"Kadang keberuntungan tidak hanya sebuah kebetulan, bisa saja memang sudah ditakdirkan."
ʕ•ε•ʔ
Sejak tadi alarm berbentuk bola itu terus berbunyi, mengusik ketenangan Alkana yang ingin menghabiskan waktu lebih lama di atas kasurnya. Ia mencoba untuk abai, tapi kekesalannya memuncak saat alarm itu tak kunjung berhenti berbunyi.
“Berisik banget, sih!”
Alkana yang kesal hendak membuangnya keluar jendela. Namun, di saat yang bersamaan Oma Leni muncul dari balik pintu.
“Eh, Alkana! Mau ngapain, kamu?” Wanita tua itu segera menghampiri sang cucu dan meraih alarm yang dipegang oleh Alkana.
“Alarmnya ganggu,” ucapnya ketus. Nyawanya masih belum terkumpul penuh akibat dipaksa bangun oleh alarm sialan itu.
“Ganggu gimana? Kamu nggak lihat apa sekarang jam berapa?” tanya Oma Leni. “Kamu ‘kan harus pergi ke sekolah.”
Sontak pernyataan itu membangunkan Alkana sepenuhnya. Matanya membulat. “Hah? Sekolah? Yang benar aja, Oma? Kan, Alkana baru pindahan kemarin. Masa langsung disuruh sekolah, sih?”
“Udah, kamu jangan banyak ngeluh. Cepat mandi dan siap-siap. Nanti kamu bisa telat lagi.” Tanpa bicara apa-apa lagi, Oma Leni meninggalkannya.
Seketika mood Alkana jadi berantakan. Ia tidak percaya jika hari ini ia akan menjadi siswa baru di sekolah yang baru secepat ini. Menghela napas, ia pun segera pergi ke kamar mandi dan bersiap-siap sebelum berangkat.
ʕ•ε•ʔ
Tak ada waktu lagi untuk sarapan, Alkana rasa ia harus berangkat ke sekolah barunya sekarang. Sedangkan Oma Leni sejak tadi berusaha untuk membujuknya agar mau sarapan terlebuh dahulu.
“Alkana, sarapan dulu, dong.”
“Kalau Alkana sarapan sekarang, nanti yang ada Alkana malah telat lagi.”
“Ya udah, kalau gitu kamu bawa bekal ini ke sekolah.”
Oma Leni menyodorkan sekotak bekal makanan kepada Alkana. Alkana mengernyit. Masa iya, Alkana disuruh bawa bekal? Belum lagi kotak bekalnya berwarna pink.
“Oma, nggak usah aja, ya?” tanyanya, hendak menolak secara halus.
“Alkana...” Oma Leni mulai mengancam melalui sorot matanya yang tajam.
Mau tak mau Alkana menerima bekal dari sang nenek dan menyimpannya ke dalam tas.
“Anak pintar,” puji Oma Leni. “Ya udah, berangkat sana. Tuh, Pak Jali udah nungguin kamu.”
“Ngga, ah. Alkana gak mau barengan sama Pak Jali. Alkana bisa pergi sendiri, kok, pakai motor Alkana.”
“Alkana, kamu itu baru di sini. Oma yakin kamu belum hafal jalan-jalan yang ada di sini. Jadi Oma gak bakal izini kamu untuk sementara ini pergi tanpa pengawasan dari Pak Jali,” jelas Oma Leni panjang lebar.
“Tapi, Oma—“
“Gak ada tapi-tapian,” sela wanita tua itu. “Cepat masuk ke dalam mobil.”
Tak bisa melawannya, Alkana pun menurut. Dengan wajah ditekuk Alkana masuk ke dalam mobil dengan mood yang benar-benar buruk.
Sepanjang perjalanan yang membosankan, Alkana memilih untuk merenung saja menatap jalanan yang lenggang dari balik kaca mobil.
Sejak kejadian itu, Alkana tak pernah lagi mendengarkan musik ketika ia merasakan jenuh. Karena sekarang baginya musik adalah suatu hal yang ingin ia singkirkan dari hidupnya. Bahkan lagu-lagu favorit yang ada di ponselnya kini telah dihapus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alkana
Novela JuvenilAlkana membenci segala sesuatu yang bersangkutan dengan musik. Termasuk Elysh, si cewek aneh nan menyebalkan yang selalu bernyanyi dengan suara buruknya, serta memainkan alat musik dengan sangat sumbang, dan sialnya satu sekolah dengannya. Demi apa...