Tahun itu, tahun yang paling buruk bagi Alkana. Dengan kepala matanya sendiri, ia menyaksikan Papanya membunuh sang Mama. Detik itu juga, ia kehilangan segalanya. Orang tua, kebahagiaan, dan kepercayaan. Mungkin benar bahwa orang terdekatmu bisa jadi adalah musuhmu. Tapi bagaimana mungkin Papanya sendiri?
Setiap hari Alkana mencoba untuk keluar dari trauma yang dialaminya. Namun nihil. Ia tak bisa, atau mungkin belum saatnya ia menerima kenyataan itu dengan lapang dada? Entahlah.
Di kamarnya, Alkana hanya terbaring sembari terdiam memikirkan kejadian pagi tadi. Elysh, gadis itu aneh. Mendengar ceritanya saja dia menangis. Dasar cengeng. Tapi, bagaimana dengan pelukan itu?
“Ngapain gue mikirin dia?” gumam Alkana . Ia mengibaskan tangannya ke wajah. “Gak, gak, gak.”
Terdengar suara yang tak asing tengah bernyanyi dari samping rumahnya. Alkana berjalan mendekati jendela. Ia sudah menebak siapa pemilik suara itu.
Elysh menjeda nyanyiannya begitu matanya bertemu dengan mata Alkana. “Alkana?!” teriak cewek itu heboh. Buru-buru dia membuka tirai jendelanya dengan lebar.
Berbeda dengan Alkana yang malah bersembunyi dibalik tirainya.
“Kok, sembunyi? Kan, udah ketahuan,” kata Elysh sembari tertawa geli. Sepertinya Alkana mau main petak umpet dengannya.
Bodoh!
Begitu merutuki dirinya sendiri, Alkana keluar dari persembunyiannya dengan wajah malu-malu. Raut wajahnya dibuat sedatar mungkin, menutupi salah tingkahnya.
Gadis itu tersenyum lebar ketika Alkana kembali berdiri di jendela dan berhadapan dengannya. Ia menumpukan kedua tangannya di tepian jendela, lalu menopang dagunya.
“Udah lama, ya, kita nggak kayak gini,” kata Elysh yang jadi gemas sendiri.
Rasa panas menjalar di pipi Alkana. Cowok itu heran dengan dirinya sendiri. Namun, ia berharap dalam jarak yang cukup jauh Elysh tak melihat perubahan warna di wajahnya.
“Oh iya, Al. Malam ini gue udah kelihatan cantik, gak?” tanya Elysh. Dia berputar-putar memamerkan pakaiannya dari depan hingga ke depan lagi.
“Biasa aja,” tukas Alkana ketus.
“Masa, sih?” Wajah Elysh berubah cemberut. Padahal sejak tadi ia berusaha memakai pakaian terbaiknya untuk datang ke pertemuan yang sudah ia rencanakan dengan Dinda dan Stefan.
Merasa bersalah karena terlalu jujur, Alkana berupaya mengembalikan keceriaan gadis itu dengan memberikan masukan. “Lo gak sadar apa dandanan lo menor kayak gitu.”
Elysh yang menundukkan kepalanya langsung mendongak. “Emang make up gue semenor itu?” ia mulai panik sendiri.
“Banget! Kayak badut,” celetuk Alkana pedas. Padahal dandanan Elysh tidak separah itu. Hanya saja ia memakai lipstik dengan warna merah cerah.
“Terus, lo sukanya gue kayak gimana?”
“Yang gak pakai make up.”
“Jadi, kalau gue gak pakai make up, lo suka sama gue?”
Sial! Elysh malah menjebaknya dengan pertanyaan itu. Beruntung Elysh segera tertawa sebelum Alkana mengeluarkan kalimat pedasnya.
“Barcanda, Al. Tapi kalau lo serius, hayuk!” Elysh malah semakin bercanda. “Btw, makasih buat sarannya.”
Dari kejauhan Alkana bisa mendengar dering ponsel Elysh berbunyi. Gadis itu mengalihkan perhatiannya sejenak pada panggilan yang diterimanya. Entah mengapa wajahnya seketika berubah panik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alkana
Teen FictionAlkana membenci segala sesuatu yang bersangkutan dengan musik. Termasuk Elysh, si cewek aneh nan menyebalkan yang selalu bernyanyi dengan suara buruknya, serta memainkan alat musik dengan sangat sumbang, dan sialnya satu sekolah dengannya. Demi apa...