Sepulang dari kantor, Revan bergegas ke rumah orangtuanya karena Kila memberitahunya kalau Calista dan anak-anaknya sedang berada di sana. Begitu sampai di rumah orangtuanya, sambil membawa beberapa bungkus makanan untuk anak-anaknya, Revan langsung mencari di mana keberadaan mereka semua.
Namun langkahnya terhenti ketika dia mendengar perbincangan antara Mamanya dan Calista di dekat jendela rumah. Keduanya berdiri menatap keluar jendela.
"Jangan datang, Ta. Nggak usah, biar Mama sama yang lain aja."
"Tapi, Ma–"
"Semua keluarga yang tahu mengenai perceraian kalian hanya akan mengasihani kamu kalau mereka melihat kamu datang ke sana. Pernikahan kalian hancur karena Renata, dan setelah itu dia menikah dengan laki-laki lain."
"Mama nggak boleh ngomong begitu..."
"Ta, sampai kapan pun Mama nggak akan maafin dia. Kalau aja Papanya bukan adik Mama, Mama nggak akan mau melihat wajah Renata lagi."
Revan menyandarkan tubuhnya ke belakang, pegangannya pada bungkus makanan di tangannya mengerat.
"Sebenarnya, tanpa kehadiran mbak Renata pun dalam pernikahan kami, cepat atau lambat kami tetap akan berpisah, Ma..."
"Calista..."
"Masalah di antara kami nggak sesederhana itu, Ma... kami–"
"Dimas sama Azka mana?" tanya Revan yang sengaja menghampiri mereka agar percakapan di antara Calista dan Mamanya tidak berlanjut. Revan tidak lagi mau membahas masa lalu, hal itu hanya akan membuat mereka semua kembali dirundung kesedihan. Bagi Revan, masa lalunya hanya akan dia jadikan sebagai pembelajaran hidup untuknya agar kedepannya dia tidak lagi salah mengambil langkah.
Mendapati keberadaan Revan, baik Calista mau pun Mamanya tampak bergerak canggung.
"Di kamar Kila." Jawab Mamanya.
Revan menyerahkan bungkusan ditangannya pada Calista. "Buat anak-anak, nanti bawa ke kamar."
Calista mengangguk lalu mengambil bungkusan itu dari tangan Revan. Dia segera beranjak pergi dari sana untuk memindahkan makanan itu ke piring sebelum di berikan pada anak-anak. Sepeninggalan Calista, Revan menatap Mamanya lirih. "Jangan dibahas lagi, Ma."
Mamanya menggelengkan kepala pelan. "Mama nggak mau Calista datang ke sana."
"Tante udah kirim undangan ke Panti."
"Bukan berarti Calista harus datang."
Menghela napas berat, Revan memeluk Mamanya dan mengusap-usap punggung Mamanya lembut. "Revan tahu Mama sangat menyayangi Calista. Tapi, Calista sudah bukan lagi menantu Mama yang harus mendengarkan semua permintaan kita semua. Calista hanya Ibu dari cucu-cucu Mama. Dia bebas melakukan apa pun yang dia mau, termasuk hadir di pernikahan Renata."
Mama Revan menangis membalas pelukan putranya. "Mama berharap banget, Van, kamu sama Calista rujuk. Mama cuma mau Calista yang jadi menantu Mama..."
Revan memejamkan matanya erat menahan rasa sesak di dadanya. Dia tidak buta, selama ini Revan sangat memahami kesedihan Mamanya dan juga harapan terbesarnya. Perceraian mereka saja sudah membuat Mamanya tidak lagi sama seperti dulu. Banyak sekali beban yang Mamanya rasakan setelah itu. Memikirkan Calista, cucu-cucunya yang harus hidup terpisah dari Revan, masa depan mereka. Semua itu membuat Mamanya kerap kali jatuh sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
CALISTA Book 2
General FictionSebagian cerita sudah di hapus Mengarungi kehidupan rumah tangga yang berakhir menyedihkan membuatku hanya menginginkan satu hal jika pun aku akan menikah lagi nanti. Tolong, cintai aku. - Calista