19 || SEDIKIT TERBUKA

24 4 4
                                    

Sebuah tangan mencengkeram bahu Alkana dengan cukup kuat. Cowok itu berbalik dan menatap tajam mata lawannya. Begitu melihatnya, kedua tangan Alkana terkepal, namun wajahnya berusaha sesantai mungkin.

Tampak Juna yang tersenyum miring pada Alkana, seolah mengejeknya atas kejadian tadi. “Kenapa lo kabur? Cemburu?”

Alkana terkekeh sinis, “Maksud lo cemburu atas apa?”

“Lo gak cemburu ‘kan lihat gue dekat sama Elysh?”

Entah apa yang lucu dari pertanyaan Juna, Alkana lagi-lagi terkekeh menanggapinya. “Emangnya apa kelebihan lo sampai-sampai gue cemburu ngelihat lo dekat sama Elysh? Lain kali ngaca dulu,” jawab Alkana dengan sangat tajam, menampar Juna yang kini tak dapat berkata-kata.

“Sial!” gerutu Juna begitu Alkana kabur dari hadapannya. “Lihat aja lo nanti.”

•••

Sejak kemarin Alkana tidak mau menggubrisnya. Ralat, setiap sejak konser malam itu. Dia terus bungkam dan cuek sekali. Elysh sampai bingung harus bagaimana lagi menghadapi keegoisan cowok itu. Andai saja ia tak cinta, pasti ia akan menyerah detik ini juga. Eh, keceplosan.

Pagi ini Elysh diajak Clara untuk lari pagi bersama keliling kompleks. Tetangga-tetangga di sini memang senang lari pagi kalau weekend begini. Selain bagus untuk kesehatan, Elysh menerima tawaran Clara untuk menghilangkan kecemasannya juga dalam menghadapi sikap Alkana yang seperti batu. Ia berharap nantinya mereka akan berbaikan. Secepatnya.

Sedang sibuk-sibuknya memasang sepatu, tiba-tiba Elysh melihat Alkana yang melintas di depan rumahnya. Mata gadis itu melebar. Ia segera mendekati pagar rumahnya dan matanya bergerak mengikuti arah lari cowok itu.

“El, kamu udah—“ Elysh memotong cepat perkataan Clara yang baru muncul dari pintu utama.

“Ma, aku duluan, ya. Kita ketemu di dekat pos satpam aja nanti. Dah!” Tanpa menunggu persetujuan Clara, Elysh langsung melambaikan tangan sebelum menyosor keluar rumah demi mengejar Alkana yang sudah cukup jauh jaraknya.

“Alkana!” teriak Elysh yang tengah berusaha mengejar cowok yang berada di depannya itu. Ia memacu cepat langkahnya agar bisa menghampiri Alkana.

Merasa ada yang memanggil, Alkana menoleh sekilas ke belakang. Ia memutar bola matanya sebal saat tahu ada Elysh di belakang sedang menuju ke arahnya. Daripada bertemunya, ia pun berlari lebih cepat lagi.

“Eh, Alkana. Tunggu!” Bukannya ditunggu, ia malah ditinggal. Alkana nyebelin!

Napas Elysh tersengal. Ia tak kuat jika harus berlari lagi. Lari pagi kali ini rasanya berat sekali hanya demi menggapai sosok Alkana di depan sana.

Usai berlari cukup jauh, akhirnya Elysh memutuskan untuk menyerah. Ia tak sanggup mengejar ketertinggalannya dengan Alkana. Menepi sejenak, ia terduduk lesu di bawah sebuah pohon besar.

“Ish! Alkana nyebelin banget, sih. Dikejar malah lari. Gak tau capek apa?” gerutunya sembari memijat-mijat kedua kakinya secara bergantian.

“Lo ngomongin gue?”

Elysh segera beranjak dari duduknya dan terlihat kaget begitu matanya berpapasan langsung dengan Alkana yang entah muncul dari mana.

