Apakah Setiap Hadits Mutawatir Sudah Pasti Shahih?
Tue 18 March 2014
Pertanyaan :
Assalamu’alaikum Wr. Wb,Saya mau bertanya tentang dasar-dasar ilmu hadits.
Begini ustad, ada sebagian kelompok yang menolak hadits-hadits ahad dan mereka beranggapan bahwa hadits ahad itu lemah dan anggapan mereka ini telah ustad bantah pada artikel sebelumnya bahwasanya hadits ahad dapat dijadikan hujjah apabila derajat hadits tersebut shahih.
Jadi yang menjadi pertanyaan saya adalah:
1. Kalau hadits ahad bisa dijadikan hujjah apabila derajat hadits tersebut shahih, jadi apakah setiap hadits yang berpredikat mutawatir sudah pasti shahih?
2. Ustad saya sering membaca kitab-kitab hadits dimana ulama berkomentar terhadap suatu hadits, contohnya ulama tersebut berkata: “Isnadnya shahih”, apa pengertian dari isnad ini ustad, apakah sama dengan sanad ?.Demikianlah pertanyaan saya, sebelumnya saya ucapkan terima kasih.
Wassalam
Jawaban :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,1. Mutawatir dan Shahih
Ketika kita membagi jenis hadits, kita harus perhatikan dengan cermat, atas dasar apa hadits itu kita bedakan antara satu dengan yang lain.
Dalam hal ini orang sering kali keliru dan tertukar-tukar. Padahal kita seharusnya teliti. Ada pembagian hadits berdasarkan jumlah perawi, yaitu ada yang jumlahnya banyak dan ada yang jumlahnya sedikit.
Di sisi lain, ada pembagian hadits berdasarkan kualitas perawi. Dalam hal ini yang jadi ukuran bukan lagi jumlah perawi, tetapi seberapa berkualitas sosok sang perawi.
Maka kalau kita bicara tentang hadits mutawatir, sesungguhnya yang sedang kita bicarakan adalah jenis hadits berdasarkan jumlah perawinya. Dalam hal ini hadits terbagi menjadi mutawatir dan ahad.
Hadits mutawatir adalah hadits hasil tanggapan dari pancaindera yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi yang menurut adat kebiasaan, mustahil mereka berkumpul dan bersepakat berdusta [1].
Maka dari itu, bisa disimpulkan bahwa syarat hadits mutawatir adalah:
1. Pemberitaan yang disampaikan oleh perawi harus berdasarkan tanggapan pancainderanya sendiri
2. Jumlah perawinya harus mencapai suatu ketentuan yang tidak memungkinkan mereka bersepakat dusta. Sebagian ulama menetapkan 5, 7, 10, 12, 20 orang. Sebagian yang lain menetapkan sejumlah 40 orang di setiap tingkatannya.
3. Adanya keseimbangan jumlah antara rawi-rawi dalam setiap thabaqah (lapisan) sampai akhir sanad.
Sementara hadits Ahad adalah hadits yang selain mutawatir atau kebalikan dari mutawatir. Maksudnya hadits ahad itu adalah hadits yang jumlah perawinya tidak sampai jumlah perawi hadits mutawatir.
Lalu apakah setiap hadits mutawatir sudah pasti shahih?
Jawabannya tentu saja iya. Bahkan lebih shahih daripada hadits yang kita kenal dengan sebutan hadits shahih. Karena hadits mutawatir sudah tidak dimungkinkan rawinya untuk berbohong.
Ilmu yang dihasilkan dari hadits mutawatir adalah ilmu yakin, atau sering disebut ilmu dharuriy. Ilmu dharuriy oleh Ibnu Hajar didefinisikan sebagai ilmu yang tidak bisa ditolak oleh semua orang [2].
Tetapi jangan keliru dengan menyangka bahwa hadits ahad sebagai kebalikan dari hadits mutawatir itu pasti tidak shahih. Sebab saat kita bicara shahih atau tidak sahih, kita bicara tentang kualitas perawi. Sedangkan kalau kita bicara tentang mutawatirk kita sedang bicara tentang jumlah perawi. Sedangkan istilah shahih itu semata bicara kualitas perawi.
Hadits Ahad itu kebalikan dari hadits mutawatir, maksudnya hadits Ahad adalah hadits yang jumlah perawinya tidak mencapai jumlah minimal yang memenuhi syarat sebagai hadits mutawatir.
Dan jumlah perawinya tergantung dari kriteria para ulama, kalau kita pakai pendapat yang menyebutkan minimal jumlah perawi 40 orang untuk hadits mutawatir, maka bila jumlah perawinya cuma 39 orang, sudah termasuk hadits Ahad.
Tetapi kalau kita pakai pendapat yang mensyaratkan minimal jumlah perawi hadits mutawatir itu 5 orang, maka bila jumlahnya cuma ada 4 orang sudah termasuk hadits Ahad.
Jadi pengertian hadits Ahad tidak selalu hadits yang jumlah perawinya hanya satu orang.Tetapi hadits yang jumlah perawinya kurang dari syarat minimal hadits mutawatir.
Ketika kita bicara hadits shahih, maka kita sedang bicara tentang kualitas seorang perawi. Bisa saja ada hadits yang jumlah perawinya hanya satu, tetapi karena kualitasnya memenuhi syarat, maka hadits itu berstatus shahih.
Dan jumlah hadits Ahad tetapi berstatus shahih ini banyak sekali jumlahnya.Sebaliknya, justru hadits yang mutawatir itu jauh lebih sedikit.
Tetapi bisa saja karena perawinya sedikit dan kualitas masing-masing perawi ada yang buruk, sebuah hadits Ahad bisa saja menjadi tidak shahih.
2. Sanad dan Isnad
Sanad adalah jalan yang dilalui sebuah matan hadits, atau dengan kata lain sanad adalah para rawi sebuah hadits.
Kebanyakan ulama tidak membedakan antara sanad dan isnad. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Jama’ah al-Kinani as-Syafi’i (w. 733 H) dalam kitab al-Manhal ar-Rawiyy [3]. Seperti: hadits ini muttashil sanadnya, atau hadits ini muttashilul isnad.
والمحدثون يستعملون السَّنَد والإسناد لشَيْء وَاحِد
Para muhaddits menggunakan istilah sanad dan isnad untuk satu hal.
Hal itu dibenarkan juga oleh Sirajuddin Ibnu al-Mulaqqin as-Syafi’i (w. 804 H) dalam kitabnya al-Muqni’ fi Ulum al-Hadits[4]. Diperjelas oleh al-Hafidz as-Sakhawi (w. 902 H) dalam kitabnya at-Taudhih al-Abhar dan Imam as-Suyuthi dalam kitabnya Tadribu ar-Rawi [5].
Al-Hafidz as-Sakhawi (w. 902 H) menjelaskan [6]:
والإسناد أو السند: هو الطريق الموصل للمتن
Isnad atau sanad adalah jalan yang sampai kepada suatu matan
Meski demikian, ada pula yang membedakan antara sanad dan isnad. Dari segi bahasa, isnad dari kata asnada-yusnidu-isnadan yang berarti menyandarkan sesuatu.
Sanad lebih kepada jalan yang dilalui oleh sebuah hadits atau para rawi, sedangkan isnad adalah menceritakan jalan suatu hadits.
Abu Abdillah bin Jama’ah as-Syafi’i (w. 733 H) menjelaskan[7]:
أما الْإِسْنَاد فَهُوَ رفع الحَدِيث إِلَى قَائِله
Isnad adalah menghantarkan suatu hadits kepada yang mengucapkannya
Seperti: asnada al-hadits ila Abi Bakar, menyandarkan suatu hadits kepada Abu Bakar.
Jadi, yang lebih banyak dipakai oleh para ulama’ muhadditsun terkait isnad adalah sama dengan sanad.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Hanif Lutfi, Lc
_____________[1] Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H), Nuzhat an-Nadzar, (Kairo: Daar al-Hadits, 1418 H), hal. 37
[2] Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H), Nuzhat an-Nadzar, hal. 39
[3] Abu Abdillah Muhammad bin Ibrahim bin Jama’ah as-Syafi’i (w. 733 H), al-Manhal ar-Rawiyy, (Damaskus: Daar al-Fikr, 1406 H), hal. 30
[4] Sirajuddin bin Mulaqqin as-Syafi’i (w. 804 H), al-Muqni’ fi Ulum al-Hadits, (Riyadh: Daar al-Fawaz, 1413 H), hal. 1/ 110
[5] Jalaluddin as-Suyuthi (w. 911 H), Tadrib ar-Rawi, hal. Hal. 1/ 27
[6] Syamsuddin as-Sakhawi (w. 902 H), at-Taudhih al-Abhar, (Maktabah Adhwa’ as-Salaf, 1418 H), hal. 30
[7] Abu Abdillah Muhammad bin Ibrahim bin Jama’ah as-Syafi’i (w. 733 H), al-Manhal ar-Rawiyy, hal. 30
🌼🌼🌼
KAMU SEDANG MEMBACA
مختصر لمادة؛ علوم الحديث | Ringkasan Pembahasan Ilmu Hadist ✓
روحانياتبِسْــــــــــــــــمِ ﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم الحمدلله وكفى، وسلام على عباده الذين اصطفى. وبعد... Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah SWT. Salawat dan salam kepada nabi Muhammad Saw. Untuk memudahkan mempelajari Sebuah Hadist, maka ditunt...