"Tumben rumah sepi." Ujar Revan pada Mamanya. Hari ini adalah hari minggu, dia pergi ke rumah Mamanya setelah mengantar anak-anak kembali ke panti karena mereka harus menghadiri acara ulangtahun teman sekolah Dimas.
"Papa kamu main golf sama teman-temannya, Kila sama Ethan lagi belanja perlengkapan bayi mereka, Bima lagi ngurusin Resto."
"Kenapa Mama nggak ikut Mbak Kila, dari pada sendirian di rumah."
"Kila sama Ethan jarang ketemu, apa lagi punya waktu berduaan, Mama nggak mau ganggu."
"Tapi kan Mama jadi sendirian di rumah."
Mama Revan tersenyum kecil menatap putranya. "Kan sekarang udah ada kamu. Temenin Mama sampai Papa pulang, ya?"
Revan menatap Mamanya lekat. Wajah cantik Mamanya mulai terlihat menua dan tampak lelah. Mamanya adalah pribadi yang ceria, tangguh, penyayang hingga senang sekali berkumpul dengan seluruh keluarga besar mereka.
Namun semenjak Revan melakukan kesalahan itu, Mamanya tidak lagi terlihat sama. Keceriaan di wajah cantik itu seolah terkikis habis tidak tersisa. Tidak ada lagi keluarga yang sering berkumpul di rumah mereka, tidak ada lagi sosok Mama yang senang mengomeli mereka. Bahkan di tahun pertama pasca perceraian, Mamanya lebih senang mengurung diri dari pada harus berkumpul bersama mereka.
Selain telah mengkhianati Calista, membuat Mamanya kecewa adalah salah satu kesalahan terbesar yang pernah Revan lakukan.
"Van, kenapa ngelihatin Mama sampai segitunya?"
Teguran Mamanya menyadarkan Revan dari lamunan. Revan tersenyum tipis lalu menggelengkan kepalanya. Dia melirik televisi yang masih menyala karena tadi Mamanya sedang menonton televisi saat dia datang.
Revan menghela napas beratnya, lalu perlahan-lahan dia menaikkan kedua kakinya ke atas sofa, dan merebahkan kepalanya ke atas pangkuan Mamanya.
"Eh, tumben banget kamu manja begini." Kekeh Mamanya.
Revan hanya tersenyum kecil, namun ketika Mamanya mengusap-usap kepalanya, Revan merasa kedua matanya memanas.
"Anak-anak gimana, Van? Sehat-sehat kan semuanya?"
Revan berdeham, berusaha menetralkan suaranya meski air matanya nyaris tumpah. "Sehat. Azka lagi aktif-aktifnya, lebih cerewet juga sekarang."
"Mama ampun deh kalau ngikutin Azka main. Aktif banget. Beda sama Dimas dulu yang kalem."
"Tapi Azka nggak cengeng kaya Dimas."
"Iya sih. Tapi Dimas cengeng kan karena kamu yang suka manjain dia."
"Mama juga."
Mama Revan tertawa pelan. "Dulu kan Dimas cucu satu-satunya, semua perhatian ya jatuhnya ke Dimas, wajar lah dia begitu." Revan hanya bergumam sebagai balasan, kini dia memejamkan kedua matanya, menikmati sentuhan hangat Mamanya yang selalu bisa menenangkan. "kalau Calista... gimana, Van?"
Revan tahu pertanyaan ini pasti akan terlontar. "Sehat."
"Maksud Mama... kalian... gimana?"
Kedua mata Revan kembali terbuka. Suara Mamanya terdengar lirih saat melontarkan pertanyaan itu.
"Van, Mama kangen banget sama suasana dulu. Mama bisa sering ketemu cucu, ketemu Calista juga. Dulu, waktu Calista masih jadi menantu Mama, setiap kali kangen mereka Mama bisa minta Calista langsung ke sini. Mama masak banyak makanan kesukaan mereka. Tapi Calista pasti ngomel karena Mama masak kebanyakan padahal yang makan cuma dua orang," Mama Revan tertawa parau hingga membuat Revan yang mendengarnya mengetatkan rahangnya. "Mama juga kangen lihat Calista mondar-mandir di sini. Dia itu lucu, suka kesel kalau bantuin Mama masak, tapi setiap kali di larang nggak pernah nurut." Wanita paruh baya itu menghela napas beratnya. "Calista itu udah Mama anggap sebagai anak sendiri."

KAMU SEDANG MEMBACA
CALISTA Book 2
General FictionSebagian cerita sudah di hapus Mengarungi kehidupan rumah tangga yang berakhir menyedihkan membuatku hanya menginginkan satu hal jika pun aku akan menikah lagi nanti. Tolong, cintai aku. - Calista