Revan sudah membuka pintu mobilnya ketika dia Bunda Ara memanggilnya dan membuat Revan kembali menurutp pintu mobil. "Ya Bunda?"
Bunda Ara tersenyum kecil padanya. "Kamu udah makan?"
"Udah tadi sama Dimas."
"Ditemenin Calista?"
Revan mengangguk.
"Oh iya, Bunda baru dapat pemberitahuan tadi, kamu ada transfer ke rekening panti, ya?"
"Iya, tadi udah bilang sama Calista."
"Buat apa? Kan bulan ini udah?"
Revan menggaruk belakang lehernya salah tingkah. Dia tidak mungkin mengatakan alasannya, kan?
Bunda Are terkekeh geli melihat gelagat Revan yang dia mengerti. "Pasti lagi-lagi karena takut anak-anak kamu nggak hidup dan makan dengan layak di sini. Iya, kan?"
"Eh, nggak kok Bunda. Itu cuma..."
"Iya juga nggak apa-apa. Malah Bunda senang. Itu artinya... kamu orangtua yang bertanggung jawab. Dan rasa tanggung jawab kamu itu buat anak-anak di sini beruntung."
Revan tersenyum kecil. Ini yang paling dia sukai dari Bunda Ara, selalu memandang sesuatu dari sisi yang positif. Dan hal itu juga dia ajarkan pada Calista hingga membuat Calista menjadi perempuan paling luar biasa yang pernah Revan temui dalam hidupnya.
"Kamu mau balik ke kantor, Van?"
"Iya, Bunda."
"Hm... Bunda mau ngomong sebentar sama kamu, bisa nggak?"
"Bisa. Kenapa, Bunda? Soal Panti?"
Bunda Ara menatap Revan lama, lalu menggelengkan kepalanya pelan. "Soal Calista."
"Calista?"
Bunda Ara mengangguk, dia mendesah panjang dan menatap Revan sendu. "Bunda nggak tahu apa yang sedang kamu lakukan bersama Calista. Entah kalian memang hanya berperan seolah semuanya baik-baik saja demi anak-anak, atau memang kenyataannya keadaan saat ini memang sudah sebaik ini. Bunda juga nggak tahu bagaimana perasaan kamu pada Calista dan sebaliknya. Tapi yang Bunda tahu... saat ini Calista menjalin hubungan bersama Adit."
Lagi-lagi Adit...
"Sebenarnya ini bukan urusan Bunda. Tapi, sebagai orang yang menyayangi dan peduli sama kamu dan Calista. Di mata Bunda, kamu sedang mengharapkan sesuatu pada Calista. Jadi Bunda minta, jika kamu memang sangat mengharapkan hal itu, maka perjuangkan, Revan. Jangan lagi mengulur-ngulur hati dan waktu Calista. Dia sudah terlalu lama menderita, dan Bunda sangat berharap baik kamu maupun Calista bahagia dengan cara yang kalian mau."
"Calista dan Adit saling menyukai." Lirih Revan tersenyum patah.
Bunda Ara menatapnya iba. "Dan kamu?"
Revan menghela panasnya berat, senyuman patah itu masih terpatri di wajahnya. Dia melirik jam tangannya dan kembali menatap Bunda. "Revan harus kembali ke kanto, Bunda. Sampai ketemu lagi." Ucapnya lalu segera masuk ke dalam mobilnya.
Bunda Ara menghela napasnya panjang. Selalu begini. Lagi-lagi Revan melarikan diri dari perasaannya sendiri.
***
Revan menyandarkan kepalanya lelah pada punggung kursi kerjanya. Sudah pukul delapan malam tapi dia masih berada di kantor untuk menyelesaikan beberapa pekerjaannya. Akhir-akhir ini dia memang lumayan sibuk, bahkan kemarin dia tidak ikut hangout bersama teman-temannya dan memilih tidur untuk melepas lelah. Namun meski sesibuk itu, Revan tetap menyisihkan waktunya untuk mengantar dan menjemput Dimas ke sekolah dan juga bermain bersama Azka meski sebentar.
KAMU SEDANG MEMBACA
CALISTA Book 2
General FictionSebagian cerita sudah di hapus Mengarungi kehidupan rumah tangga yang berakhir menyedihkan membuatku hanya menginginkan satu hal jika pun aku akan menikah lagi nanti. Tolong, cintai aku. - Calista