Assalamualaikum, happy reading
-----
"Zaman sekarang, kebenaran terlihat seperti kebohongan. Dan kebohongan terlihat seperti kebenaran."
☆☆☆
Di luar dugaan Razita ternyata Ghazi benar-benar menepati janjinya. Pria itu meminta Ines untuk menemani Razita ke toko gelang langganannya dan kebetulan Ines juga tidak keberatan. Ines malah terlihat senang mengobrol bersama Razita.
"Maaf ya Mbak jadi ngrepotin," ujar Razita sembari melepas seatbelt kemudian merapikan jilbabnya sebentar sebelum turun dari mobil.
"Malahan aku seneng ada yang ngajakin keluar pas weekend," Ines sedikit membungkuk dan berbalik untuk mengambil tasnya di kursi belakang, "Nanti sekalian mampir cari makan siang ya!"
Lonceng yang berbunyi saat pintu dibuka membuat Razita terkagum. Toko ini tidak terlalu besar mungkin hanya berukuran 4x4 meter saja tapi justru nuansa klasik yang dibangun lebih terasa melekat. Gelang-gelang yang dijual disini ternyata cukup beragam baik dari segi warna maupun model.
Ines bilang kalau toko ini sangat terkenal di Bandung. Mengetahui fakta itu sedikit banyak membuat Razita senang. bisa jadi pelaku yang selama ini dia cari juga memesan gelang di sini, mengingat dia masih orang Bandung.
"Udah lama banget sih aku sama Ghazi gak pernah kesini," celetuk Ines saat mereka menyusuri gelang-gelang yang tersusun rapi di sepanjang rak yang menempel di tembok.
"Emang biasanya siapa yang milih gelang? Mbak sendiri atau Kak Ghazi?" tanya Razita.
Ines malah tertawa mendengar cara bicara Razita. "Kamu ternyata lucu ya. Manggil aku Mbak giliran Ghazi dipanggil Kak. Kenapa beda?"
Razita menyengir, "Kalau di Surabaya kebiasaan manggil yang lebih tua Mbak Mas jadi masih kebawa. Cuma gak enak aja kalau manggil Kak Ghazi Mas. Anehh aja."
"Oh gitu." Ines lantas teringat pertanyaan Razita. "Biasanya aku sih yang milih. Soalnya yang suka gelang aku, Ghazi palingan ngikut aja terserah! Malahan dia dulu sempet gamau pakek katanya kaya perempuan tapi aku yang maksa. Lucu aja gitu couplean."
Razita sempat mengerjap beberapa kali. Awalnya ia sempat mengira kalau Ghazi memakai gelang atas keinginannya sendiri, bukan orang lain. Tapi bukankah Ghazi bisa menolaknya kalau dia tidak suka? Ah, sudahlah. Lagipula ini bukan urusan Razita.
Ines kemudian mengantar Razita pada penjaga toko ini. "Hai, Sya!" sapanya.
"Lama banget Nes gak kesini? Ghazi kemana?" balas penjaga toko yang sepertinya masih seumuran dengan Ines. Atau mungkin mereka berteman karena cara bicara keduanya terdengar sangat akrab.
"Harus ya gue kemana-mana sama Ghazi?" Sahut Ines sambil memutar bola mata. "Kenalin dong temen baru gue!" Ines beralih memandang Razita. "Dia temen aku namanya Rasya, dia yang punya toko ini loh!"
Razita langsung menangkupkan kedua tangannya di depan dada guna menghindari agar kejadian yang pernah terjadi antara dirinya dan Ghazi tidak terulang lagi. "Razita, Kak."
"Gue Rasya, temennya Ines." Pemuda itu balas tersenyum. "Oh ya ada perlu apa? Mau pesen gelang lagi, Nes?"
"Iya nih tapi bukan gue yang pesen. Razita yang mau."
Pria bernama Rasya itu sempat memandang Razita lebih lama. Mungkin dia heran menilai dari cara berpakaian Razita yang begitu sopan kenapa ia mau membeli gelang mainan seperti ini? Sampai Ines berdehem ia kemudian sadar dan kembali memasang ekspresi normal. Ia lantas menyodorkan katalog ke arah Razita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Di atas Cinta [COMPLETED]
Fiction générale#1 Ghazi 31/03/2021 #1 Razita 31/03/2021 #2 Editor 31/03/2021 #3 Fiksiislami 31/03/2021 "Apa gunanya wajah tampan kalau dia tidak bisa menaati perintah agamanya?" Razita Nirmala. "Keyakinan gue ya cukup gue sama Allah yang tahu, sisanya terserah or...