Bagian 10: Girls Talk

1.2K 140 8
                                    

Punya waktu girls only itu adalah hal yang langka terjadi di dalam hidup Pelita. Sejak kecil ia dikelilingi lelaki. Bapak, si kembar Banyu-Bara, Bintang, eyang kung, akung, Malik, dan Syabil.

Sesekali ia menghabiskan waktu bersama ibu juga Kejora. Tapi Pelita butuh yang seumuran.

Maka dari itu, kedatangan Alin -sepupunya, bagaikan angin segar.

"Nginep ya..." minta Pelita.

"Siap." Ucap Alin sambil memberi hormat.

Pelita memang tidak punya teman dekat perempuan. Kebanyakan mereka tipe teman yang menusuk dari belakang. Kalau kata Malik sih iri dengan apa yang dipunya oleh dirinya. Jadi, begitu.

Satu-satunya yang bisa dipercaya hanyalah Alin.

Dua gadis itu sudah hampir seperti saudara kandung. Mungkin karena ibu Zi dan bunda Za adalah saudara kembar? Bisa jadi.

Layaknya gadis muda pada umumnya, setiap bertemu mereka selalu punya topik pembicraan seru. Keduanya akan bercerita kisah masing-masing.

"Gila nggak sih? Kirim-kiriman surat jaman sekarang? Bahkan aku nggak tau bentuk mukanya gimana. Pure teman pena. Cuma ya emang rasanya cocok aja sama dia. Kita hobi gambar-gambar gitu sama custom baju atau sepatu." Alin menceritakan kegiatan anehnya akhir-akhir ini. Berkirim surat dengan orang asing. Seperti menjalani persahabatan melalui tulisan. Jaman dulu disebutnya sahabat pena.

"Nggak ada niatan mau saling kirim foto gitu?" Tanya Pelita. Rasanya ikut penasaran dengan apa yang dilakukan sang sepupu.

"Maunya sih... tapi kalau sudah saling lihat foto, kan jadi nggak seru lagi." Jelas Alin.

Pelita memgangguk, "iya juga ya..."

"Kamu sendiri, masih sering hang out sama si duo kopi susu?"

Mendengar pertanyaan Alin membuat Pelita terkikik geli. Sebutan kopi susu sepertinya cocok juga untuk menunjuk Syabil juga Malik.

"Masih dong... kita kan bestfriend forever." Ucap Pelita dengan semangat.

"Hmmm..." tanggap Alin. "Nggak ada gitu kamu punya perasaan nyangkut ke salah satu dari mereka?"

"Gimana ya..." gadis itu terlihat bingung untuk menjawab. Baginya kehadiran Syabil dan Malik itu biasa saja. Mungkin karena saling mengenal sejak lama?

Dua gadis sepantar itu kini tidur terlentang di kasur. Sama-sama menatap langit-langit kamar yang dihiasi sticker glow in the dark berbentuk bintang dan bulan.

"Mereka itu sahabat gue." Sambung Pelita. "Gitulah yang sampai sekarang tertanam di otak."

Mendengar itu Alin terkekeh, "biasanya otak sama hati jalannya nggak sama loh.."

Pelita hanya bisa mengedikkan bahu. Satu hal yang pasti. Selama dibatasinya aktivitas keluar, ada sesuatu yang kosong.

Bisa jadi itu rindu.

"Tapi gue ngerasa sih... ada yang kosong gitu selama masa isolasi ini. Kangen?"

Alin menghela nafas, "kangennya sama yang mana?" Goda sepupu Pelita itu.

"Dua-duanya. Mereka kan sepaket. Sama gue juga harus sepaket." Cepat-cepat gadis itu berucap. Tidak boleh ada kecondongan antara satu dan lain. Itu yang otaknya perintahkan.

Alin hanya bisa terkekeh. Gadis bermata kecil itu lalu memeluk sepupunya dari samping. "Berarti emang kamu menganggap mereka teman. Sahabat."

"Ya memang gitu." Pelita memiringkan kepalanya dan menatap mata kecil nan tajam sepupunya.

"Tapi who knows dengan hati mereka." Tutup Alin. Gadis itu tersenyum singkat dan melepas pelukan pada Pelita. "Udah malem, tidur. Jangan sampai kesiangan oas subuh."

Pelita menatap punggung Alin yang kini tidur membelakanginya. Tiba-tiba satu kalimat dari sang sepupu terngiang.

Tapi who knows dengan hati mereka.

Tidak hanya Alin. Bahkan adiknya Banyu dan Bara pernah mengungkapkan hal serupa. Tentang bagaimana dua sahabat gadis itu memandangnya.

Seperti ada rasa cinta, kekaguman, juga memuja. Sorot jelas terpancar tidak hanya pada diri satu orang. Namun keduanya.

Ah... memikirkan itu tiba-tiba membuat kepala Pelita pening. Ia hanya mau hubungan persahabatannya berjalan seperti biasa.

No romance.

Itu lebih baik. Dengan hubungan yang dibatasi seperti itu, akan membuat mereka bisa bersahabat selamanya. Begitulah yang Pelita pikir. Tidak peduli pada perasaannya. Ia juga tidak tahu seperti apa perasaannya terhadap kedua pemuda tampan yang ia sebut sahabat.

.
.
.

Terkadang, supaya segalanya lancar sesuai rencana dibutuhkan satu pengorbanan. Dalam kasus Pelita mungkin harus mengorbankan perasaan. Rasa yang belum teridentifikasi olehnya.




Pelita (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang