13

147 6 0
                                    

Tok ....
Tok ....
Tok ....

Bi Inah mengetuk pintu kamar Amara. Hendak mengantarkan sarapan pagi dan segelas susu.

"Non, sarapan dulu," pinta bi Inah dari depan kamar Amara.

Satu menit, dua menit, sampai lima menit tak ada suara dari dalam kamar. Bi Inah kembali mengetuk pintu, berharap ketukannya kali ini didengar Amara.

"Non ...."
"Sarapan dulu non ...."

Didalam kamar

Amara terpapar lesu, matanya membengkak, akibat semalaman menangis, rambutnya awut-awutan. Apalagi kamarnya berantakan tak karuan. Barang-barang berserakan dilantai. Dari mulai tisu, bantal, guling, boneka, foto Datas dan Amara. Semua barang dikamarnya menjadi pelampiasaan amarahnya. Yah, terlihat seperti anak kecil memang. Itu lah Amara pikirannya masih pendek, belum bisa berpikir terlalu jauh. Apalagi untuk berprasangka baik dalam situasi yang teramat menyaki dirinya saat ini.

Seperti orang gila kiranya penampilan Amara saat ini. Dulu Amara juga pernah seperti ini. Saat akan ditinggal papanya tugas negara.

Bi Inah masih setia menunggui Amara membukakan pintu kamarnya. Baginya ini adalah pekerjaan yang harus dituntaskan sebagai seorang pelayan. Ditambah lagi bi Inah sudah sangat menyanyangi Amara. Baginya sudah dianggap anak sendiri. Bagaimana tidak sejak baru lahir saja bi Inah yang merawatnya bahkan menyusinya.

"Non ...." Panggil bi Inah hati-hati, takut Amara terusik.

"Amara nggak lapar bi."

"Dari kemarin kan non belum makan. Nanti kalau non sakit gimana? Makan dulu ya ...."

"Sayang, buka dulu ya kamarnya. Ini papa, "seru Suryo dari depan kamar.

"Amara lagi pengin sendiri Pa!"

"Iya, papa ngerti kok. Tetapi makan dulu ya, sayang ...."

"Amara nggak lapar, Pa!"

"Papa dobrak ya pintunya!"
 
Akhirnya Amara mengalah dan membukakan pintu untuk papanya.
Suryo kaget melihat penampilan anak kesayangannya itu. Dengan segera tangan kekarnya memeluk tubuh ringing anak kesayangannya. Ada rasa bersalah menjalar dalam hati Suryo melihat kondisi Amara saat ini. Rasa bersalah tak bisa membuat anaknya bahagia.

"Amara makan dulu ya, papa suapin ya, "

Amara hanya mengangguk, mengiyakan.
Ada rasa lega setelah satu suap nasi berhasil masuk mulut Amara. Tak bisa membayangkan begitu hancurnya hati anak kesayangannnya ini.

"Makasih, Pa." Amara memeluk papanya dengan penuh sayang.

"Sama-sama, Sayang." Suryo membalas pelukan anaknya sembari mengecup keningnya.

"Ayo makan lagi!"

"Nah, pinter anak papa!"

"Udah ya, cantik nggak usah sedih lagi. Nanti papa ikutan sedih gimana?"

Amara semakin bergelayut dalam pelukan papanya. Tempatnya bermanja ria. Tempatnya berteduh dari kejamnya hujan yang menguyur kehidupan.

"Amara sayang papa." Amara mencium pipi papanya manja.

"Papa juga sayang Amara."

Sedih perlahan luntur dari kalbu, sebab peluk hangat penuh sayang sang Ayah yang menghangatkan. Ayah memang segalanya bagi Amara saat ini.
Pahlawan yang luar biasa.

Sore hari
Amara sedang ditaman belakng rumahnya, tempatnya sejuk sekali pemandangannya juga tak kalah menyejukan jiwa. Suasana yang sangat damai hanya suara kicauan burung yang berterbangan kesana kemari. Juga suara percik air dari air mancur buatan ayahnya.

Entah ada angin apa Amara mengingat kenangan bersama Datas kala itu. Dimana Datas membawa Amara pergi ke Karisidenan Kedu.

"Huhhh!" Amara mendengus kesal, bagaimana bisa ia mengingat kenangan bersama si tukang selingkuh itu.
Suasana yang tadinya damai kini berubah lagi, hatinya kembali terguncang. Perlahan cairan bening menetes dipipi Amara. Tetapi dengan cekatan Amara menghapusnya.

"Amara kuat, Amara pasti bisa lupain Datas. Semangat!" Tampak Amara berteriak menyemangati dirinya sendiri. Mencoba kuat meski masih sangat rapuh.

Sengaja Suryo hanya mengawasinya dari kejauhan. Memberinya waktu sendiri Amara untuk menenangkan jiwa dan pikirannya.
Langit mulai kelabu, ada awan hitam dilangit. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Amara masih tetap duduk diayunan. Masih menyendiri, bahkan sesekali melamun. Memang sudah tudak ada lagi tetesan air mata dipipinya. Hanya saja pelangi dibibirnya belum muncul. Benar saja, rintik-rintik hujan turun.

Benar saja, rintik-rintik hujan turun dan semakin lama rintiknya semakin deras. Amara masih tetap terdiam, tak ada keinginan untuk beranjak dari ayunan.

Kalau saja hujan mengerti bahwa ada yang sedang merindukan senja, sudah pasti dia tak akan turun sore ini. Agaknya senja pun sedang bersedih. Tak ada daya untuk menghibur penggemarnya sore ini.

Duar
Duar

Kilat tiba-tiba menyambar keras. Tanda ada elektron-elektron listrik yang bertabrakan.

"Amara!"

Amara hanya membisu, mungkin tak mendengar karena rintikan hujan yang turun. Atau malah memang tak mau menyahut.

"Amara!" seru Suryo lebih keras lagi.

Lagi-lagi Amara tak menyahut. Masih tetap membisu. Semua bajunya sudah basah kuyup. Suryo segera kedalam rumah untuk mengambil payung dan handuk. Setelah sudah menemukan barang yang dibutuhkan, Suryo langsung ketaman menemui anaknya.

"Amara ...."
"Masuk rumah ya, hujannya deras banget, nanti kalau kamu sakit gimana?" ucap Suryo sambil melekatkan handuk ditubuh Amara.

"Makasih Pa,"

"Iya, yuk masuk rumah ya, "

Amara tak menjawab, hanya berlalu meninggalkan papanya sendirian ditaman.


Assalamualaikum
Hi teman-teman. Aku up lagi nihhh, maaf ya lama banget. Semoga kalaian suka ya!

Jangan lupa kritik sarannya ya.
Maaf typo masih berserakan.
Jan lupa ya teman-teman, kalau suka kasih bintang. Gratis kok bintang.

See you
Love author
Indrianisilfi

"PENGGANTI" [Slow Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang