Prologue : LIAR.
22:50, Gubuk tua.
INI bukan malam yang biasa, aku akan menyaksikan suatu hal yang tak pernah terduga terjadi dalam hidupku. Sungguh, apa yang akan kau pikirkan bila menjadi aku? Di luar sana sedang hujan deras, bahkan suara petir yang saling bersahut-sahutan pun dapat kurasakan. Semua ini tampak begitu jelas, tampak begitu nyata! Bisa dibilang ini suasana yang cukup menegangkan, apalagi aku berada di sebuah ruangan-ah, maksudku sebuah gubuk tua yang jauh dari pemukiman warga setempat.
Di sini aku akan menyaksikan secara langsung proses pembunuhan dengan kedua mata kepalaku sendiri, ya, sungguh! Pembunuhan! Tapi satu hal yang harus kau ketahui, aku bukanlah seorang pelaku. Tenang dulu! Aku juga bukan calon korbannya! Karena jika saat ini aku sedang dalam proses akan dibunuh untuk apa aku sempat-sempatnya mengilustrasikan kejadian ini padamu? Bukankah lebih baik jika aku cepat-cepat memikirkan cara untuk kabur atau minimal berteriak ketakutan, huh?
Tidak, tidak! Saat ini aku hanya berada di pojok ruangan, duduk diam termenung dan hanya menjadi seorang saksi bisu. Aku tak bisa menolong gadis yang akan dibunuh itu-tentu saja karena aku tak mengenalnya.
Justru orang yang kukenal adalah sang pelaku, kekasih gadis itu. Dia masih terlihat menarik napas berat di sana seolah memikirkan sesuatu. Jangan-jangan dia ragu untuk membunuh gadis yang diikat itu?
"Boleh aku bertanya sesuatu padamu?" tanyanya memecah keheningan di antara kita bertiga. Netraku melirik jelas mimik wajahnya yang menunjukkan kemarahan dengan luapan emosi menyakitkan, sementara gadis yang disekap sejak tiga hari yang lalu itu hanya bergeming lemas, perlahan dia mulai menganggukan kepalanya ragu.
Apa dia ketakutan? Atau dia telah kehabisan tenaga karena tak diberi makan dan minum selama disekap disini? Aku tak tahu dan tak ingin tahu.
"Kenapa kau mengkhianatiku?!" tanya temanku, si 'calon pelaku' (lagi) dengan pandangan yang lurus ke hadapan gadis di depannya seolah menunjukkan ketidak sabaran atas jawaban yang akan diberikan.
Gadis itu tak langsung menjawab karena tubuhnya semakin memucat. "A-aku gak pernah mengkhianatimu." Suaranya yang terbata-bata itu sarat akan ketakutan juga menunjukkan dengan jelas betapa banyaknya tenaga yang dikeluarkan hanya untuk menjawab pertanyaan lelaki berhati dingin itu.
Si calon pelaku memainkan alis, sepertinya dia tak puas sama sekali dengan jawaban yang dilontarkan. Dengan sigap dia langsung bergerak menuju pojok ruangan seraya menatapku singkat.
Tujuannya bukan untuk mendatangiku yang tampak seperti orang idiot karena tak mengerti apa-apa,-bukan-dia hanya ingin mengambil sebuah belati yang sudah disiapkan di sampingku sebelumnya. Tampaknya dia sudah tak sabar.
Ya, tak sabar untuk merenggut nyawa gadis tak berdaya itu. Bak cahaya, kecepatannya tak terlampau. Dia yang barusan di sebelahku kini sudah tepat berada di depan gadis itu lagi. Kemudian dia memasang tatapan yang cukup mengerikan. Jujur, aku tak menyangka dia memiliki sisi gelap seperti itu. Dia sekarang tampak seperti orang yang berbeda. Yang kukenal, dia adalah anak yang menyenangkan, lugu, asyik, bahkan mampu membuatku tertawa terbahak-bahak, tapi dia yang disini ... tatapannya tajam, dingin, dan mengarah jelas terhadap satu titik.
Wajah seriusnya menunjukkan kemarahan yang mampu membuat titik kengerian berada dalam posisi tertinggi, sangat cocok dengan suasana di gubuk ini yang cukup menegangkan.
"Hey liar, apa yang kau inginkan dariku?" tanyanya.
Gadis itu terlihat kebingungan. Dia tak bisa berpikir karena tak memiliki tenaga, tapi sepertinya rasa takut mengalahkan rasa lemas. Reaksi manusiawi ingin bertahan hidup yang dilakukan semakin jelas tatkala pisau belati menunjukkan jarak yang begitu dekat.
"Ja-jauhkan itu dariku!" teriaknya kalap. Bila diibaratkan sebuah tayangan film, sang penata kamera tentu akan mengambil angle extreme close up tepat di sorot matanya. Karena pupil cokelat itu melotot begitu lebar-sampai-sampai aku ngeri kalau indera pengelihat itu bisa copot lalu tempias ke lantai, 'kan seram sekali bukan? Belum lagi ekspresinya yang cukup meyakinkan bahwa dia takut kematian.
"Apa? Dekatkan?" Lelaki di depannya mendekatkan telinga seolah memastikan perkataannya lalu kemudian menyeringai lebar. Aku sudah biasa melihat sunggingan di bibir itu, tapi dalam keadaan yang berbeda seperti ini tentu saja ini pertama kalinya.
Dia menyeringai sembari mengeluarkan aura jahat yang pastinya mampu membuat bulu kuduk siapapun berdiri. Diarahkannya belati itu ke hadapan kekasihnya sendiri. Tak berselang lama, teriakan kepedihan bercampur kesakitan memenuhi ruangan ini, bahkan cairan merah yang mulai merembes memenuhi lantai juga. Semua itu seakan permainan konyol yang menyenangkan.
Sang gadis hanya bisa berteriak sembari menatapku dengan harap aku mampu menolongnya, tapi sayangnya aku tidak berani melakukan apapun. Aku hanya mengalihkan pandanganku agar tak menatap raut menyedihkan itu.
Sang gadis yang merasa tatapan tak mampu membuatku menolongnya pun mencoba berteriak makin keras hingga membuatku menutup telingaku dengan kedua tangan. Aku takut gendang telingaku rusak karena suaranya yang begitu pecah!
Romaku berdiri kala mendengar suara belati terdengar merobek cepat di sana-sini, benda itu tampak haus darah. Ah, tidak! Yang haus darah itu 'dia'. Detik demi detik, lama-kelamaan suara teriakan pecah itu tak terdengar lagi. Aku menoleh, kini jasad gadis lemas itu terbujur kaku. Seperti boneka yang tak kan mampu bergerak lagi.
Terbesit satu pemikiran dalam kepalaku. Seperti apa ya rasanya menghilangkan jiwa seseorang? Apakah rasanya menyenangkan? "Kau ingin roti, kan?" tanya temanku tiba-tiba.
"Eh, roti? Mau!" celetukku spontan. Roti adalah makanan kesukaanku! Bibirku mulai mengembang, aku paham sekarang. Sepertinya rasanya memang menyenangkan, bukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
BOL 1 : The Gift✔
Misteri / Thriller[BREAD OF LOVE SERIES 1/END] Bread of Love adalah sebuah cerita yang diangkat dari 2 tema, yaitu cinta dan pengkhianatan. Dengan dicampur bumbu misteri yang sengaja disuguhkan untuk kalian, wahai para detektif yang selalu haus misteri! Berkisah tent...