"Kita tidak pernah tahu kapan tiba waktunya kita meninggalkan dunia ini, selagi sempat teruslah menebar manfaat agar hidup kita tidak sia-sia karena sebaik-baik manusia adalah dia yang paling bermanfaat untuk sesamanya."
☆☆☆
"Razita, kok nglamun terus dari tadi?" ucap Lita yang baru saja dari kantin bersama Mesya.
Mereka cukup khawatir dengan sikap Razita yang tiba-tiba menjadi sangat pendiam dan sedikit murung sejak tadi pagi. Razita bahkan menolak saat ia mengajaknya ke kantin.
"Aku beliin ini, dimakan dulu!" mesya menyodorkan nasi kotak. "Mikir juga butuh tenaga, Zit!"
"Kalian baik banget sih!" mood Razita rasanya sedikit naik kala melihat mereka sangat peduli padanya.
"Makan bareng, yuk!" Razita akhirnya membuka nasi kotak miliknya. Begitu juga dengan Mesya dan Lita. Benar kata Mesya, untuk bisa berpikir jernih ia butuh tenaga.
Lita dan Mesya saling melempar senyum kala melihat Razita masih bisa makan dengan lahap. "Ada masalah apa, Zit? Kamu nggak mau cerita ke kita?" tawar Lita.
Kunyahan Razita menjadi lambat seiring sendok yang ia lepaskan dari tangan. Razita sempat meneguk sedikit air sebelum memandang kedua sahabatnya dengan tatapan sendu. "Menurut kalian kalau seseorang udah melakukan kejahatan besar dia bisa bersikap seolah gak terjadi apa-apa gak? Hidup dengan damai gitu."
Lita menggeleng cepat. "Gak mungkin lah! Pasti ada yang berubah dari sikapnya."
"Bisa jadi dia kelihatan baik-baik aja di luar, padahal ya sebenernya enggak," komentar Mesya.
Memang tidak mudah menilai sesuatu dari mata, karena terkadang mata kita pun bisa berbohong pada diri kita sendiri. "Tapi kalau dia baik sama kita?" tanya Razita.
"Maksud kamu orang itu habis buat salah ke kamu tapi dia tetep baik?" Mesya berusaha memperjelas. Melihat Razita mengangguk ia melanjutkan, "Ya, bisa jadi itu sebagai bentuk permintaan maaf dia."
"Kamu lagi berantem sama orang, Zit?" Tanya Lita dengan polosnya.
"Enggak kok." Aku cuma bingung sama perasaanku sendiri, lanjutnya dalam hati.
Fakta yang ia ketahui dari Rasya kemarin cukup menampar hatinya. Razita belum siap bertanya pada Ghazi perihal gelang itu karena ia juga belum siap mendengar jawabannya. Maka dari itu, Razita mulai menghubung-hubungkan kemungkinan yang ia buat sendiri.
Razita jadi curiga, apakah selama ini Ghazi berbuat baik padanya karena pria itu tahu ia adalah anak dari orang yang Ghazi tabrak? Tapi sebagian besar hati Razita masih tidak yakin jika Ghazi bisa melakukan perbuatan sekeji itu.
"Oh ya, tadi gue nggak sengaja denger pembicaraan Kak Daniel sama Kak Yudha di kantin," bisik Lita pelan sambil sesekali melirik ke pintu barangkali orang yang ia sebutkan tiba-tiba muncul.
Razita mengibaskan tangannya. "Hus, nggak baik hibahin temen sendiri, Lita!"
Lita langsung menggeleng. "Bentar bukan gitu! Gue gak denger lengkap mereka bilang apa. Gue cuma denger kalau Kak Ghazi katanya habis berantem sama gak tahu siapa kemarin."
"Itu mah sama aja lo gibah, Lita!" seru Mesya mendukung Razita. "Eh tapi siapa yang berantem? Kak Ghazi? Tumben?"
Razita sudah hendak membuka mulut tetapi Lita lebih dulu berkata, "Dan parahnya gue denger mereka bawa-bawa nama Razita tahu!" ujarnya sedikit ngegas.
"Beneran lo!?" Mesya seolah meragukan. Lita memutar bola matanya malas.
"Kok aku?" Razita tidak merasa terlibat sesuatu dengan ketiganya sejak kemarin. Hanya pembicaraan biasa tentang pekerjaan tidak lebih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Di atas Cinta [COMPLETED]
Ficção Geral#1 Ghazi 31/03/2021 #1 Razita 31/03/2021 #2 Editor 31/03/2021 #3 Fiksiislami 31/03/2021 "Apa gunanya wajah tampan kalau dia tidak bisa menaati perintah agamanya?" Razita Nirmala. "Keyakinan gue ya cukup gue sama Allah yang tahu, sisanya terserah or...