Bagian 8: Bumi Tak Bersahabat

1.3K 158 14
                                    

Pemberitaan tentang merebaknya virus baru di daratan Cina sana terus tersiar di berbagai platform sosial media. Beberapa orang mulai mengambil ancang-ancang antisipasi untuk mencegah berkembangnya virus tersebut, mengingat dunia saat ini sangat mudah untuk dijajaki.

Dulu, rasanya keliling dunia adalah hal mustahil yang membutuhkan waktu lama. Jadi virus-virus baru yang merebak hanya berkutat di satu kluster daerah. Namun sekarang?

Ada banyak orang yang menyematkan title sebagai traveler pada nama mereka. Tidak sedikit yang menjadikan hal tersebut pekerjaan utama dengan membuat konten-konten tentang bepergian keliling dunia.

"Mudahan jangan sampai sini." Gumam Syabil.

Sehabis kelas, tiga sahabat itu bertemu di warung lalapan dekat kampus. Sekalian makan siang bersama.

"Menurut gue sih bakalan sampai. Apalagi ibu kota kan gerbang utama masuknya orang-orang dari seluruh dunia." Ucap Pelita dengan yakin.

Malik mengangguk. Ia lebih pendiam dari biasanya. Seperti sedang mengkhawatirkan sesuatu.

"Kenapa lo?" Tanya Pelita yang sadar dengan kesenyapan pada diri Malik.

"Gue cuma khawatir aja. Mami sama Papi gue kan baru pulang liburan dari Shanghai." Jawab Malik.

Ya, kalau menjadi Malik, tentu Pelita dan Syabil juga akan tertegun.

"Mudahan sih Tante Dira sama Om Revan nggak apa-apa." Syabil menepuk bahu sang sahabat berusaha menenangkan.

"Syabil! Nepuk-nepuk bahu sih oke, tapi jangan pakai tangan bekas makan sambel dong. Baju gue..." protes Malik. Kaos polo-nya jadi ternoda kombinasi sambal dan liur Syabil.

Pelita terkikik, namun akhirnya membantu Malik membersihkan kaos mahalnya dengan tisu basah yang ia bawa.

"Gini nih... penyebaran virusnya bisa cepet kalo modelan orangnya macem lo." Tunjuk Malik dengan wajah emosi pada Syabil. Pemuda yang tadinya cengengesan karena merasa lucu, jadi tidak enak.

"Maaf, Lik." Ucapnya penuh sesal.

Rasanya saat ini, bercanda dengan hal semacam itu tidaklah benar.

.
.
.

"Kasusnya tambah banyak aja di sini." Gumam bapak yang fokus menatap layar televisi sambil meminum secangkir kopi hitam kesukaannya.

Sudah lebih dari satu minggu sejak virus merebak memasuki wilayah NKRI. Kegiatan kantor dan sekolah pun diliburkan untuk memutus rantai penyebaran virus tersebut.

"Untung si Dira sama Revan nggak kenapa-kenapa ya..." gumam ibu.

Sementara para anak hanya ikut menyimak saja.

"Bara jadi pulang? Apa nggak lebih bagus di tempat eyang aja?" Pelita buka suara. Setelah berembuk dan pemilik kosan tempat adiknya tinggal di Jogja memutuskan untuk menutup sementara kosannya, sang adik berencana untuk pulang saja.

"Si Bara nggak mau. Katanya mending ngumpul sama kita-kita aja. Biar kalo virusnya ngerubah yang terinfeksi jadi zombie dia juga jadi bagian itu." Jelas Banyu.

Pelita memutar bola mata. Adiknya yang satu itu memang sangat absurd. Sepertinya hanya Banyu yang normal di keluarga mereka.

Bosan menonton berita, gadis itu undur diri ke dalam kamar. Ia membuka grup chat yang hanya beranggotakan tiga orang. Siapa lagi kalau bukan dirinya serta dua makhluk tampan Malik dan Syabil.

Trio Maung

Pelita
Pada bosen gk sih
d rmh terus?

Pelita (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang