PROLOG

135 15 5
                                    

Di sebuah sungai terdapat seorang gadis yang tengah duduk sembari menangis di tepi sungai dengan memeluk kedua kakinya. Fakhira Walia, gadis yang memiliki mata agak kebiruan, berbulu mata lentik dengan rambut hitam, lurus sepinggangnya dibiarkan terurai tersapu angin. Selain siswa yang berprestasi di kampusnya ia sering dipanggil gadis biru karena identik dengan biru, netranya berwarna biru bahkan hampir semua barangnya berwarna biru.

Namun, sayangnya ia tak pernah mendapat kasih sayang Ayahnya. Hanya Ibu dan seorang wanita paruh baya yang bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumahnya itulah yang selalu membela gadis ini ketika dimarahi Ayahnya.

"Kenapa Ayah tidak pernah sayang padaku? Kenapa orang lain yang disayang olehnya?" keluh gadis itu sambil menangis sesenggukan.

"Fakhira," ucap seseorang yang kini tepat di samping Fakhira.

Alisha Wilda, seorang gadis dengan mata sipit dan rambut yang dikuncir. Gadis yang begitu dekat dengan Fakhira atau lebih tepat lagi disebut sahabat sejak kecil.

"Ada apa? Kenapa kamu menangis? Ayo pulang, tidak baik berada disini. Ibumu mencarimu," ajak Alisha kepada sahabat terbaiknya yang masih menangis dan memandang lurus dengan tatapan yang kosong serta air mata yang terus mengalir.

"Aku tidak ingin pulang. Katakan pada Ibu, aku sayang padanya. Katakan juga pada Ayah, aku tidak akan lagi hadir dalam hidupnya. Aku tidak akan pernah datang lagi ke rumah itu." Gadis yang kini menangis itu menolak ajakan sahabatnya untuk pulang.

"Kenapa? Hei, Hira. Mungkin Ayah mu sering memarahimu, bukan berarti ia tidak sayang padamu. Ia hanya ingin kau mandiri, ia hanya ingin kau tidak bergantung pada orang lain, ia sayang padamu Hira." Lisha membujuk sahabatnya sembari merangkul tubuh gadis tersebut agar mau pulang.

"Lalu, jika Ayah sayang padaku kenapa Ayah hanya bisa memarahi ku? Kenapa ia memanjakan orang lain sementara aku selalu dibentak setiap melakukan kesalahan kecil?" ketus gadis tersebut terhadap sahabatnya dengan wajah kecewa.

"Hira, kau tidak boleh seperti ini. Coba kau pikirkan, jika kau tidak pulang lalu bagaimana dengan Ibumu. Ia sangat menantimu untuk pulang. Ayolah Hira, demi Ibumu! Apakah kau tega melihat ibumu khawatir padamu? Jika Ayah mu tidak bisa memberi kasih sayang yang kau inginkan setidaknya ada Ibumu yang sangat sayang dan perhatian padamu." Lisha berusaha memaksa meski hatinya tak tega melihat mata sembab sahabatnya akibat menangis.

"Baiklah, demi Ibu aku akan pulang." Gadis tersebut mulai menghapus air mata dengan  jari-jari mungilnya lalu tersenyum pada sahabat yang berada disampingnya.

"Iya, ayo pulang. Ibumu menanti." Kedua gadis tersebut berdiri dan berjalan menyusuri jalan yang masih banyak pepohonan rindang untuk pulang kerumah.

***

Tepat di belakang rumah yang begitu besar terdapat seorang gadis yang tengah duduk santai di sebuah rumah yang merupakan rumah Pamannya.

Saniya Radinda, gadis dengan rambut ikal yang sebuah anting yang menggantung di telinganya yang merupakan sepupu dari Fakhira kini sedang membersihkan kukunya yang mulai memanjang. Tiba-tiba datanglah dua gadis yang sedang berjalan menuju rumah tersebut yang membuat Niya berhenti melakukan kegiatannya tadi.

