Part 1

49 12 1
                                    

   Suara kokokkan ayam sudah terdengar. Mentari mulai mengintip dari ufuk timur dengan cahaya-nya mulai menyelinap melalui jendela sehingga cahaya-nya memasuki kamar bernuansa biru tersebut. Gadis yang awalnya tertidur pulas kini menggeliat kecil dan mulai membuka matanya perlahan.

   Netra birunya merasa silau ketika ada cahaya yang menyinari bagian wajahnya. Ia terlonjak kaget dan bangun dari tidurnya saat sadar bahwa hari sudah pagi.

"Sudah pagi? Jam berapa ini?" Sambil melirik jam yang saat ini menunjukkan pukul 06:15 WIB.

"Sudah jam seperti ini tidak ada yang membangunkanku. Bagaimana ini? Aku pasti akan telat."

   Gadis itu beranjak dari tempat tidurnya menuju kamar mandi. Saat akan membuka pintu kamar mandi, ia dikejutkan oleh suara seseorang yang mengetuk pintu seraya memanggil namanya.

   Niat untuk membuka pintu kamar mandi diurungkan dan segera menuju pintu di mana suara seseorang memanggilnya.

"Iyaa, tunggu sebentar." Gadis bernetra biru itu membuka pintu dan mendapati sepupunya disana yang tidak memakai seragam sekolah.

"Hira, kenapa kau lama sekali membuka pintu? Apa kau kesiangan?" Niya tampak heran dengan Fakhira yang lama membuka pintu.

"Niya, aku tadi ingin mandi dan kau benar aku kesiangan. Kenapa kau tidak memakai seragam? Cepat pakai, ini sudah siang nanti kita terlamabat." Fakhira menyuruh Niya bersiap-siap. Akan tetapi, Niya hanya menatap Fakhira dengan wajah heran.

"Fakhira, kau sakit?" Niya yang kebingungan memegangi kening Fakhira yang mengira ia sakit.

"Niya, ini bukan waktunya untuk main-main," ucap Fakhira.

"Kau ini sakit atau bagaimana? Kita ini diliburkan selama 2 hari. Lalu kenapa kau menyuruhku segera memakai seragam? Sudah, mandilah sana. Aku kemari hanya ingin mengajakmu ke pasar. Mau tidak?" Ajakan Niya hanya dibalas anggukan oleh Fakhira.

"Baiklah, aku akan menunggumu. Jam sembilan nanti kita ke pasar. Ini masih pagi, masih ada waktu. Aku juga lapar jadi aku mau ke bawah untuk makan."

   Niya berlalu pergi, Fakhira menutup pintu kamarnya menuju tempat tidurnya kembali. Ia merebahkan tubuhnya diatas kasur sembari menghembuskan nafasnya dengan kasar.

   Ia menatap langit-langit kamar bernuansa biru tersebut seakan mengingat sesuatu. Seketika ingatan tentang kemarahan Ayahnya terlintas dalam benaknya. Tanpa ia sadari, mengalirlah buliran bening dari netra birunya yang keluar tanpa izin.

   Dalam lamunan-nya, ia sangat ingin disayangi Ayahnya dan dianggap layaknya seorang anak kandung. Namun, ia sadar semua itu hanyalah khayalan semata. Nyatanya, Ayahnya tak pernah menganggapnya sebagai anak kandung.

"Siapa aku? Benarkah aku anak kandung Ayah dan Ibu? Jika aku memang anak mereka, lalu mengapa aku diperlakukan seperti ini? Jika bukan, lalu siapa orang tuaku? Mengapa mereka membuangku?" Terlintas dalam benak gadis yang masih larut dalam lamunan-nya bahwa ia bukanlah anak dari pemilik rumah yang ditinggali sekarang ini.

   Dalam lamunan-nya ia terus berpikir, dengan buliran bening dari netranya yang terus mengalir. Tiba-tiba seseorang mengetuk sehingga lamunan gadis tersebut terbuyar. Ia bangkit dari tempat tidurnya lalu berjalan ke arah pintu di mana suara ketukan berasal. Gadis itu membuka pintu dan mendapati seorang wanita paruh baya berdiri di depannya dengan membawa sepiring nasi, dua mangkuk kecil lauk pauk dan segelas susu dan air putih diatas nampan.

"Owhh ... Bibi. Ada apa Bi?"

"Ini, Non. Bibi membawa nasi untuk Non. Dari kemarin Non belum makan, jadi Bibi bawakan nasi untuk Non. Dimakan ya," seru wanita tersebut sembari menyodorkan nampan.

"Terimakasih, Bi. Aku juga sudah lapar, nanti akan kumakan. Aku masuk dulu ya, Bi. Papaaaaayyyy ...." Gadis itu mengambil nampan dari tangan wanita itu lalu menutup pintu. Ia menuju meja belajar dan menaruh nampan di atas meja tersebut. Ia mengambil segelas susu dan meneguknya setengah.

***

"PAK SUPRIIII ...." teriak seorang gadis di teras depan kepada seorang pria paruh baya yang bekerja sebagai supir dan berseragam hitam.

"Iya, Non Niya. Ada apa?" Dengan tergopoh-gopoh supir itu mendekati arah suara berasal.

"Siapkan mobil sekarang! Aku dan Hira ingin ke pasar."

"Maaf, Non Niya. Tuan melarang saya untuk mengantar Non Hira. Saya takut kalau Tuan akan marah dan memecat saya jika saya mengantar Non Hira." Dengan suara agak gemetar, supir tersebut menolak suruhan Niya untuk mengantar ke pasar.

"Ayolah, Pak. Paman tidak akan memecat bapak, serahkan semua padaku."

"Maaf, Non sekali lagi maaf. Saya tidak bisa." Supir tersebut tidak menghiraukan permohonan gadis tersebut dan berlalu pergi. Gadis yang masih berdiri di teras berdelik sebal ketika permintaannya tidak dihiraukan. Akhirnya, gadis tersebut teringat bahwa Pamannya sedang miting lalu merencanakan sesuatu.

   Di dalam kamar bernuansa biru, terlihat seorang gadis mengenakan baju berwarna biru dengan panjang bajunya menutupi lengan serta menutupi lutut dan celana putih yang dikenakan menutupi mata kakinya. Gadis tersebut duduk di depan cermin sembari menyisiri rambut panjangnya. Aktivitasnya itu terhenti ketika seseorang membuka pintu dan masuk tanpa mengetuk pintu lagi.

"Niya, bisakah kau mengetuk pintu dulu sebelun masuk? Tidak sop ...."

"Ini bukan waktunya untuk ceramah. Cepat ikut aku." Niya memotong ucapan Fakhira dan menarik lengan Fakhira lalu keluar. Sebelum keluar, tak lupa Fakhira mengambil tas selempang warna biru yang selalu dibawa kemana-mana.

   Kedua gadis tersebut mengendap-ngendap keluar melewati pagar belakang rumah yang kebetulan sedang tidak ada penjaganya. Setelah berhasil keluar dan lolos dari para penjaga, kedua gadis ini menaiki sebuah angkot yang kebetulan berada di dekat mereka. Dan tanpa mereka sadari ada seseorang yang mengikuti mereka sejak mereka keluar dari rumah.

"Niya, kenapa kita naik angkot? Bukankah kita bisa minta Pak Supri untuk mengantar? Jika Ayah tau kita keluar secara sembunyi-sembunyi seperti ini, kita akan kena masalah," ujar Fakhira pada gadis berbaju merah dengan lengan pendek yang sibuk mengipasi dirinya dengan tangan.

"Ck... Fakhira, Pak Supri tidak mau mengantar kita karena Paman tidak mengizinkanmu untuk keluar. Jadi kau diam saja." Niya berdelik sebal karena sepupunya terus bertanya dengan pertanyaaan bertubi-tubi.

"Lalu, bagaimana jika Ayah marah padaku? Lebih baik kita pulang saja, Niya. Aku takut Ayah akan marah nanti."

   Ketakutan Fakhira membuat Niya memutar bola matanya dengan malas.

"Bisakah kau tenang? Kau tidak akan dimarahi, aku yang akan mengatasi. Mengerti?!" ucap Niya asal-asalan pada sepupunya.

   Fakhira terdiam ketika mendengar jawaban singkat sepupunya. Ia kembali larut dalan pikiran-nya. Ia berpikir, selama ini Niya tidak pernah membelanya dan hari ini Niya mengatakan bahwa dia yang akan mengatasi kemarahan Ayahnya. Fakhira kini dilanda kebingungan, apakah ia harus percaya atau tidak pada sepupunya tersebut?

Pemilik Hati Gadis Biru [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang