Bagian 5: Mak Comblang

1.7K 199 1
                                    

Punya teman terlalu ganteng itu bukanlah suatu berkah. Begitu menurut Pelita. Wajah tampan menawan yang melekat pada diri Malik dan Syabil membuatnya kewalahan. Bagaimana tidak? Setiap gadis di kampus yang mengenalnya akan mendekat dengan maksud untuk mendekati Malik dan Syabil.

"Tipe cewek yang mereka suka gimana sih?" Tanya Velly -teman sekelas Pelita. Gadis yang selalu menggebu dan penasaran akut dengan sosok duo Syabil-Malik.

Pelita menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bingung juga harus menjawab apa. Selama ini, baik Syabil maupun Malik tidak pernah memberi informasi tentang tipe gadis mereka. Ia juga belum pernah mendapati keduanya berpacaran.

Apa jangan-jangan...

Pikiran aneh muncul di otak kacau gadis itu. Namun segera ia menggeleng dan menepis bayang-bayang aneh itu.

"Standar sih... yang penting baik." Jawab Pelita akhirnya. Mau apa lagi?

"Nggak spesifik nih... kan jadi susah..." rajuk Velly. Gadis itu memang berprilaku sok centil dengan gaya bicara sok imut. Kadang Pelita sampai dongkol.

"Lit! Lo kayaknya kenal sama si Syabil ya? Orangnya gimana? Ganteng tuh cowok. Tumben banget gue liat cowok ganteng yang kelihatan imut tapi manly gitu. Tipe gue banget!" Cerocos Diandra -temannya di himpunan suatu hari.

Setahu Pelita, Diandra ini tomboy dan susah tertarik dengan lelaki. Bahkan sempat ada rumor kalau ia adalah lesbi. Bagaimana tidak? Penampilannya saja bisa membuat orang salah sangka. Ganteng banget.

"Itu si Malik juga gitu. Tipe-tipe guelah mereka." Tambah si tomboy.

Pelita nyengir saja, bingung mau menanggapi seperti apa.

Dan yang lebih membingungkan adalah ketika satu sosok adik tingkatnya datang menghampiri saat Pelita sedang menikmati semangkuk bakso di pinggir jalan depan gedung fakultas.

"Kak Pelita?"

Namanya Jeni. Gadis berwajah imut dan terlihat malu-malu juga super kalem. Salah satu mahasiswi terkenal incaran para mahasiswa.

"Iya?" Karena tutur yang lembut membuat Pelita memelankan suaranya. Takut mengagetkan sang adik tingkat kalau bicara pakai gas.

Jeni duduk di satu kursi plastik kosong, tepat di sebelah Pelita. Ia merogoh tas selempangnya dan menyerahkan sebuah amplop berwarna biru muda.

"Kakak temannya Bang Syabil kan? Boleh titip ini?" Amplop itu berpindah tangan ke Pelita. Bukan cuma itu, sebuah buku juga Jeni serahkan.

"Surat tagihan hutang buku apa gimana nih?" Tanya Pelita bingung. Satu hal yang ada di otaknya adalah Syabil berhutang. Biasa kan begitu. Bahkan sampai hari ini sudah tidak terhitung berapa banyak hutang Syabil pada dirinya dan Malik.

"Bukan. Titip aja, Kak. Maaf ngerepotin..." ucapan Jeni terpotong.

"Iya repot. Tapi nggak apa-apa. Santai." Ucap Pelita akhirnya sambil tersenyum canggung.

"Makasih." Sang adik kelas yang juga terlihat canggung itu akhirnya pamit. Meninggalkan Pelita yang tenggelam dalam kebingungan.

.
.
.

"Anjir! Surat cinta!" Malik heboh setelah mengintip surat yang diberikan Pelita dari Jeni.

"Sumpah?" Gadis itu terbelalak dan merebut kertas yang baru selesai dibaca oleh Syabil.

Pelita dan Malik terkikik geli. Baru kali ini menemukan seseorang yang sepertinya naksir berat dengan sosok Syabil.

"Bentukan si Jeni ini gimana sih? Penasaran." Tanya Malik pada Pelita.

"Cakep. Kalem gitulah. Cewek banget." Jawab gadis itu. "Gue jadi takut tuh cewek shock kalau tau kelakuan asli si Syabil."

"Emang kelakuan gue gimana? Gue kan cowok baik-baik." Protes Syabil.

"Baik sih, tapi..." Pelita menggantung kalimatnya.

"Jorok sama suka ngutang." Malik melengkapi. Kemudian duo seperempat bule itu terpingkal bersama.

"Sialan." Rutuk Syabil.

Pelita kini meredam tawanya dan menatap Malik. "Lo tipe cowoknya Diandra. Tau kan? Anak himpunan fakultas gue yang tomboy abis itu?"

"Yang rumornya lesbi?" Mata Syabil terbelalak. Lalu tertawa bersama Pelita.

"Apes banget gue... mending yang naksir modelan si Jeni itu." Dumal Malik.

Cafe yang masih sepi milik Mami Malik itu nampak semarak karena tawa lepas tiga serangkai, sampai membuat para pegawai menatap mereka penasaran.

"Sumpah, temenan sama kalian itu bikin gue capek. Banyak banget yang ngintilin gue cuma untuk ngorek info tentang kalian." Akhirnya Pelita mencurahkan isi hatinya.

"Ya gimana, kita kan emang cakep ya... takdir lo tuh." Tanggap Syabil dengan santai.

"Pantesan ya, lo nggak punya temen cewek kalo gue liat. Perasaan satu-satunya temen cewek yang lo punya cuma si Alin. Itu juga hitungannya kan sodara ya..." Malik baru menyadari hal itu.

Berteman dengan duo tampan itu lebih seperti kutukan daripada berkah. Memang, tampang itu tidak menjamin sama segalanya akan berjalan lancar. Kalau ada cewek-cewek yang merasa iri dengan posisi Pelita sekarang, rasanya dengan senang hati ia akan bertukar.

"Tapi temenan sama lo juga bikin capek, Lit. Banyak yang minta nomor kontak sama sosmed lo." Malik membongkar fakta baru.

"Sebagai teman yang baik hati, kita nggak sembarangan ngasih kontak lo. Hanya orang-orang terpilih yang kita kasih tau sossmed lo apaan." Sambung Syabil.

"Lo ngasih tau sosmed gue ke siapa?" Wajah gadis itu seketika panik.

Kelihatannya memang Pelita itu supel dan friendly, tapi sebenarnya ia susah untuk berinteraksi dengan orang baru. Terutama lawan jenis. Kecuali memang sudah kenal lama dan dekat sekali seperti Malik dan Syabil.

"Namanya Dani. Mungkin lo pernah liat dia pas kita-kita main basket." Ucap Malik.

Kening Pelita mengerut, "yang tinggi, sering nyengir itu?"

Kompak Syabil dan Malik mengangguk.

"Ganteng sih..." ucap Pelita akhirnya.

"Kita harus tumpengan. Langka banget si jutek satu ini ngomong cowok itu ganteng." Syabil mulai heboh. Sementara Malik malah bertepuk tangan sambil berdiri.

"Gila." Gumam gadis satu-satunya dalam lingkaran persahabatan tersebut. Ia memilih untuk menyesap es cokelat yang terhidang. Mengabaikan tingkah absurd duo tampan yang ia sebut sahabat.

.
.
.

Bagaimana jadinya? Apakah Syabil akan menanggapi si Jeni? Terus kelanjutan Pelita dan cowok bernama Dani ini seperti apa?

Pelita (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang