[29] Angkot, Hujan, dan Surabaya

3.3K 464 51
                                    

"Tubuh dibersihkan dengan air. Jiwa dibersihkan dengan air mata. Akal dibersihkan dengan pengetahuan. Dan jiwa dibersihkan dengan cinta."
(Ali bin Abi Thalib)

☆☆☆

Seharusnya ini menjadi hari yang paling menyenangkan bagi Razita karena ini merupakan hari terakhir Summer Writers Camp. Yang mana artinya setelah ini ia akan kembali bekerja di kantor, kembali mengurusi naskah-naskah yang sudah mengantri untuk ia poles seindah mungkin. Sayangnya sejak tadi pagi Razita bahkan tidak bisa terfokus pada satu hal pun.

"Mbak, nama saya pakai Z bukan pakai S!" Protes salah satu penulis ketika Razita salah menuliskan namanya di formulir.

"Maaf, saya perbaiki lagi ya!" Razita masih berusaha tersenyum sambil berulang kali berkata pada dirinya sendiri untuk fokus. Lagi pula ia juga tidak tahu apa yang membuat pikirannya seperti ingin meledak sekarang.

"Ta, iki kok kamu masukin emailnya kantor? Kita kan punya email sendiri buat acara ini." Baru satu masalah selesai, masalah lain datang.

Razita langsung menoleh ke arah laptop. "Eh, kok--" ucapnya menggantung saat dirinya sadar kalau ia sudah salah lagi.

"Aduh, Ra maaf ya! Sini biar aku pindahin sendiri." Razita berniat menarik laptop tersebut namun ditahan oleh Zahra.

"Gak papa biar aku aja." Zahra mentingkirkan tangan Razita. "Ada masalah banget ya? Kamu kelihatan nggak fokus loh, Ta dari tadi pagi!" Tegurnya.

Razita hanya menggeleng seraya tersenyum. Ia tidak mau membebani orang lain termasuk Zahra untuk urusan pribadinya. Apalagi pada sesuatu yang tidak ia yakini juga. Jujur Razita masih ragu apakah benar penyebab kegelisahannya adalah karena kejadian kemarin. Atau memang tubuhnya lelah semata-mata karena pekerjaan.

"Nggak masalah kok kalau mau nggak mau cerita. Yang penting kamu sanggup mikirin jalan keluarnya. Jangan terlalu larut sama satu masalah Ta, karena takutnya semakin lama kamu berpikir kamu malah akan kehilangan semuanya." Zahra sama sekali tidak berniat menyindir tapi entah kenapa Razita merasa ditampar oleh perkataannya.

Kehilangan semuanya? Memangnya apa yang ia miliki sejak awal? Bukankah semua yang ada di dunia ini adalah titipan?

Namun, beberapa jam kemudian ia mengerti apa maksud perkataan Zahra. Ketika senja perlahan berubah menjadi gelap, saat semua stand sudah berkemas untuk merapikan barang-barang mereka karena ini adalah akhir dari acara yang begitu istimewa ini, ada seseorang yang tiba-tiba menghampiri Razita.

"Mbak Sekar?" Panggil Razita setengah terkejut. Seketika ia teringat bahwa ini mungkin juga menjadi hari terakhir ia bertemu dengan mentor sekaligus orang yang sudah Razita anggap sebagai kakak ini disini. Sebelum besok atau mungkin malam ini juga Sekar kembali ke Bandung. Bersama orang lain juga yang sampai detik ini belum Razita lihat keberadaannya.

"Mbak mau pamitan!"

Tanpa bisa dicegah Razita langsung merangkul tubuh wanita itu. Matanya terasa panas meskipun ia tidak tahu apa yang ia rasakan sebenarnya. "Zita masih kangen sama Mbak!" Ujarnya manja dengan suara sedikit serak.

Sekar mengelus punggung Razita. "Kamu kan masih bisa main ke Bandung atau mungkin lain kali Mbak yang kesini lagi!" Ujarnya menenangkan. Bukannya tenang, Sekar merasakan pelukan di tubuhnya mengetat. "Jangan gini ah! Kayak mau pisah alam aja, kan masih bisa vidcall juga."

Razita melepas rangkulan mereka. "Udah pesen tiket Mbak?"

Sekar mengangkat sebuah tiket di tangannya. "Dua jam lagi berangkat." Merasa wajah Razita masih belum puas Sekar memutar bola matanya, "Kalau kamu mau tanya kapan Ghazi balik, dia mungkin balik besok pagi. Katanya masih mau keliling Surabaya gitu."

Cahaya Di atas Cinta [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang