"Jika kejujuran membawa ketentraman abadi kenapa harus berbohong demi ketenangan yang fana?"
☆☆☆
Setelah memikirkan ulang segalanya dengan kepala yang jernih dan shalat istikharah, Razita akhirnya mengambil keputusan untuk menutup kasus tabrak lari itu. Razita meminta kepada polisi agar Ines dibebaskan.
Memaafkan dan mengikhlaskan memang tidak mudah tapi Razita percaya Allah menghandirkan ujian itu sebagai bentuk cinta.
Razita tidak ingin lagi menyimpan dendam kepada siapapun. Razita hanya ingin memulai kehidupannya yang baru. Dan Surabaya adalah tempat yang tepat untuknya kembali. Tanah kelahirannya.
"Hati-hati ya, Zit di jalan!" Ujar Sekar saat memeluk Razita yang resignnya baru saja disetujui oleh Pak Andra.
Tidak hanya sekarang, empat orang lain juga ikut mengantarkan Razita ke stasiun. Razita sengaja tidak ingin naik pesawat karena ia ingin mengenang semuanya di kereta. Layaknya bagaimana pertama kali ia datang ke kota ini.
Bukan hal mudah bagi Razita meninggalkan Bandung terutama Heaven Publisher yang sudah enam bulan bersamanya. Ada berbagai suka duka yang Razita lewati di tempat ini. Sungguh, semua itu membuat Razita nyaman tetapi ia tidak bisa berada di sini selamanya. Sebab semua sudah tak sama lagi seperti dulu. Keindahan itu telah berubah menjadi luka.
"Lo harus ngabarin kita kalau udah sampai di sana!" Peringat Mesya.
"Iya, Zita nggak boleh lupain kita pokoknya! Harus sering-sering kasih kabar!" Imbuh Lita. Mereka bertiga berpelukan erat untuk terakhir kalinya.
"Aku nggak akan pernah lupain kalian semua. Makasih udah jadi temen baik aku selama di sini. Aku pasti rindu kalian nanti!" Mata Razita mulai berkaca-kaca. Perihal kepergian memang tidak pernah mudah. Apalagi saat harus mengucapkan kata-kata perpisahan.
Giliran Razita berpamitan pada Yudha dan Daniel. Mereka berdua sudah Razita anggap sebagai kakak di sini. Enam bulan bersama mereka adalah momen yang sangat berharga bagi Razita. Walau tak jarang mereka beradu mulut saat menyelesaikan pekerjaan mereka adalah teman yang sangat baik dan menghibur. Razita tidak tahu apakah setelah ini ia bisa mendapatkan teman seperti mereka lagi.
"Kak, aku balik ya!" Razita memaksakan senyum. "Maaf kalau selama ini sering ngrepotin kalian. Tapi Zita jadi banyak belajar dari kalian. Ke depannya kalian jangan sering bertengkar kalau nggak ada Zita! Janji!"
Yudha dan Daniel mengacungkan jari kelingkingnya bersamaan. Walaupun Daniel tidak begitu banyak bicara ia sudah menganggap semua teman yang satu ruangan dengannya adalah keluarga, termasuk Razita. Yudha tidak perlu diragukan lagi, matanya bahkan berkaca-kaca sekarang.
"Kapan-kapan lo harus balik ke sini lagi!" Ujar Yudha memerintah.
Razita menundukkan wajahnya sejenak. Tidak, ia tidak bisa berjanji. Bandung menyimpan banyak memori yang indah sekaligus menyakitkan. Mungkin nanti kalau Razita sudah bisa berdamai ia akan kembali lagi kesini. Tetapi tidak untuk jangka waktu dekat.
"InsyaAllah, semoga Allah mempertemukan kita lagi!" Ucap Razita sungguh-sungguh.
"Zit," panggil Yudha pelan. Sebenarnya ia ragu untuk mengatakan ini tetapi bagaimanapun juga Ghazi tetaplah sahabatnya.
"Lo nggak mau ketemu Ghazi untuk terakhir kalinya?"
Sontak Yudha mendapat injakan kaki dari Sekar dan pelototan tajam dari Mesya dan Lita. Mereka seolah menegaskan bahwa kalimatnya sangat salah.
Menunggu? Razita tidak tahu lagi apa arti kata itu. Apa yang dia tunggu dari Ghazi? Sejak dari kantor polisi hingga detik ini keduanya tidak pernah lagi bertegur sapa.
Razita sebenarnya ingin meminta maaf karena sudah menuduh Ghazi tetapi mengetahui fakta kalau Ghazi berusaha mengirim Ines keluar kota untuk melindunginya membuatnya wurung. Mungkin ada baiknya mereka memaafkan diri sendiri masing-masing.
"Maaf, Kak!" tolak Razita halus.
"Nggak papa kok, Zit. Gue cuma tanya, maaf kalau lo tersinggung." Yudha jadi tak enak hati. Dia melirik Daniel dan sahabatnya itu mengangguk. Sebelum ini mereka sudah sepakat untuk memberitahu Ghazi diam-diam. Pertanyaan tadi sebenarnya hanya alibi Yudha untuk mengulur waktu. Kenapa Ghazi tak kunjung datang?
Suara sirine yang menandakan kereta sudah tiba membuat Yudha cemas dan mengendarkan pandangan ke berbagai sudut stasiun. Ia tidak punya alasan lagi untuk menunda kepergian Razita. Perempuan itu bahkan sudah bersiap menyeret kopernya.
Sebelum benar-benar pergi Razita menoleh sekali lagi. "Aku pergi ya, Assalamualaikum!" ujarnya sembari melambaikan tangan sebagai wujud salam perpisahan.
"Walaaikusalam. Hati-hati!" jawab yang lainnya.
Sampai di dalam kereta, Razita kebetulan mendapat kursi di samping jendela. Tempat favoritnya agar bisa menikmati pemandangan saat perjalanan. Sedari tadi matanya terus menatap ke arah pintu masuk. Tidak bisa ia pungkiri kalau hatinya mengharapkan seseorang muncul dari sana. Tapi sepertinya hal itu tidak akan terjadi.
Lima menit kemudian pintu kereta sudah tertutup. Razita menghela napas panjang. Dia benar-benar tidak datang.
"Subhaanalladzii sakkhara lanaa hadza wama kunna lahu muqriniin wa-inna ilaa rabbina lamunqalibuun." Tepat ketika Razita membaca doa tersebut kepalanya menoleh ke arah jendela dan menemukan pria itu berdiri di sana.
Razita tertegun. Dia datang?
Suara sirine berbunyi menandakan kereta akan segera melaju. Saat itulah mata mereka bertatapan untuk terakhir kalinya. Kereta mulai melaju pelan dan Ghazi berlari untuk mengejar. Sayangnya, dia tidak bisa. Dia terlambat.
"Fi hifzillah, Ta!"
Andai Ghazi bisa mengatakan itu langsung pada Razita. Andai ia bisa bangun sedikit lebih pagi dan bisa mengucapkan maaf dan terima kasih secara langsung pasti ia tidak akan semenyesal ini.
Kini, Ghazi hanya berharap semoga suatu saat Allah kembali mempertemukan mereka. Jika tidak, semoga Allah hadirkan obat atas rindu yang ia rasakan.
Sebab cinta bukan berarti kita selalu berada di sisi orang yang kita cintai. Tapi cinta itu adalah tatkala kita berada dalam hati orang yang kita cintai.
☆☆☆
Dari penulis
Yah, akhirnya Razita balik ke Surabaya.
Tapi tenang ceritanya belum selesai kok. Masih panjang sekali.
Tim happy ending atau sad ending?
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Di atas Cinta [COMPLETED]
Fiksi Umum#1 Ghazi 31/03/2021 #1 Razita 31/03/2021 #2 Editor 31/03/2021 #3 Fiksiislami 31/03/2021 "Apa gunanya wajah tampan kalau dia tidak bisa menaati perintah agamanya?" Razita Nirmala. "Keyakinan gue ya cukup gue sama Allah yang tahu, sisanya terserah or...