BAGIAN 9

3.2K 508 53
                                    

Lalisa berlari menyusuri lorong demi lorong yang ada di kediaman nya. Air matanya jatuh tanpa di komando. Tak peduli jika kini dirinya menjadi pusat perhatian para tentara Pallas yang sedang berlalu lalang. Bahkan dirinya tak memperdulikan penampilan nya yang terkesan acak-acakan.

Setelah berlari panjang Lalisa menahan nafasnya beberapa detik menatap pintu cokelat itu. Tangannya bahkan gemetar memegang handle pintu tersebut. Dirinya terlalu takut oleh apa yang didengarnya. Dia tak siap jika harus kehilangan lagi. Dia tak tahu bagaimana nasibnya nanti jika kakak tertuanya benar-benar telah tiada.

Membuka pintunya pelan mata lisa mengedar untuk memastikan sesuatu. Tubuhnya seketika menegang. Kakak tertuanya sudah tak menggunakan selang-selang peninjau kehidupan lagi. Itu artinya apa yang dikatakan Irene benar-benar suatu fakta.

Mulut Lalisa terkunci rapat. Entah kenapa semuanya kelu. Bahkan tangisan Jennie yang ada didepan jasad kakak tertuanya tak ia hiraukan. Matanya masih memandang satu titik fokus dimana ranjang itu yang senantiasa menemani tidur sang kakak.

Tangisan Lalisa sudah berhenti tanpa dia minta. Nyatanya. Menyaksikan secara langsung jasad sang kakak tak bisa membuatnya menangis. Air matanya bahkan mengering. Lalisa melangkah memangkas jarak antara dirinya dan jasad Jisoo.

"Kak, kumohon bangunlah. Kakak sudah lima tahun begini. Apa kakak tak merindukanku? Aku adik kecil kakak? Kak apa kakak dengar lisa bicara?" tanya Lisa pada jasad Jisoo.

Jennie semakin meraung mendengar penuturan adiknya. Dia bahkan tak kuat menahan dirinya sendiri bagaimana dia bisa menenangkan adiknya. Adik satu-satunya bahkan keluarga yang dia punya.

Mata Lisa bergulir menatap Jennie. "Kak, Jen. Kenapa kakak menangis? Apa Lisa membuat onar lagi? Apa Lisa nakal sampai-sampai kak Jennie menangis dan mengadu pada kak Jisoo? Kalo itu yang sebenarnya terjadi. Lisa minta maaf kak. Lisa memang bukan adik yang baik. " ucap Lisa.

Jennie bergerak mendekati Lisa. Mata Jennie membengkak bahkan hidungnya merah karena terlalu lama menangis. Jennie langsung mendekap erat tubuh Lisa.

"Kak Jisoo telah meninggalkan kita Lice. Apa yang harus kakak lakukan?"

Lisa melepas pelukan jennie dengan kasar. "APA YANG KAKAK BICARAKAN!?" Bentak Lisa. "Kak Jisoo hanya tidur karena lelah mendengar keluhan kakak tentang ku!" lirih Lisa.

Jennie memandang Lisa nanar. "Lisa, Kita harus merelakannya." bibir Jennie bahkan gemetar saat mengatakan nya.

"Kak jennie bicara apa sih?! Dari tadi bicaranya melantur terus! " lisa berdecak kesal.

Lisa beralih pada tubuh jisoo yang kini hanya tertutupi selimut sampai sebatas dagu seperti sedang tertidur. "Kak, bangun lisa rindu. Ayo kita main lagi seperti dulu. " lisa menggoyangkan bahu jisoo tapi sama sekali tak ada reaksi apapun yang ditampilkan.

Jennie menarik tangan lisa. "Hentikan. Lice kau menyakitinya. " suara jennie terendam dengan isak tangisnya.

Lisa menepis cekalan tangan jennie. "Jangan ganggu kami kak! Aku dan kak jisoo ingin bermain sebaiknya kakak pergi sana dengan suamimu! "

Jennie benar-benar lelah dengan semua ini. Matanya sudah dibuat berjam-jam untuk menangis.

"Lisa hentikan. "

"Diam kak! Aku sedang berbicara dengan kak jisoo! " sentak lisa. "Kak jisoo, kau tahu kak aku dipaksa menikah dengan jenderal menyebalkan dari castalla. Kau tahu kan kak? Kalo Castalla musuh Pallas tapi kenapa Jenderal agust sangat kejam padaku? Memangnya aku salah apa hingga harus menjadi umpan?! Kak bangunlah dan ayo kita pergi dari sini. Kau tahu aku benar-benar muak dengan ibu tiri kita bahkan kakak ipar pun aku muak pada mereka. " jelas lisa panjang lebar yang tak akan membuat jisoo membuka mulutnya.

CASTALLA : The Beginning | RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang