"Aku menangis bukan karena aku lemah, melainkan karena aku lelah untuk terlihat baik-baik saja."
///
Hai, semuanya! Kalian apa kabar? Lama tak menyapa kalian. Sekarang aku hadir dengan cerita baruku. Semoga kalian menyukainya! Have a nice day!
///
ʕ•ε•ʔ
Sepanjang perjalanannya menuju kota yang baru, Alkana hanya merenung meratapi jalanan dari balik kaca mobil. Keputusannya untuk pindah dari kota sebelumnya adalah hal yang cukup berat. Namun, menurutnya mungkin ini akan jauh lebih baik daripada ia berkutat terus dalam keadaan yang malah akan menambah beban pikirnya. Sebab ia akan memulai kehidupan baru yang tanpa ingin mengenang satu pun memori pahit selama di sana.
Hingga tanpa terasa mobil yang membawanya telah berhenti tepat di depan sebuah rumah yang cukup besar. Cowok itu segera keluar dari mobil dan menapakkan kakinya di kota yang baru. Matanya menjelajah ke sekitar. Sangat meneduhkan kompleks perumahan tersebut. Sepertinya lingkungan ini akan membuatnya nyaman dan bahkan mampu membuatnya melupakan segala kenangan pahit yang sangat ingin dikuburnya.
Pepohonan di halaman setiap rumah warga menjadi candunya untuk betah tinggal di sana. Kebetulan, Alkana adalah orang yang senang dengan tumbuhan yang menyejukkan pandangan.
“Mari, Mas. Silakan masuk,” kata Pak Jali, sopir yang mengantarnya kemari.
Sembari membawa koper dengan dibantu Pak Jali, Alkana mulai melangkahkan kaki menuju pintu utama rumah tersebut. Saat masuk, ia disambut oleh seorang wanita tua dengan gaya berpakaian yang sangat modis.
“Alkana!” Wanita tua itu langsung memeluk sang cucu dengan sangat erat.
Setelah pelukan tersebut merenggang, Alkana tersenyum menatap Omanya, Oma Leni.
“Selamat datang, ya,” ucap Oma Leni. Alkana hanya mengangguk sekilas.
“Gimana perjalanan ke sini? Pasti bikin kamu capek banget, ya?” tanya Oma Leni. “Ya udah, kamu istirahat dulu ya sekarang. Nanti Eneng bakal nunjukkin di mana kamar kamu.”
Wanita bernama Eneng yang berprofesi sebagai asisten rumah tangga di rumah tersebut mengangguk sembari tersenyum ramah pada tuan barunya.
“Sini, Mas. Biar saya yang bawain aja koper sama tasnya,” tawar Eneng dengan senang hati.
“Kopernya biar saya aja yang bawa,” kata Alkana.
“Oh, siap, Mas.”
Eneng berjalan mendahului Alkana sebagai petunjuknya menuju kamar. Begitu tiba di depan kamar yang dimaksud, Alkana mengucapkan terima kasih pada Eneng.
“Nanti kalau ada apa-apa, Mas panggil saya aja, ya,” ucap Eneng. “Kalau gitu, saya permisi dulu. Mari.”
Alkana mulai memasuki ruangan tersebut, kemudian meletakkan koper yang dibawanya ke sisi ruangan. Kamar yang diberikan kepadanya sangat baik sekali. Semua dalam keadaan yang rapi. Warna putih yang mendominasi di ruangan itu pun sangat disukainya. Terutama jendela kamar yang posisi letaknya sudah sangat bagus menurutnya.
Tasnya ia letakkan di atas kasur. Kemudian ia duduk dan merogoh sesuatu di dalam tasnya. Sebuah foto yang menampilka sesosok wanita cantik yang diambilnya dipandang lekat-lekat.
Walau bibir tak mengucap sepatah kata apa pun, namun matanya mewakili perasaan yang mendadak kembali terasa perih. Tanpa sadar, bulir-bulir air mata mulai menumpuk di matanya, kemudian jatuh menjadi tangisan.
Memejamkan mata untuk beberapa detik sebelum Alkana dengan kasar menghapus jejak air mata itu.
“Nggak, gue gak boleh nangis. Gue cowok! Gue harus kuat!” ucapnya pada diri sendiri.
Di saat dirinya sedang berduka, suara cempreng yang berteriak-teriak tidak jelas dalam melantunkan sebuah lagu terdengar. Pendengarannya seketika terganggu. Alkana menyimpan kembali foto itu ke dalam tas, lalu bangkit dan mencari asal suara tersebut.
Sungguh, suara jelek itu sangat mengganggunya. Padahal ia berpikir bahwa di tempat barunya ini sekelilingnya akan selalu menyuguhkan ketenangan. Tapi mengapa suara seperti ini bisa muncul?
“Yeyeye... Woooaaa!!!”
Seorang gadis tampak bernyanyi ria sembari mendengarkan musik yang dibawakannya menggunakan earphone saat Alkana menyingkap tirai jendela kamarnya. Seperti orang kesurupan, gadis aneh itu mengangguk-anggukan kepalanya. Mungkin sedang mendengar musik bergenre rock, makanya bisa begitu tingkahnya.
“WOI!!!”
Percuma Alkana berteriak, gadis itu tidak akan mendengarkannya. Baru hingga cewek itu sendiri yang memandang ke arahnya, ia berhenti berteriak dan mengucek mata tak percaya.
“Anjir, itu pangeran dari mana?”
Gadis itu membuka jendela kamarnya dan melepaskan earphone dari telinganya usai lagu yang diputarnya dihentikan.“Hai!” sapanya sambil melambaikan tangan. “Orang baru, ya?”
Bukannya membalas sapaan cewek itu, Alkana justru menutup jendelanya sekaligus tirai-tirainya. Cewek itu jadi dibuat sebal.
“Dih, malah ngilang dianya,” gumam cewek itu sambil geleng-geleng kepala.
ʕ•ε•ʔ
KAMU SEDANG MEMBACA
Alkana
Teen FictionAlkana membenci segala sesuatu yang bersangkutan dengan musik. Termasuk Elysh, si cewek aneh nan menyebalkan yang selalu bernyanyi dengan suara buruknya, serta memainkan alat musik dengan sangat sumbang, dan sialnya satu sekolah dengannya. Demi apa...