"Dunia ini ibarat bayangan. Kalau kamu berusaha menangkapnya, ia akan lari. Tapi kalau kami membelakanginya, ia tak punya pilihan selain mengikutimu." Ibnu Qayyim Al Jauziyyah
☆☆☆
Razita sengaja membasuh wajahnya dengan air berulang kali untuk meredam amarahnya. Lantas, menghadap ke arah cermin besar di depannya sambil menolehkan wajah ke kanan dan ke kiri sambil mengingat insiden di ruang interview beberapa menit yang lalu.
"Apa saya akan diterima kalau saya melepas jilbab saya?"
Ketiga wanita itu tampak terkejut bukan main mendengar pertanyaan yang keluar dari bibir Razita. Mereka sempat saling melempar pandang seolah merencanakan sesuatu yang sama sekali tidak Razita ketahui.
Salah seorang dari mereka akhirnya berdiri dan menghampiri Razita. "Baguslah kalau kamu membuat keputusan itu. Sebenarnya kalau dipikir-pikir kamu cantik juga. Menarik. Saya yakin kamu pasti cocok dengan redaksi kami." Wanita itu bahkan menghamburkan pelukan tiba-tiba ke arah Razita.
"Teman saya dulu juga seperti kamu. Awalnya dia kelihatan menyesal lepas jilbab tapi sekarang dia udah bisa beli mobil sendiri," sahut wanita di seberang sana.
"Silahkan datang kesini lagi besok pagi untuk tes final pukul 10.00!" Ketiga wanita itu membereskan berkas-berkasnya dan bersiap untuk keluar dari ruangan. Tepat sebelum mereka membuka pintu, Razita merentangkan sebelah tangannya.
"Terima kasih sebelumnya karena telah meloloskan saya," ucapnya diakhiri senyuman samar. "Tapi maaf--" Razita menarik napas panjang lalu mengeluarkannya dalam sekali embusan.
"Saya tidak berniat melanjutkan ke sesi berikutnya."
Senyum ketiga wanita itu perlahan pudar berganti dengan wajah yang mengeras menanti ucapan Razita selanjutnya.
"Sampai kapanpun saya tidak akan menukar hijab saya demi nyawa sekalipun, apalagi uang." Razita membungkukkan badanya sebelum mundur teratur. Kalimat terkhir yang dia ucapkan sebelum menutup seolah menampar rasa percaya diri ketiganya.
"Terima kasih sekali lagi karena secara tidak langsung kalian sudah memuji saya cantik bahkan saat jilbab masih menempel di kepala saya."
☆☆☆
Setelah merasa kepalanya sudah cukup dingin, Razita keluar dari kamar mandi dan hendak mencari angkot lagi untuk membawanya pulang ke kost-kostan yang sudah ia pesan jauh-jauh hari sebelumnya. Rasanya Razita tidak sabar sampai di sana untuk merebahkan diri atau setidaknya mengabaikan koper besar yang tengah diseretnya barang sejenak.
Pantas saja orang-orang di kantor redaksi tadi melihatnya dengan tatapan aneh! Apakah penampilannya terlalu mengenaskan?
Belum lagi perutnya yang mendadak berbunyi meronta minta diisi. Padahal Razita tidak sedang ingin makan. Alhasil, ia pun mampir ke starbuck untuk membeli kopi.
Jujur ini pertama kalinya Razita masuk ke kedai kopi ternama ini. Kalau bukan karena tempat ini berada paling dekat dengan kantor redaksi mungkin Razita lebih suka menikmati makanan kaki lima yang jauh lebih mengenyangkan. Tapi apa boleh buat, kakinya terlalu berat untuk diajak pergi ke tempat yang lebih jauh.
"Pesan Caramel Macchiato satu ya!"
Sembari menunggu pesanannya tiba, Razita sengaja memilih kursi di sebelah jendela supaya ia melihat ke luar. Hari pertama di kota orang nyatanya tidak semudah yang ia bayangkan. Butuh banyak adaptasi dengan lingkungan apalagi orang-orangnya. Setelah penolakan yang ia alami beberapa menit lalu, artinya Razita harus segera mencari pekerjaan baru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Di atas Cinta [COMPLETED]
General Fiction#1 Ghazi 31/03/2021 #1 Razita 31/03/2021 #2 Editor 31/03/2021 #3 Fiksiislami 31/03/2021 "Apa gunanya wajah tampan kalau dia tidak bisa menaati perintah agamanya?" Razita Nirmala. "Keyakinan gue ya cukup gue sama Allah yang tahu, sisanya terserah or...