[27] Berlapang Dada

3.4K 475 60
                                    

"Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri, karena hasil akhir dari semua urusan di dunia ini sudah ditetapkan oleh Allah. Jika sesuatu ditakdirkan untuk menjauh darimu, maka ia tak akan pernah mendatangimu. Namun jika ia ditakdirkan bersamamu, maka kau tak akan bisa lari darinya."  (Umar bin Khattab)

☆☆☆

"Razita marah sama gue," ujar Ghazi pertama kali waktu melakukan voice call dengan Daniel dan Yudha.

"Sumpah lo gak bohong?" Yudha tidak percaya mendengarnya.

"Gue juga berharap ini semua cuma mimpi," sahut Ghazi pasrah sembari menatap langit malam di depannya.

Gedung di Surabaya tidak setinggi di Jakarta dan Ghazi menyukainya karena ia masih bisa melihat beberapa pepohonan dari balkonnya sekarang. Ghazi pun berandai-andai, adakah dari satu atap yang ia lihat adalah rumah Razita? Kalau saya ia bisa berkunjung ke sana pastilah menyenangkan.

"Gara-gara omongan tadi siang?" Tebak Daniel yang dijawab Ghazi oleh gumaman.

"Terus sekarang lo mau gimana?"

Ghazi diam. Ia sendiri bingung harus bagaimana lagi. Semua cara sudah ia lakukan. Ia sudah berikhtiar dan berdoa, selanjutnya biarlah Allah yang menentukan.

"Dua hari lagi gue balik," ujarnya pelan.

"Yah, kok balik? Lo udah jauh-jauh kesana buat dapet maaf dari Razita loh Gaz, masak mau balik tanpa hasil?" Yudha bukan ingin memojokkan Ghazi. Ia hanya ingin sahabatnya itu bertahan lebih lama lagi.

"Gue udah usaha bikin Razita percaya Yud, tapi makin kesini dia malah makin marah sama gue. Kalau dengan kepergian gue bisa bikin dia bahagia gue bakal lakuin itu."

Terjadi keheningan cukup lama. "Allah nggak tidur, Gaz. Dia pasti gak akan biarin usaha lo sia-sia." Ujar Daniel membuat Ghazi sedikit tenang.

"Gue percaya Allah itu adil. Kalaupun Dia merencanakan gue gak sama Razita gue ikhlas. Bisa jadi ini jadi penebusan dosa gue ke orang tuanya."

"Lo yang sabar ya, Gaz. Kita tahu lo udah usaha yang terbaik." Yudha mencoba untuk mencari topik lain. "Lo nggak mau traveling kemana gitu mumpung di sana kan?"

Ghazi menggeleng. "Gak napsu, Yud."

"Lo jangan terpaku sama satu orang Gaz, jodoh nggak ada yang tahu."

Daniel benar. Ghazi pun mengerti akan hal itu. Dulu, ia pernah begitu menginginkan Ines untuk bersamanya sampai akhir hayat.

Namun, setelah ia bertemu dengan Razita, Ghazi seolah menemukan harapan baru. Tidak hanya bersama sampai akhir hayat tapi juga sampai ke surga. Salahkan bila ia mengingikan hal demikian?

Tidak, keinginannya tidak salah. Yang salah adalah cara dia menempatkan keinginan tersebut. Harusnya Ghazi tidak berharap pada Razita. Bagaimanapun perempuan itu hanyalah manusia biasa. Allah-lah pemilik segalanya.

Jika sejak awal Ghazi manaruh harapan itu pasa Sang Maha membolak-balikkan hati, maka ia tidak perlu berkawan dengan rasa kecewa sekarang. Harusnya ia tidak berharap pada Razita untuk memaafkannya tapi berharap pada Allah agar membuka hati Razita agar bisa memaafkannya.

Di balik semua kekecewaan yang ia peroleh saat ini, Ghazi sadar bahwa sebaik-baik tempat bersandar hanyalah kepada-Nya. Cukup sudah, setelah ini ia tidak akan berharap apa-apa lagi. Cukup ia percaya bahwa Allah adalah sebaik-baik pembuat rencana.

☆☆☆

Razita sengaja menolak ajakan Zahra untuk makan di kantin. Bukan karena ramai, hanya saja ia tidak mau bertemu dengan Ghazi. Entah mengapa feeling-nya berkata lelaki itu sedang ada di sana.

Cahaya Di atas Cinta [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang