Part 3

21 13 1
                                    

   Sebuah mobil angkot berhenti di depan rumah bercat putih dengan pagar warna hitam dan halaman yang tidak terlalu luas. Seorang gadis turun dari angkot tersebut, gadis itu tak lain adalah Niya. Ia merasa lega karena berhasil lolos dari kejaran Bodyguard Paman-nya. Tapi, ia sadar bahwa Fakhira tertinggal di pasar.

"Ya ampun, kenapa aku bisa lupa pada Fakhira? Apa yang harus kukatakan pada Paman? Paman pasti akan marah besar. Aku harus menemui, Bibi." Niya panik ketika sadar bahwa Fakhira tertinggal di pasar dan ia memilih untuk menemui Katiya lewat belakang rumah.

🍀Ruang Tamu🍀

"Maaf, Tuan. Non Niya berhasil kabur dan menaiki sebuah angkot. Kami berdua kehilangan jejak angkot tersebut dan mungkin Non Niya akan segera sampai di sini," ujar salah satu Bodyguard yang mengejar Niya.

"Lalu bagaimana dengan, Fakhira?"

"Maaf, Tuan. Non Fakhira dibawa oleh seorang laki-laki yang kira-kira seumuran dengan Non Fakhira," ujar Bodyguard yang memiliki luka lebam di sudut bibirnya.

"Dasar tidak becus. Mengejar gadis kecil saja tidak bisa, dasar tidak berguna!" teriak Fardan pada Bodyguard-nya yang pulang dengan tangan kosong.

   Niya yang berdiri di depan pintu tiba-tiba tubuhnya merasa gemetar setelah mendengar ucapan Fardan. Ia mengendap-ngendap pergi ke belakang rumah untuk menemui Katiya. Gadis ini masuk melalui jendela yang kebetulan tidak terkunci. Ia naik dari jendela dan berhasil masuk. Setelah berhasil masuk, ia terkejut saat seseorang memegang bahunya. Ia membalikkan tubuh perlahan dengan wajah tertunduk ketakutan.

"Niya," ujar seorang wanita yang tak lain adalah Katiya, Bibinya. Lantas Niya langsung memeluk Katiya dengan tangis yang pecah.

"Ada apa, Niya? Mengapa kau menangis? Ceritakan pada Bibi."

"Bibi, ini semua salahku. Jika aku tidak mengajak Hira ke pasar, Hira tidak akan hilang." Niya menjelaskan kejadian yang telah terjadi di pasar tadi dengan air mata yang terus mengalir.

   Katiya tertegun mendengar penjelasan dari Niya. Seketika tubuhnya melemas dan terduduk di sebuah sofa panjang. Buliran bening jatuh dari pelupuk matanya.

🍀
      Sebuah mobil berhenti di bawah pohon rindang.

"Nona, bangun Nona," ujar Faisal seraya menepuk pipi gadis yang kini tak sadarkan diri. Gadis tersebut menggeliat dan membuka matanya perlahan. Matanya menangkap wajah seorang laki-laki tepat di dekat wajahnya. Ia terkejut lalu berteriak histeris meminta tolong dan memukul-mukul kaca jendela mobil.

"Tolong! Tolong aku! Ada penculik, tolong ...!" teriak Fakhira sembari memukul kaca jendela mobil.

"Hei, diam. Aku bukan penculik dan aku tidak akan menyakitimu." Faisal membekap mulut gadis tersebut agar berhenti untuk berteriak.

"Bukannya berterima kasih karena telah dibantu malah disebut sebagai penculik. Lebih baik aku tidak usah membantumu di pasar tadi. Dan lebih baik aku segera pulang daripada membuang-buang waktu menolongmu," ujar Faisal kesal saat disebut sebagai seorang penculik dan mulai melepas bekapan tangan-nya pada mulut gadis tersebut.

"Siapa kau? Dimana aku? Antar aku pulang, cepat!" Fakhira mulai angkat bicara saat mulutnya tidak lagi dibekap oleh Faisal.

"Kau sadar tidak? Bukan-nya minta maaf karena salah malah minta antar pulang. Pulang saja sendiri sana, aku tidak tau di mana rumahmu itu."

"Berarti kau tega membiarkan perempuan pulang sendiri," ujar Fakhira seolah-olah tak terima jika harus pulang sendiri.

"Hei, aku tidak tau di mana rumahmu itu. Cari saja angkot atau taksi. Dengan cara itu kau tidak akan pulang sendiri karena banyak penumpang di dalam angkot." Rasa kesal telah menguasai Faisal sehingga ia bicara kasar pada gadis tersebut.

   Fakhira tertunduk takut setelah dibentak oleh Faisal. Matanya mulai berkaca-kaca. Melihat hal itu mebuat Faisal tak tega terhadap gadis itu.

"Di mana rumahmu? Aku akan mengantar," tanya Faisal dengan lembut pada gadis yang kini sedang tertunduk.

"Jalan Ganesa No. 160," jawab Fakhira singkat  dengan wajah yang masih tertunduk takut.

   Mobil melaju dengan normal, tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut mereka berdua. Masing-masing fokus ke depan. Faisal tak tega pada gadis yang baru saja dibentaknya itu. Ia merasa bersalah dan mencoba membuka percakapan terlebih dahulu.

"Emmm... namaku Faisa Alfarizki. Siapa namamu?" Fakhira mendongakkan kepalanya saat mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Faisal.

"Fakhira Walia," jawaban singkat Fakhira dan dibalas anggukkan oleh Faisal.

"Mengapa kau dikejar laki-laki tadi di pasar?"

"Itu Bodyguard Ayahku. Aku dan sepupuku pergi ke pasar tanpa izin dari Ayah dan kami terpisah saat dikehar tadi." Dengan terus memandang ke depan, gadis tersebut menjelaskan tanpa menoleh ke arah laki-laki yang sedang menyetir mobil itu.

"Lalu, di mana sepupumu itu sekarang?"

"Sepertinya dia sudah pulang. Aku tadi tidak sengaja melihatnya menaiki sebuah angkot saat aku terjatuh."

   Faisal melontarkan pertanyaan selama dalam perjalanan. Setelah aksi tanya jawab itu berlangsung agak lama, mereka sampai di sebuah rumah besar dengan cat putih dan pagar hitam.

"Apa ini rumah yang kau maksud?" Faisal bertanya untuk memastikan bahwa rumah yang dilihat itu adalah rumah gadis tersebut.

"Iya." Fakhira hanya menjawab singkat sembari membuka pintu mobil dan keluar. Fakhira berjalan menuju gerbang tanpa menoleh ke belakang.

"Nona, tasmu tertinggal," ujar Faisal yang masih berada dalam mobil sembari menyodorkan tas biru . Langkah Fakhira terhenti saat menuju gerbang. Ia berbalik dan mengambil tas yang berada di tangan Faisal.

"Iya, terima kasih."

"Kau ini sungguh unik, Nona. Bajumu biru, tasmu biru dan bahkan matamu juga biru. Apakah matamu itu memakai ...,"

"Tidak, mataku tidak memakai apapun. Sejak kecil memang sudah berwarna biru," ucap Fakhira memotong ucapan Faisal karena ia mengerti apa yang akan diucapkan oleh Faisal.

"Oh ... kalau begitu, aku permisi. Sampai jumpa gadis biru," ujar Faisal sembaru menjalankan mobilnya dan berlalu pergi meninggalkan gadis yang masih berdiri di depan gerbang.

    Seorang satpam membuka gerbang ketika melihat Fakhira berdiri di depan gerbang tersebut. Fakhira melangkah masuk ketika gerbang itu dibuka.

"Pak, apakah niya sudah pulang?" Fakhira bertanya pada seorang satpam yang berdiri di depannya tentang keberadaan Niya, sepupunya.

"Entahlah, Non. Saya tidak melihat Non Niya pulang." Fakhira tertegun mendengar jawaban dari satpam tersebut. Dengan ragu, ia melangkah masuk ke dalam rumah dengan harapan bahwa Niya sudah pulang dalam keadaan baik-baik saja.

   Fakhira melangkah masuk pada sebuah rumah bercat putih itu. Langkahnya tertuju pada sebuah ruangan, ia mendengar suara isak tangis seseorang yang tak lain adalah Niya. Matanya membulat seketika saat mendengar tangis tersebut. Langkahnya dipercepat memasuki ruangan tersebut.

"Niya," lirih Fakhira saat sampai di dalam sebuah ruangan dan mendapati Niya yang tengah menangis dalam pelukkan Ibunya di sofa. Ia melangkahkan kaki ingin mendekati Niya. Namun, langkahnya terhenti ketika seseorang memegang erat lengan kirinya.

"Dari mana saja kau, hah?"

Bersambung ...

Pemilik Hati Gadis Biru [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang