[9] Error

3.9K 500 20
                                    

"Baik itu kesedihan maupun kebahagiaan, keduanya sama. Tidak ada yang abadi."

☆☆☆

Memang tidak selamanya hidup ini berjalan mulus seperti jalan tol. Anggap saja dua hari yang lalu adalah hari yang sangat menyenangkan dalam kehidupan Razita. Namun, hal itu sudah tidak berlaku hari ini. 

Sejak tadi pagi, ada saja cobaan yang menghampirinya. Mulai dari komputer kantor di mejanya yang tiba-tiba tidak bisa menyala sehingga Razita harus memakai laptop pribadinya untuk bekerja. Sampai laptop keramat yang sejak empat tahun lalu bersamanya tidak pernah mengalami kerusakan, hari ini mendadak error.

Beruntunglah kendala tersebut terjadi satu jam sebelum jam pulang. Coba kalau sejak pagi? Bisa makan gaji buta Razita!

"Ini biasanya emang suka error gini?" Daniel sudah berulang kali mengotak-atik bergantian dengan Yudha tapi tetap saja tidak bisa.

"Baru sekali ini," cicit Razita dengan wajah pias. Sebenarnya, laptop ini bisa saja ia bawa ke tukang service, tetapi Razita takut kalau semua file yang belum ia cadangkan akan hilang tak bersisa. Mana ada pekerjaan hari ini yang belum sempat tersimpan lagi.

Yudha mengusap wajah fristasi, "Lain kali sering-siring nyadangin file aja, Zit biar kalau ada hal kaya gini lo gak panik!"

Mesya menyeret kursi di sebelahnya, "Duduk dulu, Zit biar gak tegang!"

Ada rasa hangat menyelimutikala tahu teman-temannya begitu peduli padanya. Namun, Razita juga merasa tidak enak lantaran harus merepotkan mereka semua. Lantas, ia pun melirik jam di pergelangan tangannya. "Kalian pulang aja gak papa! Habis ini aku bawa ke tukang service kok," ujarnya pasrah sambil mengambil alih laptopnya dari meja Yudha.

"Bentar!" Ghazi tiba-tiba menghentikannya. "Keburu pulang nggak?" tanyanya pada Razita. Mendapati sebuah gelengan Ghazi akhirnya berkata, "Kalau gitu tunggu dulu! Semoga aja kali ini bisa!" entah sudah mendapat wangsit dari mana tapi Ghazi membawa laptop tersebut ke mejanya dan mulai mengotak-atik sesuatu yang sama sekali tidak Razita pahami.

"Zit, Mbak pulang dulu ya udah dijemput soalnya!" pamit Sekar tidak enak hati karena yang lain masih di sini. Apa boleh buat, dia bukan lagi bujangan seperti mereka yang bisa bersantai setelah pulang dari kantor. Ada orang lain yang harus ia urus di rumah.

"Gak papa kok, Mbak, fi amanillah ya." Kebiasaan Razita mengucapkan bahasa-bahasa asing itu hampir setiap hari membuat semua orang sudah paham apa artinya. Setelah Sekar menghilang dari balik pintu, Razita balik bertanya pada dua orang lainnya. "Kalian nggak pulang?"

Lita mengibaskan tangannya santai, "Gue mah Cuma rebahan, Zit sampai rumah enakan juga di sini ada temennya."

"Gue..." Mesya sempat melirik ke arah lain sebelum kembali tersenyum, "Pingin di sini aja!"

Razita tersenyum samar. Ia mengerti arti ucapan Mesya tadi. Sepertinya sudah bukan rahasia lagi kalau Mesya sebenarnya punya perasaan pada Daniel. Dari yang Razita amati, kelihatannya Daniel juga sudah menyadarinya tapi sampai detik ini ia tidak kunjung memberi respon apapun.

Ah, kasian sekali sahabatnya itu! Terlibat cinta lokasi di satu ruangan pasti sangatlah tidak mudah. Syukurlah aku tidak pernah mengalaminya, batin Razita.

Perjuangan mengotak-atik selama kurang lebih setengah jam akhirnya membuahkan hasil. Entah cara apa yang Ghazi lakukan hingga kini laptop Razita sudah tidak memunculkan ikon-ikon aneh lagi.

"Alhamdulillah, akhirnya selesai juga!" sorak Lita yang langsung membereskan tasnya bersiap untuk pulang.

"Makasih banyak ya Kak," ucap Razita tulus pada Ghazi. Melihat bagaimana kerasnya usaha pria itu untuk membantunya ditambah kejadian di Bangka semakin membuat penilaian Razita pada Ghazi berubah. Ghazi mungkin bisa menjadi sangat jahil dan menyebalkan di satu waktu. Akan tetapi, ia juga bisa menjadi sosok yang paling serius dan peduli saat temannya sedang berada dalam kesulitan.