"Kamu darimana saja, Fakhira? Pergi seenaknya tanpa pamit, membuat semua orang sibuk mencarimu," ketus Niya tanpa peduli dengan mata sembab Fakhira seraya bangkit dari duduknya.

"Hei, ini semua gara-gara kau. Kaulah yang membuat Hira kehilangan kasih sayang Ayahnya. Kau juga tidak tahu malu, kenapa kau begitu senang tinggal di rumah orang dibanding dengan rumah mu sendiri? Dasar tidak tahu malu. Sepupu macam apa kau?" ketus Lisha geram dan membalas cibiran Niya.

"Eh, ini rumah Pamanku, jadi terserah padaku jika ingin tinggal disini. Pemilik rumah saja tidak marah jika aku tinggal di sini lalu kenapa kau yang hanya tetangga sebelah malah marah?" cibir  Niya pada Lisha.

"SUDAH! kenapa kalian malah bertengkar? Ayo Lisha, kita masuk." Fakhira menyela pertengkaran sembari menarik lengan Lisha dan memasuki rumah tanpa memberi kesempatan pada Lisha untuk bicara.

Niya yang ditinggal di belakang rumah kini geram ketika Fakhira lebih membela Lisha dibanding ia sebagai sepupunya.

"Fakhira." Sontak suara tersebut membuat kedua gadis yang hendak memasuki kamar terhenti dan menoleh ke belakang.

"Nak, kamu dari mana saja? Ibu khawatir padamu sayang," ucap wanita berambut sebahu dan tahi lalat di dagunya serta perut yang agak membuncit langsung mendekati Fakhira.

"KATIYA! bawa putrimu itu masuk ke gudang sebelum aku yang memaksanya dan mengurungnya tanpa makan dan minum," hardik seorang lelaki paruh baya bernama Fardan Maulana dari atas tangga yang merupakan Ayah Fakhira dengan tatapan tajam.

"Aku mohon, jangan kurung Fakhira, dia baru pulang. Kasihan dia! Tolong jangan kurung ia dalam gudang lagi." Kini wanita yang sedang mengandung selama 7 bulan itu dan merupakan Ibu Fakhira melipat kedua tangan dengan buliran bening yang terus bercucuran dari pelupuk matanya. Wanita itu berusaha untuk meyakinkan laki-laki yang saat ini adalah suaminya untuk memaafkan Fakhira.

   Karena tak tega dengan istri yang kini tengah mengandung anaknya, Fardan berpikir sejenak lalu memalingkan wajahnya dari hadapan istri dan anaknya.

"Baik, tapi awas saja jika putrimu itu membuat ulah kembali. Besok malam rekan kerjaku akan datang kemari dengan membawa anaknya. Dan aku tidak mau melihat wajah putrimu yang sialan itu," laki-laki tersebut pergi setelah membentak istrinya yang selalu membela Fakhira.

"Nak, sekarang masuklah ke kamar ya! Ibu akan menyiapkan makan untukmu sayang." Ibu Fakhira berusaha menenangkan Fakhira seraya menghapus air mata putrinya dengan kedua tangan-nya.

"Tidak, Bu! Aku tidak lapar. Aku hanya ingin istirahat." Fakhira menolak ajakan Ibunya sembari melepas pegangan tangan Ibunya dari pipi-nya.

"Baiklah, kalau begitu. Istirahatlah di kamar." Wanita tersebut tidak melarang anaknya agar tidak terus bersedih jika ia terlalu memaksanya untuk makan.

"Ya, Bu. Lisha, aku ke kamar dulu." Setelah berbincang sebentar, ia mulai menaiki anak tangga.

   Di dalam kamar bernuansa biru itu, Fakhira segera menuju tempat tidur setelah pintu ditutup dan dikunci dari dalam. Gadis tersebut tidur tengkurap seraya menindih gulingnya lalu terisak sejadi-jadinya mengingat Ayahnya yang begitu kejam padanya.

   Setelah berjam-jam menangis dan jam telah menunjukkan pukul 19:00 WIB, gadis tersebut tertidur pergi ke alam mimpi.

Pemilik Hati Gadis Biru [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang