"Lisanku mungkin tak pernah mengatakan cinta padamu, tapi ketahuilah namamu melambung tinggi dalam langit doaku."
☆☆☆
Sepulang dari kantor biasanya Razita akan langsung pulang ke kostan, tidak mampir keman-mana. Namun, hari ini harus pergi ke salah satu cafe untuk bertemu dengan Rasya. Pria itu mengatakan kalau ia ingin menunjukkan sesuatu padanya. Semampainya Razita di sana, Rasya sudah lebih dulu datang.
"Assalamualaikum. Udah dari tadi ya Kak?" Razita segera menarik kursi di depan Rasya.
Pria itu menggeleng. "Gak masalah gue emang suka ngopi disini." Tidak ingin terlalu lama berbasi-basi Rasya segera memperjelas maksud kedatangannya kemari. "Awalnya gue pikir bakal ngirim datanya lewat WA aja tapi gue rasa lebih baik lo tahu secara langsung."
Ketika tangan Rasya mulai menggulir buku berukuran sedang, raut wajah Razita makin terlihat cemas. Ia bahkan meremas jarinya sendiri di atas pangkuannya. Semoga saja hasilnya tidak mengecewakan.
"Lo kenal Ines dari Ghazi ya?" tampaknya Rasya sengaja mengulur waktu.
"Iya. Kakak kenal Kak Ghazi juga?" tanya Razita balik.
"Cuma sebatas tahu nggak akrab juga." Rasya kembali menegakkan pungunggnya saat sudah menemukan halaman yang ia cari. "Sebelumnya gue cuma mau negesin kalau data gue ini akurat. Ada tanggal, tanda tangan, sekaligus foto orangnya juga untuk pesanan khusus."
Rasya membalik buku tersebut menghadap ke arah Razita. Alangkah terkejutnya Razita saat mengetahui orang yang ada di foto tersebut adalah orang dia kenal. Razita juga tahu tulisan tangan dan tanda tangannya sangat mirip. Ia sempat menoleh ke arah Rasya meminta penjelasan. "Ini beneran?"
Setelah mengetukkan jarinya kemeja beberapa kali Rasya kembali menyandarkan punggungnya di kursi. "Gue udah ingat sejak lo ngasih gelang itu di toko tapi gue mau mastiin sekali lagi kalau memang waktu itu yang pesen gelang dari batu putih yang gue impor di Kalimantan cuma Ghazi." Rasya menghela napas panjang.
"Gue inget banget karena waktu itu belum banyak orang yang tertarik dengan karya gue, toko gue belum seterkenal sekarang dan Ghazi jadi satu-satunya orang yang pertama kali berani bayar gue mahal hanya untuk sebuah gelang."
Razita tiba-tiba merasa pasokan udara di sekitarnya kian menipis. Seharian ini ia sudah mencoba menghindari Ghazi demi tidak berprasangka buruk. Tapi kalau sudah ada bukti yang terpampang nyata di depannya Razita bisa apa? Benarkah Ghazi adalah pemilik gelang putih yang sesungguhnya?
"Di Bandung ada berapa toko yang nerima pesanan gelang kaya gini Kak?" razita masih tidak ingin mempercayai apa yang ia lihat. Tidak secepat ini.
Rasya mengingat-ingat sebentar. "Setahu gue ada tiga yang paling terkenal, toko gue salah satunya." Lalu, Rasya memasang wajah penasaran. "Kenapa nggak lo coba tanya langsung ke Ghazinya? Barangkali gelang itu emang punya dia."
Tidak. Lebih baik Razita tidak mendengar apapun daripada...
"Tapi kalau itu emang punya Ghazi kok bisa ada di lo? maaf kalau gue lancang tapi—" Rasya bingung memilih kata yang sesuai, "nggak mungkin darah sebanyak itu cuma karena jatuh dari sepeda, apalagi di tangan lo juga gak ada bekas luka!"
Razita langsung menyembunyikan tangannya ke bawah. Tidak ia sangka kalau Rasya akan seteliti itu dan mengingat perkataannya kemarin. "Em itu- gelang—"
Sebelum Razita selesai bicara, Rasya lebih dulu menyela, "nggak usah diceritain kalau emang itu privasi! Lagipula gue juga gak suka ikut campur urusan orang lain."
Sekuat apapun Razita memasang wajah baik-baik saja tetap saja susah. Konsentrasinya sedang terpecah dan ia berulang kali gagal menjawab pertanyaan kecil yang diajukan Rasya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Di atas Cinta [COMPLETED]
Fiksi Umum#1 Ghazi 31/03/2021 #1 Razita 31/03/2021 #2 Editor 31/03/2021 #3 Fiksiislami 31/03/2021 "Apa gunanya wajah tampan kalau dia tidak bisa menaati perintah agamanya?" Razita Nirmala. "Keyakinan gue ya cukup gue sama Allah yang tahu, sisanya terserah or...