"Menyia-nyiakan waktu lebih berbahaya dari kematian, karena menyia-nyiakan waktu akan memutuskanmu dari Allah dan negeri akhirat, sedangkan kematian hanya memutuskan dirimu dari dunia dan penduduknya". (Ibnu Qayyim)
☆☆☆
Adzan Ashar baru saja terdengar bersamaan dengan kedatangan rombongan keluarga Ghazi. Tidak, lebih tepatnya Mama Ghazi, Gayatri dan teman-temannya lengkap, Daniel, Yudha, Sekar bahkan Mesya dan Lita juga ternyata ikut kemari. Mereka semua langsung mengerubungi Razita dan memberondongnya.
"Gimana keadaan anak saya? Bukan dia kan yang meninggal?" Wajah Gayatri begitu pucat sementara Razita tidak tahu harus berkata apa. Sampai detik ini belum ada kejelasan pasti terkait status ataupun jenazah Ghazi. Alhasil dia hanya menggeleng.
Melihat kegugupan Razita, Mariani langsung menyela. "Kami cuma menemukan ini tadi. Belum ada keterangan pasti dari dokter." Dia menyerahkan gelang itu pada Gayatri.
"Itu kan gelangnya Ghazi?" Yudha yang tidak bisa mengontrol mulutnya langsung mendapat injakan kaki spontan dari Mesya dan lirikan tajam lainnya.
Gayatri kembali sesenggukan. "Ini gelang anak saya." Hampir saja tubuhnya limbung kalau Daniel tidak menahannya.
"Tante jangan mikir yang aneh-aneh! Gelang kayak gini ada banyak di pasaran. Bisa jadi itu punya orang lain." Sekar berusaha menenangkan dan meminta Gayatri untuk duduk di sebelah Razita.
Semua orang mencoba untuk tenang. Tapi tidak bisa dipungkiri kalau di situasi genting seperti ini, berprasangka baik kepada Allah adalah hal yang sangat sulit dilakukan. Rasanya masih belum lama mereka bisa bernapas, sebuah brankar melintas di depan mereka.
"Ada satu korban lagi ditemukan. Korban meninggal dengan kondisi wajah tidak bisa dikenali. Cepat periksa sidik jari korban! Dan jangan lupa lacak pemilik ponsel ini juga!" Ujar salah seorang dokter kepada susternya. Daniel yang menyadari sesuatu langsung menghentikan suster tersebut.
"Maaf, permisi apa handphone ini milik korban yang tadi?"
"Iya, ponsel ini ditemukan di tangan korban tadi."
"Boleh saya lihat sebentar?" Syukurlah suster tersebut mengizinkan. Selepas kepergiannya, semua orang langsung mengerumuni Daniel.
"Ini persis hpnya Kak Ghazi," celetuk Lita mewakili isi kepala mereka.
Dengan hati-hati Daniel menekan tombol power. Lantunan doa jelas tak henti terucap di hati masing-masing. Satu hal yang mereka harapkan. Semoga ponsel ini bukan milik seseorang yang mereka cari.
Namun, situasi mendadak hening ketika layar menyala terang dan sebuah wallpaper dengan foto yang begitu mereka kenal terpampang nyata di depan mereka. Bahkan Gayatri langsung pingsan di tempat.
"TANTEE!"
Yudha dan Daniel langsung membaringkan tubuhnya di kursi. Sekar dan budhe Mar menggosok tangan dan kakinya yang terasa mirip es batu. Sedangkan, Razita terpaku di tempatnya berdiri.
"Zita," Lita dan Mesya menghampiri Razita karena khawatir. "Zit, ngomong sesuatu!" Kata Mesya yang takut karena untuk pertama kalinya wajah Razita begitu datar. Mereka sudah lama sekali tidak bertemu. Bukan pertemuan seperti ini yang mereka harapkan.
"Kalian bawa Razita keluar dulu!" Saran Daniel pelan. Akan tetapi, setelah dorongan kedua sahabatnya Razita tetap bergeming di tempatnya.
"Kak Ghazi gak mungkin meninggal," ujarnya pertama kali.
"Gue juga gak percaya Ghazi meninggal tapi, lo jangan kayak gini, Zit!" Yudha menatap Razita prihatin. "Lo harus ikhlas apapun yang terjadi."
Razita membalas tatapan Yudha dengan nanar. "Kak Yudha, Kak Daniel, kalian sahabatnya Kak Ghazi kan? Kalian udah kayak keluarga kan? Kalian pasti bisa ngrasain kalau Kak Ghazi masih hidup? Iya kan?" Razita bahkan sampai mengguncang kedua bahu mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Di atas Cinta [COMPLETED]
Fiction générale#1 Ghazi 31/03/2021 #1 Razita 31/03/2021 #2 Editor 31/03/2021 #3 Fiksiislami 31/03/2021 "Apa gunanya wajah tampan kalau dia tidak bisa menaati perintah agamanya?" Razita Nirmala. "Keyakinan gue ya cukup gue sama Allah yang tahu, sisanya terserah or...