Ketika semua sudah menenteng tasnya masing-masing, Razita justru masih bergulat dengan laptopnya. "Kalian duluan aja! aku sekalian mindahin file, bentar doang kok," ujarnya meyakinkan teman-temannya.

Walaupun ragu dan sempat saling melirik satu sama lain Mesya akhirnya mendahului, "Yaudah kalau gitu kita duluan ya! Dah, Zita, assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, fi amanillah ya!" hanya berselang beberapa menit setelah ia melambaikan tangan dan bersandar di kursi sambil menunggu proses pemindahan file selesai, ketika mendadak laptopnya berulah lagi. Simbol-simbol aneh itu kembali muncul di layar.

"Astagfirullah!" Razita panik bukan main. "Ya Allah apa lagi ini?" rasanya detik ini juga Razita ingin menangis kalau tidak ingat ia sedang memindahkan file-file penting sekarang. Razita mondar-mandir selama beberapa kali. haruskah ia memanggil kembali teman-temannya? kemungkinan jarak mereka belum terlalu jauh saat ini, tetapi ia juga sungkan jika harus meminta bantuan lagi dan lagi.

"Gimana ya?" gerakannya semakin tidak beraturan dan ketika melihat layar laptop mendadak mati jantungnya seolah berhenti berdetak. Tidak, tidak boleh! Spontan Razita langsung berlari keluar sebelum semuanya semakin parah.

Karena terlalu lama berpikir Razita tidak menemukan siapapun sampai di depan lobi. Tidak ada yang ia kenal selain mereka berenam disini. Kepada siapa lagi ia harus meminta tolong?

Untuk pertama kalinya, Razita menyesali rasa sungkannya. Ternyata benar, terkadang ada satu dua hal yang memang tidak bisa kita atasi sendiri, karena itulah gunanya orang lain diciptakan. Kalau sudah begini hanya satu jalan yang tersisa, mengikhlaskan semua filenya menghilang dan bersiap untuk begadang demi mengulang kembali semua tugasnya hari ini.

Di tengah keputusasaannya itu, Razita malah mendengar suara orang memanggil namanya. hah, mungkin ini hanya halusinasinya saja! tapi semakin lama suara itu semakin jelas.

"RAZITA!"

Seketika Razita langsung terlonjak saat bahunya ditepuk. "Astagfirullah!" saat ia berbalik pupil matanya melebar menandakan kesenangan. "Kak Ghazi?"

"Laptop lo ada masalah lagi?" tebak Ghazi tepat sasaran. Siapapun yang berada di posisinya pasti menduga hal serupa saat melihat wajah kusut Razita. Tanpa berpikir panjang keduanya langsung bergegas ke ruangan.

Dengan cekatan Ghazi langsung meletakkan tasnya dan kembali berkutat dengan benda elektronik itu ditemani Razita di sebelahnya. Razita yang awalnya fokus mengamati perkembangan layar di hadapannya karena tidak paham dengan coding-coding yang Ghazi buat mendadak sadar kalau hanya ada mereka berdua di ruangan ini.

Razita langsung mendorong kursinya ke belakang, menjauh dari Ghazi dan membuat pria itu menatapnya terkejut. "Kenapa?"

"Em- itu-" Razita hanya melipat bibirnya ke dalam dan malah mengamati sekitarnya. Duh, bagaimana menjelaskannya ya?

"Buka aja pintunya! Kamu bisa ganjel pakai kursi kalau emang nggak nyaman," ujar Ghazi tanpa menatap ke arahnya sedikitpun. Seolah sedang berbicara dengan layar laptop bukan dirinya.

Entah hari ini Ghazi memang dalam mode 'sangat peka' atau memang sejak dulu sudah begitu, yang jelas terlalu banyak hal yang membuat kepala Razita pusing sehingga ia tidak bisa berpikir lebih jauh lagi. Namun, satu hal yang pasti...

Baik hari ini ataupun hari-hari sebelumnya, di saat Razita sibuk berpikiran negatif tentang Ghazi, di saat itu juga secara tidak sadar Ghazi telah banyak membantunya. Bahkan mungkin melebihi yang seharusnya.

Jadi, Razita harus mengucapkan yang mana dulu? 

Maaf atau terima kasih? 

Dan bagaimana ia membalas kebaikannya? 

☆☆☆

Dari penulis

Kesimpulannya, jangan terburu-buru menilai seseorang dari covernya yaa.

Tapi bukan berarti kita nggak perlu memperhatikan penampilan luar ya! karena saat kita ketemu orang baru pasti yang pertama kali dilihat luarnnya dulu kan? 

Intinya penampilan bukan yang utama tapi juga penting. 

Jangan lupa bahagia :)


Cahaya Di atas Cinta [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang