tepat aku harus sesegera mungkin mengungkapkan perasaan pada ima.
Aku hanya duduk dengan lemah sambil memijat mijat keningku yang pening. Mendengarkan lagu barat yang melow dan minum kopi memang sedikit membuat peningku berkurang.
Kenapa ima sama sekali tidak mengerti maksudku. Kenapa dia jadi wanita yang sama sekali nggak peka. Apa kode kerasku kurang keras? Salah apa lagi aku? Apa aku tinggalkan saja ima begitu saja? Tapi aku sudah berjuang sampai titik ini. Nanggung sih kalau harus menyerah. Apa karena aku sudah benar benar jatuh hati pada ima?
Ketika matahari sudah redup, dan kopi di cangkirku juga sudah habis aku beranjak untuk pulang. Sayang, aku harus berpapasan dengan sadi yang baru saja keluar dari kamar mandi. Dia tersenyum padaku dan memiringkan kepalanya.
"Kenapa bro? Muka lu kusut amat"
Jenakanya keluar seperti biasa. Jenaka yang beberapa hari tidak ku dengar bahkan ku lihat. Aku hanya menatapnya kosong.
"Maafin gue bro, karena Udah nggak percaya sama lo. Zeni cerita semuanya kok" kata sadi sembari memelukku
Aku hanya diam seribu bahasa. Aku salah apa sampai bermusuhan dengan sadi kalau bukan karena ulah zeni? Dan sekarang kebohongan apa lagi yang sudah zeni perbuat! Dia pasti punya alasan dengan semua tindakannya.
"Lo harus tahu bro, gue udah pacaran sama zeni. Selama ini dia suka sama gue tapi dia takut aja kalo gue nggak suka sama dia" sadi sudah melepaskan pelukannya padaku.
Zeni tidak mungkin benar benar mencintai sadi. Dia pasti punya tujuannya dengan berpacaran sama sadi.
"Syukurlah di kalo lo udah tau semuanya. Gue balik dulu ya udah di telfon nyokap soalnya" balasku singkat pada sadi kemudian aku berlalu
"Lo masih marah sama gue?" Kata sadi membuatku menghentikan langkah.
"Oh iya lupa, congratulation ya buat pacarannya sama zeni. Okey?"
"Okey deh"
Barulah aku bisa segera berlalu.
________
Ini seperti di sebuah jembatan yang sangat besar membelah antara dua kota. Aku berdiri di ujung jembatan yang lengang dari kendaraan umum ini. Matahari pagi masih malu malu untuk menampakkan kebesarannya. Ku pandang ikan kecil berlompatan ke permukaan bersama diterpa sisa sisa angin malam. Aku mengingat lagi masalah dengan ima, aku mendesah pasrah. Lelah karena telah mati matian mendebat isteri sendiri yang tak mau mengerti dengan kejujuranku.
Tunggu!
Isteri?
Siapa? Ima isteriku? Tapi dia memang isteriku? Tapi, sejak kapan? Tapi kami memang sudah menikah. Dia marah karena melihatku makan bersama zeni di kantin rumah sakit sementara dia tidak menelfon dulu kalau membawa masakan rumah untuk makan bersamaku. Iya. Ima isteriku. Dia sendiri yang salah. Toh aku sudah memberikannya penjelasan panjang lebar kalau aku dan zeni tidak ada apa apa.
Tunggu!
Ima yang mana yang aku bicarakan? Bukannya tadi di kantin aku makan dengan ima? Tapi dia zeni. Ima yang sebagai isteriku kenapa mukanya mirip dengan zeni. Entahlah kemana dia sekarang. Aku masih malas untuk pulang. Baru juga pagi buta sudah ngajak ribut soal rumah tangga.
________
Aku bangun karena kaget dengan nafas setengah sadar. Meski begitu mataku sudah tidak pedih lagi seperti orang bangun tidur. Aku mengingat mimpiku yang sama sekali tidak masuk akal. Aku menikah dengan ima yang bermuka dan berkepribadian seperti zeni. Kami bertengkar karena aku makan siang di kantin rumah sakit dengan zeni yang bermuka seperti ima. What the hell! Aku sama sekali nggak faham. Apa juga maksud mimpi itu?
Masak iya aku akan menikah dengan zeni? Atau ima? Ah entahlah. Aku mencari air minum yang biasanya mama letakkan di meja dekat tempat tidur tapi gelasnya sekarang berpindah tempat di meja belajar dan kosong. Aku pun beranjak mengambil gelas dan keluar kamar. Ruang tengah masih gelap, hanya suara jam yang berdetak membuatku melihat pukul berapa sekarang. Masih pukul 2 dini hari, bintang bintang juga terlihat masih menggantung di awan ketika sebuah gorden si sibak angin dingin. Aku langsung menuju dapur dan menghidupkan lampu. Sambil menuangkan air aku masih memikirkan mimpiku yang aneh tadi. Tiba tiba aku mendengar suara tangis dari kamar mama di depan. Suaranya kencang dan saking kencangnya bisa sampai ke dapur. Setelah meneguk air, aku meletakkan gelas begitu saja di meja dan berjalan ke depan. Lampu kamar mama terang benderang. Aku mengintip perlahan dengan membuka sedikit pintunya. Rupanya mamalah sumber suara isak tangis yang ku dengar. Dia tidak tidur, sambil memeluk sebuah foto album aku yakin dia merindukan papa.
Aku jadi teringat amanah papa soal ima. Besok adalah hari senin, aku harus segera memikirkan cara lain mendekati ima. Sungguh berat mengabulkan amanah terakhir papa yang satu ini. Ima bukan wanita yang mudah luluh hatinya. Apalagi kepadaku orang asing baginya. Harus dengan cara apalagi mendekatinya? Sementara aku juga harus menyembunyikan jati diriku ini siapa.
KAMU SEDANG MEMBACA
dokter tampan
RomanceNovela - rampung Jangan beri obat yang langsung sembuh, nanti aku tidak sering bertemu dengan kamu lagi