"Andai hati bukan ciptaan Allah pastilah sudah hancur menjadi abu sejak dulu."
☆☆☆
"Maksud lo apa bilang ke Razita kalau gue orangnya?!" Selepas dari kedai Ghazi langsung menuju toko Rasya untuk memperjelas semua yang tidak ia ketahui. Ia duduk si salah satu kursi di depan meja kasir bersebrangan dengan Rasya.
Seperti biasa, di saat wajah Ghazi berkerut-kerut menahan emosi Rasya masih bisa cengar-cengir setelah pelanggannya baru saja pergi. "Gelang apa?" tanyanya sok polos.
"Gelang dari batu warna putih yang pernah gue pesen di sini," jawab Ghazi cekatan. Malas berbasa-basi. Sebenarnya ia dan Rasya sama sekali bukan musuh. Hanya saja mereka memang tidak cocok untuk kata pertemanan setelah kejadian beberapa tahun yang lalu.
"Emang kenapa sama gelangnya?" sikap Rasya yang terlampau tenang malah semakin membuat hati Ghazi dongkol. Apa pria itu tidak bisa serius sekali saja?
Ghazi menghela napas panjang lalu mengambil pasokan oksigen sebanyak mungkin. Ia tidak boleh emosi kalau ingin tujuannya tercapai. Ia harus mengikuti cara bermain Rasya. "Gue yakin Razita udah cerita ke lo tentang gelang itu! jangan pura-pura bego deh!"
"Terus ngapain lo menyempatkan waktu jauh-jauh kesini buat ketemu ke orang bego ini? buang-buang waktu kan?" Rasya menunjuk ke arah pintu keluar. "Percuma juga lo tanya ke gue yang gak ngerti apa-apa. Ini masalah lo sama Razita jadi jangan libatin gue pliss!"
Pengusiran secara halus yang Rasya lakukan sama sekali tidak digubris oleh Ghazi. "Lo mau buat gue buruk di mata Razita? Apa untungnya?"
"Buruk?" Rasya menyahut cepat. "Jadi gelang itu ada hubungannya sama keburukan? Pantes aja waktu Razita dateng ke sini dan nunjukin gelang itu ke gue ada noda merah di sana. Itu beneran darah?" Rasya menatap Ghazi dengan ekspresi kaget.
Hanya dengan melihat wajah Rasya Ghazi sudah hafal betul kalau pria itu sedang berpura-pura tidak tahu apa-apa. Baginya sudah sangat jelas bahwa Rasya justru mengetahui sesuatu yang tidak Ghazi ketahui. Itulah sebabnya ia berani menggoda Ghazi di saat genting seperti ini.
"Gue bener-bener nggak tahu apa mau lo." Ghazi akhirnya menyerah.
Rasya menunjukkan smirknya tanda kegirangan. "Gue udah pernah bilang kan waktu itu di cafe. Pilihannya cuma dua. Lo pilih Ines atau Razita?"
Ghazi semakin mengetatkan wajahnya. Menahan diri agar tidak melayangkan pukulan ke wajah Rasya untuk kedua kalinya.
"Kenapa? Lo merasa bersalah karena terlihat sebagai pembunuh di mata Razita?" Rasya menutup mulutnya sengaja. "Ups, maksutnya pelaku tabrak lari."
"Lo!" Ghazi spontan berdiri dari kursinya. Sebelum lepas kendali Ghazi meraup wajahnya dan beristigfar dalam hati. "Lo tahu kan kalau gue gak akan melakukan perbuatan sekeji itu! Justru gue curiga sama lo, siapa orang yang berusaha lo tutupi sampai bilang ke Razita kalau gue satu-satunya orang yang beli gelang itu!"
Rasya menaikkan sebelah alisnya. "Yakin lo mau tahu siapa orangnya?" tantangnya dengan kepercayaan diri di atas rata-rata.
