Bagian 1 : Definisi Cantik

5.3K 318 27
                                    

Orang bilang, Pelita itu cantik.

Banyak yang bilang, Pelita itu manis.

Sebagai subjek yang dimaksud, gadis dua puluh dua tahun itu sendiri tidak tahu definisi sesungguhnya dari kata cantik. Apakah harus berkulit putih, mata besar berbinar, hidung mancung, dan bibir merah? Jika memang seperti itu Pelita akan mengakui dirinya cantik.

Bukannya sok merendah karena merasa tidak cantik. Pelita juga tidak insecure dengan penampilannya. Ia hanya agak kritis untuk masalah ini. Realitanya, cantik itu relatif. Gadis berkulit gelap pun juga cantik. Baginya, setiap wanita adalah makhluk Tuhan yang paling cantik.

"Masalahnya, standar orang-orang di seluruh dunia itu ya begitu.." ucap Syabil menggantung. Bingung juga bagaimana menjawab pertanyaan sahabatnya yang satu ini.

"Semacam di brainwash sama orang-orang barat yang jelas berkulit putih dan hidung mancung." Malik menambahkan.

Pelita mengangguk kecil sambil menatap wajah Malik, "said someone who have white genes in his blood."

Syabil terkikik, setuju dengan ucapan Pelita. Well, memang Malik punya darah bule dari pihak ayahnya.

"Cuma seperempat doang." Dumal Malik. "Lo juga kan sama aja kayak gue." Tunjuknya pada Pelita.

Tidak salah sih... nenek Malik memang berasal dari Inggris, sementara kakek Pelita adalah orang Spanyol. Jadi, mereka sama-sama punya darah bule eropa. Walau begitu, wajah Malik yang paling kentara. Bisa langsung ditebak kalau salah satu orang tuanya keturunan barat.

"Di sini yang asli Indonesia cuma gue. Lo berdua udah gado-gado. Keturunan penjajah." Syabil dan mulutnya yang kadang tidak disaring. Tapi tenang, baik Pelita maupun Malik sudah kebal karena memang itu kenyataan.

Kembali ke topik tentang definisi cantik. Pelita duduk bersila di kursi panjang taman kampus sambil menatap dua sahabatnya yang duduk di seberang meja taman. "Menurut lo berdua. Gue cantik nggak sih?" gadis itu sampai mencondongkan wajahnya ke depan.

Syabil mengernyitkan kening lalu ikut mencondongkan wajahnya mendekat ke Pelita. "Mau jawaban jujur apa ada bumbu-bumbu manis-gurih?"

"Jujurlah." Pelita dan Syabil kini beradu pandang. Sementara itu, Malik hanya menggelengkan kepala. Heran dengan tingkah dua sahabatnya.

"Cantik." Bukan Syabil. Satu kata itu terucap dari mulut Malik. "Muka lo cantik. Cuma kelakuan lo ya agak-agak." Lanjutnya.

Pelita cemberut. Sekali saja, ia ingin mendengar pujian dari mulut sahabatnya itu. Selama bertahun-tahun saling kenal, tidak ada satupun dari mereka yang pernah memujinya dengan tulus.

"Setuju sama Malik." Syabil membenarkan posisi duduknya. Kembali tegak menghadap Pelita.

"Emang kalian berdua itu my true friends." Cemberut bukan berarti marah. Gadis itu malah senang, karena teman yang sebenarnya tidak akan benar-benar memuji dengan cara manis.

"Udah ah... bahas cantik-cantik gini nggak akan pernah ada habisnya. Gue mau pulang dulu. Ntar diomelin Bunda kalau pulang kesorean." Pemuda bertubuh tinggi dengan kulit kecoklatan nan eksotis bernama Syabil itu beranjak. "Pamit ya, guys. Assalamualaikum!"

"Waalaikumsalam." Pelita dan Malik menjawab salam dengan kompak.

Kini Pelita tinggal berdua dengan Malik yang fokus pada ponsel pintar keluaran terbaru miliknya. Kebiasaan memang. Addicted dengan sosmed.

"Nggak pulang lo?" Pertanyaan yang sebenarnya hanyalah satu cara agar perhatian Malik teralihkan dari ponsel.

