Hari ini adalah hari perlombaan tujuh belas Agustus di sekolah Dimas. Pagi-pagi sekali Revan sudah datang ke Panti menjemput Calista dan anak-anaknya. Revan dan Calista ikut ke sekolah, sedangkan Azka akan di titipkan pada Omanya.
"Kotak P3K udah di bawa, kan?"
"Udah."
"Baju ganti Dimas? Abis lari nanti pasti keringetan, kulit Dimas sensitif, nanti gatel-gatel."
"Udah, Van..."
"Sepatu yang baru di beli kemarin buat lomba lari nggak ketinggalan, kan?"
"Nggak, Van, itu di bawa kok."
"Oh iya, barang-barangnya Azka udah–"
"Astaga Revan Anggara... kamu nih cerewet banget sih! Semua yang kamu bilang dari kemarin-kemarin itu udah aku siapin. Capek banget jawabin pertanyaan kamu."
Di bangku belakang, Dimas terkekeh geli mendengar omelan Calista untuk Revan. Azka yang berada di atas pangkuan Calista karena tidak mau duduk di car seat khusus miliknya pun ikut tertawa karena mendengar tawa Dimas.
"Kebiasaan banget kamu marah-marah di depan anak-anak." Rutuk Revan dengan wajah kesal.
"Kamu sih, mancing-mancing terus. Dimas itu cuma mau ikutan lomba lari, bukan mau latihan militer sampai kamu harus sekhawatir itu."
"Awas aja kalau dia sampai jatuh."
"Ya ampun... aku telefon ambulance aja kali ya, buat jaga-jaga kalau anak kamu jatuh terus langsung di bawa ke rumah sakit pakai ambulance."
Revan mengarahkan satu tangannya mendekati pipi Calista lalu mencubit pipi Calista gemas sampai mantan istrinya itu mengaduh sambil memukul-mukul pelan lengan Revan. Bukannya berhasil melepaskan cubitan Revan, kini malah Azka yang ikut mencubit sebelah pipinya yang lain dengan kuat.
"Azka... pipi Ibu sakit, jangan di cubit." Rengek Calista. Dimas tertawa, begitu pun Revan yang melepaskan cubitannya.
"Ayah kan ubit Ibu, Aka mau ubit juga." Celoteh putra kecilnya itu yang kini menarik lagi tangannya karena melihat Revan tidak lagi mencubit pipi Calista.
Calista mengerucutkan bibirnya kesal pada Revan yang masih tertawa menyebalkan, tangannya mengusap-usap pipinya yang memerah. "Gara-gara kamu nih."
Seperti biasa, setiap kali mereka berada dalam satu mobil yang sama, terlebih lagi sejak Azka lahir, suasana di dalam mobil tidak pernah damai. Ada saja keributan yang terjadi, dan penyebab paling utama adalah Azka.
Azka ini memang luar biasa pecicilan, persis sekali seperti Akbar. Setiap berada di mobil, dia tidak mau duduk diam, ada saja benda di atas dashboar mobil yang dia tarik-tarik, dan Azka selalu ingin berdiri di atas pangkuan Calista. Terkadang kalau manjanya kambuh, dia merengek ingin duduk di pangkuan Revan yang menyetir. Revan mau-mau saja, dia merasa lucu dengan keinginan Azka. Tapi Calista melarangnya dengan tegas. Calista tidak mau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Begitu mobil mereka berhenti di depan rumah orangtua Revan, sudah terlihat orang-orang yang berdiri menunggu mereka di sana. Dimas yang lebih dulu turun untuk menyalami Oma dan Opanya serta Kila, lalu memeluk mereka satu persatu.
Calista turun dari mobil lalu menghampiri mereka, sedangkan Revan mengambil tas yang berisi keperluan Azka selama bocah kecil itu di titipkan di sana.
"Udah sarapan belum, Dim?" tanya Kila pada Dimas yang berada dalam gendongan Opanya.
Dimas mengangguk semangat. "Udah. Onty udah sarapan? Adik bayinya jangan sampai lapar, ya..."
KAMU SEDANG MEMBACA
CALISTA Book 2
Художественная прозаSebagian cerita sudah di hapus Mengarungi kehidupan rumah tangga yang berakhir menyedihkan membuatku hanya menginginkan satu hal jika pun aku akan menikah lagi nanti. Tolong, cintai aku. - Calista