Lagi-lagi sebuah fakta membuat Ghazi terkejut. Kalau Rasya sudah tahu pelakunya sejak awal kenapa ia harus memperumit keadaan dengan berbohong pada Razita!
"Gue tanya untuk yang terakhir kalinya, siapa orangnya, Sya?!" Ghazi tidak main-main dengan ucapannya kali ini. jika Rasya tidak kunjung bicara maka dengan sangat terpaksa Ghazi harus melakukan cara yang sedikit kasar.
Bukan Rasya namanya kalau takut dengan gertakan semacam itu. Namun, sudah cukup baginya untuk bermain-main. Sudah terlalu banyak kode yang ia berikan. Sayangnya tidak satupun sasarannya menyadari hal tersebut. ini saat yang tepat baginya untuk mengungkapkan kebenaran yang sudah ia ketahui. "Gue pikir lo sepintar itu Gas, ternyata nothing. Gue akui kalau kelakuan gue lebih cengengesan daripada lo, gue juga suka bercanda tapi untuk masalah serius gue gak pernah bercanda, Gas."
Pandangan Ghazi yang semula berkobar perlahan melunak. Ia melihat kesungguhan itu di bola mata Rasya. Seiring dengan jantungnya yang mendadak berdegup makin kencang.
Rasya menatap tepat ke manik mata Ghazi. Menegaskan jika sekarang ia bersungguh-sungguh atas ucapannya. "Gue gak pernah boong Gas soal lo satu-satunya orang yang pernah pesen gelang itu di sini."
Terjadi keheningan seketika. Ghazi langsung membela diri. "Tapi gue gak pernah nabrak siapapun apalagi orang tuanya Razita yang wajahnya aja gue gak tahu! Gimana bisa gelang itu ada di tangan Razita sebagai barang bukti di saat gue cuma pesen gelang itu untuk gue dan-" ucapannya yang semula menggebu-gebu langsung terhenti seketika.
Ghazi yang menyadari sesuatu langsung menatap Rasya dengan tatapan kosong sekaligus bertanya. Kemudian anggukan pelan yang diberikan Rasya berhasil meruntuhkan dunianya seketika. Kenapa hal ini tidak pernah terpikirkan olehnya sejak awal?
Ghazi baru sadar kalau ia hanya memesan gelang itu dengan jumlah dua buah. Dan Rasya, harusnya ia tidak tahu sebanyak itu, tenang tabrak lari apalagi. Razita bukan tipe orang yang akan menceritakan masalahnya kepada semua orang, terlebih orang asing. jika Rasya bisa tahu sebanyak ini tentunya itu hanya berasal dari satu orang saja.
Seseorang yang dekat dengan dia, Rasya, maupun Razita. Seseorang yang sama yang Ghazi berikan gelang itu sekitar enam bulan yang lalu.
Walaupun sulit untuk dipercayai oleh akal pikiran, mau tidak mau Ghazi harus percaya. Ternyata selama ini Rasya tidak pernah membohongi siapapun.
"Jadi siapa yang mau lo lindungi, Ghazi Al-Multazam?"
☆☆☆
Dari penulis
Jadi buat kalian yang sempet kesel sama tokoh Rasya dia sebenernya baik kok, Ghazi aja yang gak peka sama kodenya jadi jangan benci Rasya lagi😢
Dan selamat buat yang udah nebak dengan benar kalau bukan Ghazi pelakunya
Jangan lupa tinggalkan jejak ya
Jazakumullah khair:)
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Di atas Cinta [COMPLETED]
Ficção Geral#1 Ghazi 31/03/2021 #1 Razita 31/03/2021 #2 Editor 31/03/2021 #3 Fiksiislami 31/03/2021 "Apa gunanya wajah tampan kalau dia tidak bisa menaati perintah agamanya?" Razita Nirmala. "Keyakinan gue ya cukup gue sama Allah yang tahu, sisanya terserah or...