"Pulang. Lo naik apa? Bawa si merah?" Berhasil. Pemuda berkulit putih dengan hidung mancung bagai perosotan itu menatap Pelita.

"Naik ojek. Tapi kalau lo mau nebengin ya ayo aja." Cengiran lebar menghiasi wajah jelita Pelita.

"Udah gue duga." Malik memasukkan ponsel ke dalam kantong jeans-nya. "Ayo."

Walau terdengar sedikit mendumal, tetap saja Pelita akan diperbolehkan menaiki mobil mewah milik pemuda itu. Lalu Malik dengan ikhlas mengambil jalan yang berlawanan arah dari rumahnya hanya untuk mengantarkan princess Pelita Malam Putri Hernandez.

.

.

.

"Menurut lo cantik itu gimana sih?" Lagi, Pelita membawa bahasan itu sampai di rumah.

Semua gara-gara artikel kecantikan yang ia baca. Isinya tentang kulit putih dan kawan-kawan. Standar kecantikan mainstream yang menjadi acuan hampir seluruh manusia di bumi.

"Lo insecure sama penampilan, Kak?" Bukan jawaban, malah pertanyaan lain yang di dapat gadis itu.

"Bukan gitu... gue cuma bingung aja tentang satu kata ini. Cantik." Jelas Pelita pada sang adik, Banyu.

Banyu menggaruk pelipisnya. Berpikir. "Relatif sih... tiap area itu punya standar masing-masing. Tapi acuan yang sampai sekarang selalu jadi kiblat sih, punya kulit putih mulus, hidung mancung, dan you know-lah."

"Kayak itu?" Pelita menunjuk seorang gadis yang baru keluar dari kamar.

"Ada apaan?" Tanya gadis yang lebih muda dari Pelita itu.

"Enggak ada." Ucap Pelita dan Banyu bersamaan. Kemudian membiarkan gadis yang merupakan adik mereka berlalu menuruni tangga menuju lantai dasar.

Pelita dan Banyu tertawa kecil. Well, adik mereka itu adalah salah satu yang terobsesi dengan standar kecantikan mainstream. Ingin punya kulit putih bersih.

"Kalau yang itu cuek. He loves himself." Lagi Pelita menunjuk satu pemuda yang keluar dari kamarnya.

"Ngapain pada lihat-lihat?" Ucapnya risih sambil memandang Pelita dan Banyu dengan tatapan penuh selidik.

"Suka-suka kita dong. Buruan turun, hari ini giliran lo sama Kejora yang bantu ibu masak di dapur." Dumal Pelita.

Ya, itu tadi adik bungsunya. Maklum, Pelita punya banyak adik. Empat orang lebih tepatnya. Hal yang menakjubkan dari keberadaan adik-adik ter-ter-ter-nya itu adalah mereka kembar.

Banyu lahir bersama Bara. Mereka kembar identik yang dua tahun lebih muda dari Pelita. Kemudian ada Kejora dan Bintang. Keduanya kembar tidak identik dan lain gender. Empat tahun lebih muda dari Pelita.

"Sebenarnya, definisi cantik sama ganteng itu ya sampai sekarang masih rancu sih kak... jadi nggak ada yang saklek gitu. Lebih ke preferensi masing-masing orang aja. Tapi menurut gue pribadi, cewek cantik atau cowok ganteng itu yang percaya diri dan nyaman sama penampilannya. Bukan yang ikut-ikut tren terus jaim." Lanjut Banyu.

"Iya sih..." Gadis itu mengangguk setuju. Ia selalu senang jika bicara dengan Banyu. Satu frekuensi. Selalu nyambung saat bicara hal-hal serius begini.

"Pelita! Banyu!" Panggilan ibu dari arah dapur membuat keduanya beranjak. Sudah masuk jam makan malam dan bapak akan segera pulang untuk makan malam bersama.

Kenalkan dua sahabat Pelita. Tebak yang mana Malik dan Syabil.

 Tebak yang mana Malik dan Syabil

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.

.

.

Hai-hai...

Kalau menurut kalian, cantik itu seperti apa sih?

Pelita (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang