Apakah Takhrij Hadits Termasuk Hasil Ijtihad
Mon 14 January 2013
Pertanyaan :Saat ini saya sering temukan bulletin atau majalah yang isinya mengkritik habis perilaku ibadah atau pendapat masyarakat lainnya yang menurut mereka bid'ah karena tidak berdalil atau dalil yang dipakai lemah sehingga tidal layak dipakai.
Menurut pengamatan saya, biasanya mereka mengatakan lemah kuatnya dalil merujuk kepada ulama mereka.
Di lain waktu saya menemukan buku dari pihak yang dituduh bid'ah yang mengatakan bahwa ibadah mereka punya landasan yang kuat dan tidak lemah.
Dari hal tersebut saya mengambil kesimpulan bahwa penilaian seseorang tentang shohih, hasan, dhaifnya suatu hadits adalah hasil ijtihad orang tersebut yang bisa saja benar bisa juga salah. Benarkah dan bolehkah saya berkesimpulan seperti itu?
Jawaban :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Apa yang anda simpulkan itu memang benar sekali. Melakukan dan memberikan al-hukmu alal-hadits memang pada hakikatnya adalah sebuah proses ijtihad, dimana seorang ahli hadits (muhaddits) mengerahkan segala kemampuannya dalam meneliti suatu hadits, baik dari segi sanad maupun matannya. Dan tentunya sangat dimungkinkan bahwa antara seorang muhaddits dengan muhaddits lainnya saling berbeda dalam menilai derajat suatu hadits.
Misalnya, Imam Al-Bukhari mengatakan bahwa suatu hadits itu derajatnya tidak memenuhi syarat shahih yang telah ditetapkannya, maka hadits itu tidak beliau masukkan ke dalam kitab shahihnya. Sebab kitab itu berisi kumpulan hadits yang telah beliau 'ijtihadkan' memenuhi persyaratan yang beliau telah tetapkan sebelumnya.
Namun ada imam lainnya, misalnya Imam At-Tirmizy, justru mengatakan bahwa hadits itu shahih. Sebab menurut beliau, para perawi hadits itu semua orang-orang yang tsiqah dari awal hingga ke level shahabat. Sehingga tidak ada alasan untuk mendha'ifkan-nya.
Maka hadits tersebut dikatakan shahih, dengan detail keterangan bahwa hadits itu "dishahihkan oleh At-Tirmizy", meski tidak dishahihkan oleh Al-Bukhari.
Perlu diketahui bahwa meski diakui integritas dan ketelitiannya dalam ilmu hadits, namun bukan berarti Al-Bukhari satu-satunya orang yang berhak mengatakan bahwa suatu hadits itu shahih atau tidak shahih. Selain Imam Al-Bukhari, masih banyak para muhadditsin lainnya, yang tidak kurang ahlinya di dalam meriwayatkan hadits.
Bahkan sesungguhnya para ulama mujtahid mutlak yang mendirikan mazhab-mazhab fiqih, tidak lain adalah para muhaddits juga. Seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam As-Syafi'i, Imam Ahmad bin Hanbal, rahimahumullah rahmatan wasiah dan lainnya. Sebab syarat seorang mujthid mutlak memang harus punya kapasitas sebagai orang yang mampu melakukan penelusuran keshahihan suatu hadits. Mustahil ada seorang mujtahid yang tidak mengerti bagaimana menilai dan mendudukkan suatu hadits.
Bahkan kelebihan mereka dibandingkan dengan para muhadditsin adalah bahwa mereka juga memiliki dasar dan pola kaidah istimbath hukum yang sempurna. Sebagaimana kita maklum, bahwa nilai keshahihan suatu hadits yang diberikan oleh satu orang muhaddits dari sekian banyak muhaddits, tidak bisa lantas begitu saja bisa diambil kesimpulan hukumnya.
Sebab di tempat lain masih mungkin ditemukan hadits lainnya yang tidak kalah shahihnya, namun secara zhahir bertentangan atau berbeda esensinya. Sehingga perlu dicarikan hubungan yang menyatukan antara keduanya. Apakah yang satu menasakh yang lain, atau yang satu bersifat umum ('aam) dan yang lain bersifat khusus (khash), atau yang salah satunya menguatkan yang lainnya.
Dengan demikian, kita tahu bahwa keshaihan suatu hadits itu belum lagi bisa dijadikan kesimpulan hukum. Masih ada banyak proses lagi agar kesimpulan hukum itu bisa didapat. Dan proses selanjutnya itu, biasanya bukan lagi tugas para muhadditsin, melainkan tugas para ahli fiqih. Sedangkan para ahli fiqih itu sendiri harus punya kapasitas seorang ahli hadits (muhaddits). Adapun tugas para muhadditsin itu terbatas hingga memberi nilai derajat suatu hadits saja.
Salah satu orang yang di masa sekarang ini yang sering melakukan ijtihad di antaranya adalah Nashiruddin Al-Albani. Meski agak sedikit kontroversial, namun setidaknya ada sekelompok orang yang sangat menyakini hasil-hasil ijtihadnya. Bahkan ada juga yang entah kenapa, sampai-sampai mengangkatnya sebagai ahli hadits terakhir yang tersisa di abad ini. Tentu anggapan ini sangat mengundang perdebatan yang panjang dan amat kontroversial.
Lepas dari perdebatan dalam urusan Al-Albani yang kontroversial itu, setidaknya apa yang dilakukan oleh Al-Albani itu bisa dijadikan contoh tentang bagaimana ijtihad dilakukan orang dalam menetapakn hukum dari suatu hadits. Dan yang namanya ijtihad, bisa benar dan bisa salah.
Penilaian atas keshahihan suatu hadits 100% murni hasil ijithad, dan kitda tidak akan menemukan ketetapannya baik dari Al-Quran atau dari sunnah Rasulullah SAW sendiri. Ya, Rasulullah SAW tidak pernah bersabda tentang sesuatu, lantas setelah itu dibagian akhir beliau menambahkan bahwa hadits ini shahih ya wahai orang-orang. Tidak pernah hal itu terjadi.
Maka kita harus tahu benar bahwa kecuali Bukhari dan Muslim, siapa pun yang suka menilai suatu hadits dengan vonis shahih atau vonis apa pun, dia bisa benar dalam ijtihadnya, tetapi dia juga bisa salah. Hal itu karena kita sadar bahwa sebuah ijtihad hanyalah upaya seorang anak manusia, dimana seseorang kadang benar dan kadang salah.
Maka penilaian seorang Al-Albani dan siapapun atas hadits-hadits itu tentu bukan wahyu yang turun dari langit serta wajib diimani tanpa reserve. Tidak ada orang yang pasti benar dalam semua pendapatnya kecuali Rasulullah SAW al-ma'shum.
Salah satu buktinya, beberapa kali para ulama di zaman sekarang ini menemukan ketidak-konsekuenan beliau dalam menilai suatu hadits. Terkadang di suatu kitab, beliau menilai suatu hadits sahih, namun di kitab lainnya atas hadits yang sama, beliau menilainya sebagai hasan atau dhaif.
Mungkin beliau selalu melakukan penelitian, sehingga apa yang pernah disimpulkan, boleh jadi direvisi lagi. Dan hal itu sah-sah saja. Bukankah dahulu Al-Imam As-Syafi'i rahimahullah juga melakukan revisi atas ijtihad-ijtihad beliau, sehingga ada qaul qadim dan qaul jadid?
Dan semua itu mengajak kita sampai pada suatu kesimpulan berharga, bahwa penilaian para muhaddits atas suatu hadits adalah ijtihad. Dimana seseorang bisa benar dan bisa salah, bahkan sangat dimungkinkan baginya untuk merevisi ulang hasil ijtihadnya itu.
Dan ini tentu sangat manusiawi sekali, serta sama sekali tidak mengurangi integritas yang bersangkutan. Serta tidak mengurangi rasa hormat dan penghargaan kita atas semua ijtihad yang beliau kerahkan dengan sepenuh kekuatan.
Dan anda jangan marah dulu kalau ada orang berfatwa begini dan begitu yang menurut anda kurang tepat. Sebab selama materinya cuma berdasarkan ijithad atas keshahihan hadits, pasti bisa benar dan bisa salah. Apalagi yang menilai bukan orang yang ahli hadits sesungguhnya, maka jangan terkecoh dulu. Sebab bisa saja semua itu cuma sebatas klaim. Yang namanya klaim itu jangan terlalu dipikirkan, nanti kita stress sendiri.
Apalagi nanti masih ada ribuan ahli hadits lain yang bisa saja mereka punya pendapat yang berbeda dengan apa yang ditulis di majalah itu. So, santai sedikit dan jangan gelisah.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
🌼🌼🌼
KAMU SEDANG MEMBACA
مختصر لمادة؛ علوم الحديث | Ringkasan Pembahasan Ilmu Hadist ✓
Tâm linhبِسْــــــــــــــــمِ ﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم الحمدلله وكفى، وسلام على عباده الذين اصطفى. وبعد... Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah SWT. Salawat dan salam kepada nabi Muhammad Saw. Untuk memudahkan mempelajari Sebuah Hadist, maka ditunt...