“Eh, Alkana.” Elysh tampak cengar-cengir berhadapan dengannya. Salah tingkah. “Eee... yang tadi itu cuma—“

“Banyak alesan,” potong Alkana cepat. Cowok itu berbalik dan kembali melangkahkan kakinya, namun kecepatannya lebih normal kali ini.

Diam-diam Elysh kembali mengekorinya. Bahkan, ia berani berjalan beriringan dengan Alkana.

“Alkana,” panggil Elysh dengan nada yang dimainkan. “Lo masih ngambek ya sama gue?”

Tak ada jawaban. Lagi-lagi Elysha diabaikan. Namun, ia masih tetap saja mau mengoceh.

“Al, kalau gue ada salah sama lo, maafin, ya? Mungkin gue secara gak sadar udah nyakitin lo. Tapi jujur, gue gak ada maksud apapun. Gue rela, kok, kalau lo mau ngehukum gue. Asalkan, kita baikan lagi,” ujar gadis itu dengan wajah bersalah.

Entah mengapa, Alkana yang dingin merasakan ketulusan gadis itu saat mengucapkannya. Diam-diam ia melirik ke arah Elysh yang tengah menunduk.

“Bukan salah lo, mungkin gue yang terlalu takut untuk membuka diri,” kata Alkana dalam satu kali bicara.

Elysh mendongak begitu Alkana mengatakan hal itu. Keduanya berhenti melangkah dan terjebak dalam keheningan. Gadis itu mengerutkan keningnya, tidak mengerti apa yang dikatakan oleh Alkana.

•••

Alkana membawa Elysh ke sebuah danau yang tak jauh dari kompleks perumahan mereka. Di sana, keduanya duduk bersebelahan sembari memandang danau di depan mereka.

Alkana melempar kerikil-kerikil yang ada di dekatnya ke danau. Sedangkan Elysh masih bingung dengan sikapnya yang tiba-tiba aneh.

“Dulu gue senang sama yang namanya musik. Tapi sekarang, musik bukan lagi favorit gue. Bagi gue, musik itu adalah sejarah yang paling tragis yang gak akan pernah bisa buat gue lupain,” kata Alkana yang tak mengalihkan tatapannya.

“Jadi, itu alasan kenapa lo benci sama gue? Karena gue suka musik dan gue pernah ngajak lo buat nonton konser musik? Iya?” tanya Elysh sembari menunjuk dirinya sendiri.

Alkana menghela napas berat, lantas menunduk. Ia menggantung kedua tangannya di atas lutut yang tertekuk. Tampak tangannya mengepal kuat saat pertanyaan itu terlontar dari mulut Elysh. Ia merasakan dendam itu lagi. Luka lama yang selama ini ia coba untuk kubur akhirnya terbuka kembali.

Tanpa permisi, Elysh spontan memeluk Alkana dari arah samping. Walau tangannya tak sampai untuk merengkuh total tubuh cowok itu, namun kehangatan ia berikan terasa jelas bagi Alkana yang kini diam membatu karenanya.

Terdengar isak tangisnya yang membuat Alkana keheranan. Kenapa dia nangis?

“Maafin gue ya, Al. Selama ini gue gak sadar kalau udah bikin lo sedih,” ucap Elysh dalam tangisnya. Ia meregangkan pelukannya dan menatap Alkana.

“Dasar, cengeng!” Alkana malah mengejeknya. “Ngapain pakai nangis, sih? Emangnya cerita gue menyedihkan banget?”

“Ya, jelas lah! Gue tuh ngerasa bersalah banget karena udah bikin lo ingat lagi tentang musik.”

“Emangnya lo tau apa alasan gue benci musik?”

Elysh menggelengkan kepalanya dengan wajah polos. “Kan, lo belum cerita.”

“Gak penting juga buat lo tau,” ketus Alkana mendadak berubah. Ia beranjak dari taman, kemudian berlari meninggalkan Elysh sendirian.

Gadis itu berdecak sebal. “Alkana! Tungguin! Hobi banget sih kabur-kaburan, enakan juga kejar-kejaran.” Ia segera bangkit dan mengejar lagi cowok itu.

•••

AlkanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang