Usai pelajaran matematika berakhir, saatnya berganti menuju pelajaran olahraga. Para cewek dan cowok mulai berhambur keluar kelas menuju ruang ganti pakaian khusus gender masing-masing.
Untuk cowok, biasanya mereka mengganti pakaian tidak begitu lama. Setelah memakai baju olahraganya, Alkana duduk sejenak di kursi panjang yang ada di ruang ganti tersebut untuk mengikat tali sepatunya yang agak kendor ikatannya.
“Eh, Ren! Tungguin gue, dong!”
“Buruan lu, ah! Lama banget.”
Bruk!
Seseorang baru saja menabrak kepala Alkana yang saat itu tengah menunduk untuk mengikat tali sepatunya. Kesal, Alkana langsung melontarkan tatapan tajam dan sinisnya.
“Sori, sori. Gue gak sengaja,” kata Juna yang memang tidak sengaja menabraknya.
Alkana bangkit dan menatap manik lawannya dengan tajam. “Lain kali kalau jalan jangan pakai kaki doang, mata dipake juga,” ucapnya menusuk. Padahal, nada bicaranya datar-datar saja.
Lantas, ia pun melewati Juna dan Andre tanpa peduli ekspresi mereka yang tak habis pikir dengan ucapannya barusan.
“Baper amat dah tuh bocah,” komen Andre sembari menatap Alkana yang sudah menghilang ketika keluar dari ruang ganti.
Juna sendiri tak mau berkomentar apa-apa. “Ya udahlah. Cabut, yuk!”
ʕ•ε•ʔ
Setelah pemanasan, anak-anak disuruh oleh Pak Ridwan untuk berkumpul di lapangan. Mereka diarahkan untuk membentuk barisan dan mendengarkan pengumuman darinya.
“Untuk hari ini kalian boleh bermain bebas di lapangan karena Bapak sedang ada urusan mendadak dengan guru lain. Tapi bukan berarti kalian tidak berolahraga, ya. Masing-masing siswa harus memainkan setidaknya satu benda misalnya bola untuk olahraga atau melakukan kegiatan olahraga lain tanpa bendanya juga boleh. Intinya setiap murid tidak ada yang santai atau duduk sambil bergosip. Semua harus berolahraga. Mengerti?!”
Semua tampak mengangguk, kecuali Alkana yang hanya memandang gurunya dengan bosan.
“Ya sudah, silakan dimulai kegiatannya. Bapak tinggal dulu.
Begitu Pak Ridwan meninggalkan lapangan, mereka mulai bergerak mencari bola kaki, bola basket, dan sebagainya di ruang tempat alat-alat olahraga berada.
“El, yuk!” ajak Della.
Mereka mulai mengambil barang yang dibutuhkan. Elysh tertarik untuk bermain bulu tangkis. Awalnya ia hanya mengambil raket untuknya saja, tapi karena teringat seseorang ia mengambil satu lagi untuk ia bawa.
Kembali ke lapangan, Elysh langsung menyodorkan satu raket yang dibawanya pada Alkana. Cowok jangkung yang tengah bersandar sembari bersedekap di bawah pohon besar dekat lapangan itu menoleh.
“Main, yuk?”
“Gak,” tolaknya mentah-mentah.
“Ayo, dong. Sebentar doang gak papa, kok.”
“Males,” balasnya tanpa memandang Elysh.
Elysh mengerucutkan bibirnya. Ia pun ikut melipat tangan di depan dada seperti Alkana.
Alkana melirik Elysh yang lebih pendek darinya. “Ngapain masih disitu. Main sana bareng teman lo.”
“Gak mau. Maunya sama lo.” Elysh memandangnya. “Lagian, Pak Ridwan nyuruh kita semua buat bergerak. Bukannya malah diam di bawah pohon sambil ngeliatin orang doang,” sindirnya yang cukup membuat Alkana geram.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alkana
Teen FictionAlkana membenci segala sesuatu yang bersangkutan dengan musik. Termasuk Elysh, si cewek aneh nan menyebalkan yang selalu bernyanyi dengan suara buruknya, serta memainkan alat musik dengan sangat sumbang, dan sialnya satu sekolah dengannya. Demi apa...