[BOL 1 - The Gift] Eps 19

60 6 0
                                    

BAB 19 : LOST IN TONIGHT

KERINGAT Toriko makin mengucur deras, dia mengumpati dirinya yang tidak membawa tissue atau selampai berwarna biru andalannya. Sekarang apa yang akan dilakukannya? Dibukanya aplikasi jasa kendaraan online yang berciri khas warna hijau. Jemari Toriko aktif menggulung layar lalu mengaktifkan ikon Location agar mempermudah pencarian driver kendaraan online yang dirinya pesan. Baru saja dia mengecek harga dan menekan pencarian driver tiba-tiba layar gawainya meredup tanpa diperintahkan. Mati total.

Kesialan Toriko bertambah lagi; karena dia terburu-buru mendatangi SMA Sini yang terletak di kota yang berbeda dengan yang ditinggalinya saat ini, dia pun langsung saja gas berangkat tanpa sempat mengisi penuh daya gawainya. Tidak membawa power bank juga untuk sekadar berjaga-jaga. Keringat dingin makin memuncak. Mau menangis pun dia tahu itu hanya akan berujung sia-sia. Apalagi menyadari bahwa jaraknya dari sini ke rumahnya kurang lebih 30 km. Bukan jarak yang terhitung dekat juga, tidak mungkin dirinya pasrah hanya tinggal di halte atau nekat berpulang ke rumah bermodalkan jalan kaki. Memangnya dia superhero?

Karena sudah kehabisan akal akan apa yang akan dirinya lakukan, akhirnya dia nekat berjalan kembali ke toko roti yang kebetulan memang tidak terlalu jauh dari sini. Dia sempat merutuki dirinya yang sok mengatakan pada Rei bahwa dia baik-baik saja. Kenyataannya sekarang dia berharap cowok itu mengantarkannya pulang. Tentu saja karena dia tahu Rei selalu membawa kendaraan pribadi setiap hari berangkat ke sekolah, jadi akan lebih baik kalau dia meminta-atau lebih tepatnya memohon-dengan bagaimana pun caranya pada cowok itu.

"Duh, kira-kira dia mau gak, ya?" Toriko bermonolog sendiri. Sebenarnya dia takut ditolak mentah-mentah oleh Rei bahkan sebelum dia mengutarakan permintaannya ingin diantar pulang mengingat perlakuan Rei tadi kurang menyenangkan. Yah, mau apa dikata? Mungkin saja Rei sudah kecewa karena dia sempat menyepelekan nasehat Rei waktu itu dan sekarang dia mengerti mengapa Rei menyuruhnya untuk tidak bermacam-macam pada Tunas. Sungguh mengerti sekali setelah mengalami semua kejadian ini.

Perlahan dilangkahkannya kedua kaki jenjangnya itu menapaki tiap jalan yang menuntunnya pada toko roti. Awalnya ada yang terasa aneh, entah kenapa perasaannya tidak enak. Hawa dingin menusuk permukaan kulitnya, diperhatikannya jalan itu baik-baik.

'Perasaan ini jalan yang bener, kok,' batinnya berusaha tidak berpikir yang macam-macam. Berusaha dialihkan pikiran konyolnya tadi dengan menggelengkan kepalanya cepat-cepat.

Toriko terus saja menerobos jalanan di hadapannya namun perasaan ganjil terus meliputi hampir setiap pergerakannya. Dia benar-benar bingung sekarang, tidak tahu harus bagaimana. Apa dia harus terus berjalan atau dia harus memerhatikan sekitar? Buru-buru ditolehkan kepalanya, penasaran dengan apa yang ada di belakangnya karena sedari tadi dia merasa diikuti. Dia merasa diperhatikan entah oleh siapa. Siapa juga sosok iseng yang ingin mengganggunya? Cerita ini bukan cerita horror, lho!

"Kok rasanya dingin, banget sih? Siapa sih yang ngikutin gue?" Monolog Toriko yang merasa resah. Dia tidak nyaman dan ingin cepat-cepat sampai ke toko roti. Andai ada orang yang dapat mendengar degupan dadanya yang tak stabil itu.

Selama berjalan beberapa langkah dia terus saja menoleh ke belakang sambil berusaha menghilangkan rasa takut yang terus muncul begitu saja tanpa diharapkan. 'Ayo dong, gue pasti bisa!' Dalam hati, Toriko tak lelah untuk terus menyemangati dirinya bahwa dia bisa melewati semua ini.

Ini sudah keempat kalinya dia melakukan hal yang sama, berjalan sedikit saja-tidak sampai beberapa meter-lalu memalingkan muka dan mencari sosok-sosok aneh. Dia sungguh merasakan diikuti oleh sesuatu atau seseorang, mungkin hanya perasaannya saja tetapi tahukah kalian bahwa perasaan wanita itu kuat? Jangan pernah ragukan kemampuan mereka dalam menerka sesuatu. Bisa jadi para pasukan intel dengan hebatnya kaum wanita menemukan informasi tertentu, mengerikan sekali bukan?

Oke, satu kali lagi Toriko maka kamu akan mendapatkan hadiah piring cantik.

Bingo! Ini yang kelima dan sepertinya-

Begitu dia berbalik ingin kembali berjalan, pergerakannya terbatas dan napasnya menipis karena tiba-tiba sebuah saputangan menyumpal jalur keluar-masuknya oksigen dengan begitu rapat. Belum sempat dia berteriak-walau pasti takkan terdengar-atau sekadar berontak, tubuhnya sudah tak berdaya duluan. Malam ini, Toriko tumbang.

"Perfect timing, it could be the start of anything."

***

Sekembalinya Rei ke tempat beraromakan kopi capuccino dan digadang-gadang sebagai istana roti-roti enak pun sontak membuat beberapa penghuni alias pemilik yang tersisa-tentu saja bukan Tunas dan Tedy-langsung menghambur mendekat mencari perkembangan informasi terbaru padanya. Terutama Kuro yang notabenenya dikenal sebagai sahabat karib Toriko yang jelas paling dekat dengan cewek itu. Tentu saja pastinya cowok kampungan tersebut merasa terpukul saat tahu Toriko masuk dalam jajaran kandidat cewek yang akan dijadikan bumbu baru roti daging. Kuro ingin melawan-jelas!-namun apa daya, dia tidak akan pernah berani jika harus berurusan dengan Tunas dan Tedy yang dinilai-nilai sebagai duo maut mematikan.

"Rei, gimana?" Kuro meminta penjelasan, tampak dari air mukanya kecemasan yang berlebihan. Dia sangat takut terjadi apa-apa dengan cewek bertubuh luka yang hidupnya sangat dramatis tersebut.

Rei melirik Kuro sebentar dengan raut datar. "Gak, gak apa. Kak Toriko selamat kok, mereka izinin Toriko pulang."

Kuro mengerjap berkali-kali meminta kepastian, histeris tak menyangka mendengar kabar barusan. "Serius lo, Rei?"

Rei balas mengangguk, masih dengan tanpa ekspresi. Apakah dia tertular virus datar dari Tedy? Mungkin, ya.

Menyadari gerak-gerik Rei yang berbeda, lantas sebagai pengarahnya yakni Ryo gatal ikut menimpali. "Lo kenapa, Rei?" Saking herannya, bahkan dia langsung meletakkan punggung tangannya pada dahi Rei. Sekadar ingin mengecek kalau-kalau cowok tuna asmara tersebut sedang demam atau bahkan bisa jadi lebih parah dari itu.

"Nggak sakit, perasaan," gumam Ryo mengambil kesimpulan sendiri.

"Emang enggak!" bantah Rei menggerutu. "Emang ada yang salah apa sama gue, kak?"

Ryo menggaruk-garuk tengkuknya. "Ya, iya. Lo beda aja gitu, kelihatan lebih cuek aja."

Rei memutar bola mata, jengah.

Kuro tidak tertarik dengan pembahasan barusan, dia lebih bersemangat membahas Toriko. "Terus Toriko gimana? Dia pulang naik apa? Rumahnya di Tangerang lho, ini kan udah malem banget!"

Di antara para pemilik toko yang lain, mungkin Kuro adalah satu-satunya yang paling melankolis dan super-ribet. Jiwa absurdnya sedikit tertutupi dengan jiwa perhatian penuh kasih sayangnya, ya seperti sekarang ini. Dia malah memikirkan nasib sohibnya itu sementara jawaban Rei sangat sederhana. Hanya sekadar bahu yang diangkat saja.

Tari dari meja kasirnya berteriak mengingatkan. "Oi, temen-temen! Gih rapihin toko, udah jam nanggung nih. Lagian udah sepi juga. Kalian pada gak mau pulang, hm?"

Dari teriakan perawan itulah para penyamun segera kembali pada aktivitasnya masing-masing, merapihkan apa saja yang perlu dirapihkan, membereskan apa saja yang berantakan, dan membersihkan tempat-tempat yang dirasa kotor. Suasana closing toko kembali mengingatkan Rei bahwa para pemilik toko roti itu adalah sekumpulan orang-orang yang sebenarnya hangat dan memiliki solidaritas yang tinggi, sayang saja solidaritas itu ditujukan untuk hal yang salah. Ya, salah. Mereka melakukan pembantaian pada kaum wanita dengan dalih pengkhianatan cinta. Cinta itu memang buta, ya?

BOL 1 : The Gift✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang