Chapter 21: Menghitung hari

846 143 14
                                    


"Pagi dini hari, rindu mengetuk kaca hati. Mengetuk matamu yang berkaca-kaca itu."

###


INI malam yang tenang. 

Kota Isekai tetap ramai seperti biasanya. Dan dari balik kaca hotel, Levy menyaksikan padatnya lalu lintas kota. Ada bising yang tak pernah usai di sana.

"Kanao belum balik?"

Levy menoleh ke arah Robin. Gadis itu baru saja keluar dari kamar mandi, usai membersihkan diri. Dengan rambut basahnya yang sedang ia gosokkan dengan anduk itu memancarkan aura dewasanya yang begitu elegan.

Cantik sekali.

"Belum, Kak. HPnya Kanao lowbat, tadi gue chat Tanjirou. Kanao ada sama dia, kok." ujar Levy sembari melempar kembali tatapannya keluar. 

"Baguslah, aman kalo gitu."

Robin duduk di pinggir ranjang sembari terus mengeringkan rambutnya. Yah, baru pertama kali sang Leader tim fisika kabur. Tapi yang paling memahaminya adalah Robin. 

Robin tahu baik Kanao maupun Tanjirou, keduanya masih sama-sama kacau karena kedatangan Shinobu pagi tadi. Biarlah mereka belajar di luar dahulu.

"Yang tadi pagi itu siapa, ya?"

Robin melirik Levy sejenak, sebelum kembali menggosokkan handuk di rambutnya. "Kakak Kanao itu."

"Hah??" mata Levy membelalak sempurna, ia menoleh ke arah Robin yang ia punggungi itu. "Seriusan lo, Kak? Orang yang ribut tadi pagi itu kakaknya? Kok beda banget?"

"Hush!" Robin menegur Levy tegas. "Nggak baik, Levy. Jangan bilang gitu," lanjutnya menasihati. 

"S-sorry, Kak." jawab Levy tergagap. "Gue nggak ada maksud apa-apa, sih. Cuma ya... gimana mau jelasinya..."

Robin menghela nafasnya tegas. Ia pun menyandarkan siku pada lututnya. Ia membiarkan sisa air yang belum kering dari rambutnya menetes membasahi karpet kamar mereka. 

Hening.

Keduanya terjebak pada dunia masing-masing. Dan sungguh, tumbuh dari remaja menuju dewasa adalah masa-masa paling menyakitkan. Dimana para muda-mudi harus terus berjuang melawan dunia dan keluar dari zona nyaman mereka. 

"Gue tau maksud tersirat lo, Vy. Dan iya, Kanao emang bukan adik kandung dari kakaknya yang sering dia ceritain itu. Tapi elo, Vy, gue percaya lo, gue percaya ini bukan masalah yang harus di besarkan." 

Levy meneguk ludahnya sendiri. Tak perlu dijelaskan lagi, Levy cukup paham apa yang dimaksud Robin. Lagi pula gadis itu tidak bodoh.

"Iya, Kak." jawabnya.

Robin tak menyahut lagi. Gadis itu pun bangkit dan beranjak menuju ke sebuah meja rias. Robin pun mulai menyisir rambut hitamnya perlahan.

"Kak," panggil Levy.

"Hm?" sahut Robin tanpa menoleh.

"Tahun lalu..... juga ada masalah serumit ini?"

Robin berhenti sejenak. Ia menatap bayangannya sendiri dalam kaca. Ia menatap dalam pada iris birunya sendiri, seolah ada jiwa lain yang tengah berjuang di sana. 

"Vy, setiap siswa ngebawa beban mereka masing-masing ke hotel karantina ini. Lo tau, gue tau, semua tau, ini udah jadi rahasia umum."

Levy mengangguk pelan dalam diamnya. Namun tetap ia usahakan untuk mengukir segaris senyum tipis di bibirnya. "Gue bukan anak olim, tapi gue denger dari temen gue, katanya ada yang pernah ikut karantina, tapi belum ijin orang tuanya."

Robin terdiam sejenak. Pikirannya terbang sejenak, ia berusaha keras mengingat-ingat. Dan hanya sejurus kemudian, Robin terkekeh kecil. "Iya, dia malsuin tanda tangan orang tuanya juga." Robin tersenyum kecil, lalu menoleh pada Levy. "Lo tau, kan, siapa orangnya?"

Levy mengangguk dengan senyum tipisnya. "Sasuke Uchiha,"


— ANAK OLIMPIADE —


Datangnya hari olimpiade sudah dapat di hitung dengan jari tangan. Semua siswa telah mempersiapkan yang terbaik. Tak tanggung-tanggung, tim fisika ruang 352 pun menambah jam palajaran mereka sendiri. 

Hal ini tak lain dan tak mungkin atas permintaan mereka sendiri. 

Gihren Zabi melirik jam tangan yang melingkar di pergelangannya. Pria itu pun menghela nafasnya, lalu melirik kelima anak didiknya itu.

"Kalian nggak capek? Ini udah mau setengah 3 sore, loh." ujar pria itu.

"Dikit lagi,Pak. Tinggal 8 soal," sahut El sembari terus menuliskan jawabannya diatas lembar jawab. 

Sedetik kemudian, keheningan berhembus di ruang belajar mereka. Gihren Zabi kembali menghela nafasnya. Dasar, ruang 352 memang dipadati oleh anak-anak ambis.

"Bapak tinggal ke kamar kecil dulu," ujar pria itu sebelum bangkit dan meninggalkan ruang belajar 352. Namun tak ada yang menyahut. Kelimanya sibuk dengan soal masing-masing.

Ah, sudahlah. Pria itu mulai menyusuri lorong menuju ke kamar mandi. 

Gihren Zabi tahu ada yang aneh. Tanjirou, sang Leader tim fisika ruang 352 itu berubah. Seperti ada yang ia sembunyikan. Ralat, banyak. Banyak yang ia sembunyikan.

Dasar remaja ambis.



Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Anak Olimpiade |  Tanjikana✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang