"Kita tidak bisa memaksa semua orang agar menyukai kita.
Tetapi, berbuat baik kepada semua orang adalah kewajiban kita."☆☆☆
Setelah mengunjungi pusat oleh-oleh beberapa jam yang lalu, kini bus yang mereka tumpangi sudah dalam perjalanan menuju Pelabuhan Bakauheni, Lampung. Kemungkinan mereka akan menyeberang Selat Sunda hampir tengah malam karena jalanan sedang macet sekarang.
"Ngapain lo jauh-jauh ke Bangka beli terasi?" sindir Yudha saat tak sengaja melihat Ghazi memindahkan belanjaannya ke bagasi atas. "Di Bandung banyak kali, Gas!"
"Kalau bukan Mama gue yang maksa juga gue gak bakalan mau!" gerutu Ghazi yang juga tidak mengerti keinginan aneh mamanya itu. Saat ditanya ingin dibelikan apa, bukannya menjawab jenis makanan atau pakaian tertentu, mamanya justru memesan 'terasi' dan tidak mau menukarnya dengan barang apapun.
Yudha geleng-geleng kepala. "Pantesan! Emang ya perempuan itu sukanya minta yang aneh-aneh."
"Bilang apa lo tadi?" Mesya yang mendengar mengernyit tidak terima. "Jangan bawa-bawa gender lah kalau cuma satu dua orang yang nglakuin! Enak aja lo asal sama ratakan!"
"Becanda kali, Sya." Ekspresi wajah Yudha seolah menggambarkan kalimat 'laki-laki selalu salah di mata perempuan'. Karena masih tahu batas dan tidak ingin mengganggu kenyamanan penumpang lainnya, Yudha pun menutup mulutnya.
Ghazi sempat menoleh sekilas ke arah Razita yang terlalu tenang malam ini. awalnya Ghazi mengira Razita tertidur karena perempuan itu memejamkan matanya. Namun, karena tidak ada pergerakan berarti dalam jangka waktu cukup lama Ghazi menajamkan kembali pandangannya. Benar saja, Razita menyatukan kedua tangannya dan megapitnya di antara paha. Dalam kata lain ia sedang kedinginan.
"Ta!" Ghazi mencoba menanggilnya pelan. "Razita!" panggilnya sekali lagi dan empunya mulai mengerjapkan mata pelan-pelan.
"Kenap—" belum sempat Razita selesai bicara ia merasakan sebuah benda ditaruh di pangkuannya. Jaket milik Ghazi. Spontan Razita langsung membuka matanya lebar meskipun belum sepenuhnya sadar. "Aku nggak dingin."
"Nggak dingin tapi bibir lo sampai biru gitu?" sarkas Ghazi kemudian mengibaskan tangannya. "Pakai aja gue gak lagi butuh!" lantas, ia juga berdiri untuk menutup AC di atas kepala Razita. "Jangan nyepelein suhu dingin! kalau lo hipoternia kasian yang ngrawat!"
Razita tidak sedang bermimpi kan? Ada angin dari mana sehingga Ghazi mendadak peduli padanya?
Razita pikir udara di Bangka akan normal-normal saja sehingga ia tidak berencana membawa jaket miliknya. Dan entah ini hanya perasaanya saja atau memang AC dalam bus ini terasa lebih dingin dari hari sebelumnya maka dari itu Razita memakai jaket merah yang dipinjamkan Ghazi lengkap beserta penutup kepalanya.
"Makasih, Kak."
"Gue bawa minyak kayu putih, lo mau?"
Hanya pertanyaan sepele tapi butuh beberapa detik bagi Razita untuk berkata 'boleh'. Ia hanya tidak ingin Ghazi berpikir yang aneh-aneh tentang dirinya karena merasa kedinginan padahal yang lain tidak. Setelah mengoleskan beberapa tetes di telapak tangannya Razita sedikit mulai merasa hangat dan perlahan memejamkan matanya. Bukan karena ingin tidur tapi untuk merenungkan satu hal.
Apa Ghazi memang sepeduli ini pada orang lain?
☆☆☆
Perkiraan awal ternyata salah. Bus melaju lebih cepat membelah jalan sehingga pukul sembilan malam mereka sudah bersiap menyeberang Selat Sunda. Sebenarnya Razita ingin menetap di dalam bus tetapi karena semua orang memilih turun ke kapal, mau tidak mau Razita ikut turun juga. Dan karena bagian dalam kapal sudah penuh, Sekar mengajak Razita, Lita, dan Mesya ke bagian atas kapal.
"Ketemu lagi! Ketemu lagi!" Lita berdecak heran saat melihat Yudha, Daniel, dan Ghazi ada di tempat yang mereka tuju. Padahal mereka sudah sempat berpisah tadi tapi malah bertemu lagi. Seolah dunia ini hanya berisi mereka bertujuh.
"Loh kok—" Daniel menatap Razita dan Ghazi bergantian. Lalu, yang lain mengikuti arah pandangnya.
"Eh iya, aku baru nyadar kalau Zita pakai jaketnya Kak Ghazi!" Lita akhirnya melanjutkan apa yang ingin Daniel katakan tapi tertahan karena keterkejutannya.
Semua pandangan langsung terfokus ke arah Razita sehingga membuat Razita sedikit salah tingkah. "Em- ini- ak- aku yang pinjem. Kedinginan tadi di bus."
Semoga setelah ini tidak ada kesalahpahaman. Ayolah, ini hanya masalah jaket!
Yudha malah mengacungkan jempol tangan kanannya pada Razita. "Lebih bagus lo yang pakai, Zit! Ya kan Nil?" sebelum kemudian tersenyum miring ke arah Ghazi yang sudah lebih dulu meninggalkannya dengan gerak-gerik seolah akan memotret sesuatu.
Rombongan laki-laki itu benar-benar menghindar sampai kapal mendarat di Pelabuhan Merak. Bus sudah lebih dulu berada di pintu keluar, jadilah penumpang yang tidak naik tepat waktu mesti berjalan cukup jauh, termasuk mereka bertujuh.
"Woy! Lempar koinnya!" teriak beberapa anak laki-laki yang setengah telanjang dari arah bawah jembatan. Razita cukup terkejut. Ia tahu tentang tradisi melempar koin ke air untuk menolak bala. Tetapi di jam seperti ini berenang di air, apa mereka tidak kedinginan?
"Sini!" suara salah satu dari sekian orang yang peduli dengan teriakan anak-anak itu. Di saat yang lain hanya berlalu begitu saja. Bahkan banyak yang tidak menoleh sedikitpun. Namun, pria itu terlihat berulang kali melempar koin ke arah mereka bersama kedua temannya dan tertawa saat anak-anak itu melakukan atraksi-atraksi kecil.
"Tangkap ya!"
Razita yang memperhatikan hal itu dari kejuahan sedikit mengernyit. Kenapa tidak langsung memanggil mereka saja lalu memberikan uang daripada membiarkan anak-anak itu menangkap dan sesekali menyelam ke dasar hanya untuk beberapa koin?
"Kak Ghazi buruan!" teriak Lita yang berada di samping Razita.
Ketiga pria itu sempat melambaikan tangan untuk mengucapkan selamat tinggal sebelum kembali melanjutkan perjalanan mereka yang tinggal beberapa meter saja menuju ke arah bus. namun, tepat saat hanya mereka bertiga berjalan di jembatan itu Yudha langsung menyempatkan diri bertanya, "Jadi kenapa, Gas?"
"Hah? Apanya?" Ghazi memasang wajah cengo.
Yudha tidak mau menjawab melainkan hanya senyam-senyum tidak jelas.
"Lo waras Yud?" ghazi ternyata masih tidak paham kemana arah pembicaraan ini. "Mau gue anter ke RSJ atau langsung aja gue ceburin ke bawah?"
Sementara Daniel yang tidak tahan dengan ulah kedua temannya yang semakin hari semakin absurd langsung menyeletuk, "Jaket lo Gas!"
"Gue nggak lagi pakai jaket, Nil!" jawab Ghazi enteng. Sementara Yudha langsung tertawa terbahak karena ketidakpekaan Ghazi.
Daniel memutar bola mata jengah dan memilih untuk mendahului mereka berdua. Sebelum pergi, tepat di samping Ghazi ia berkata, "Maksud Yudha, sejak kapan jaket lo boleh dipinjem sama orang lain?"
☆☆☆
Dari Penulis
Ada perasaan kalian stelah baca cerita ini?
Punya temen yang kaya Ghazi? jaket dipinjem aja gak boleh, pelit banget nggak sih, ^_^
Sampai jumpa lagi
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Di atas Cinta [COMPLETED]
Fiksi Umum#1 Ghazi 31/03/2021 #1 Razita 31/03/2021 #2 Editor 31/03/2021 #3 Fiksiislami 31/03/2021 "Apa gunanya wajah tampan kalau dia tidak bisa menaati perintah agamanya?" Razita Nirmala. "Keyakinan gue ya cukup gue sama Allah yang tahu, sisanya terserah or...