Bagian 17: No Tears, Why?

1K 141 12
                                    


"Kita udahan aja." Ucap Dani sore itu saat mereka janji temu di parkiran gelanggang olah raga universitas. 

"Maksudnya putus?" Tanya Pelita. 

Dani mengangguk. Permukaan mata pemuda itu nampak berkaca-kaca. Namun tidak dengan Pelita. Ia malah mengangguk.

"Oke." Tanggapnya santai. Tidak ada air mata dan rasa sakit hati terlihat dari ekspresinya.

Jika gadis lain sedang ada di posisi Pelita, mungkin mereka akan menangis meraung sambil menuntut kejelasan. Putus dari sosok seperti Dani yang tampan dan baik adalah hal buruk yang sepertinya pantas ditangisi. 

"Kamu nggak tanya alasannya?" Dani menyeka air mata yang tumpah di pipi. Lalu menatap Pelita dengan mata terbelalak.

"Nope. Biar itu jadi urusan lo. Gue tau, selama ini jadi pacar lo tuh emang nggak bisa kayak cewek lain. Gue sadar diri banget." Jelas Pelita. Gadis itu malah tersenyum. "Gue malah jadi lega. At least nggak ngebebanin lo lagi."

Dan mulut pemuda dua puluh dua tahun itu hanya bisa menganga mendengar penuturan sang mantan kekasih. 

.

.

.

Kepala Pelita menelungkup di meja kafe, sementara dua sahabatnya hanya saling memandang sambil mengedikkan bahu. 

"Kenapa lo?" Tanya Syabil akhirnya karena gatal ingin bertanya.

"Gue putus sama Dani." Jawab gadis itu masih dengan posisi menelungkup. 

"Serius?" Kali ini Syabil terbelalak. "Lo apa Dani yang mutusin?"

"Dani.

"Wah... sekata-kata dia... sekarang lo nangis nih?" Cowok berkulit kecokelatan itu sudah mengeluarkan ekspresi marah dan mengepalkan tangan.

Wajah Pelita terangkat. Tidak ada air mata atau tanda-tanda bekas menangis di matanya. 

"Lo nggak sedih?" Malik akhirnya bersuara.

"Itu yang gue heran. Gue jadian nih tiga bulan, banyak hal asyik gue kerjain sama Dani. Tapi kok pas diputusin nggak sedih ya? Gue nggak broken heart sampai nangis bombay." Gadis itu menatap dua sahabatnya bergantian. 

"Berarti kemaren lo nggak ada rasa sama Dani. Ya nerima jadi pacar cuma karena penasaran doang sama yang namanya pacaran kayak apa." Syabil menjabarkan opininya. 

"Tapi gue dulu deg-deg-an, sumpah! Kalo di novel sama film romantis gitu artinya kan ada rasa?" Pelita menggaruk kepalanya yang tidak gatal. 

"Mungkin itu cuma euforia sesaat doang." Malik bersuara. 

Pelita menghela napas. Ia sendiri bingung dengan apa yang terjadi. Rasanya pengalaman percintaan dalam hidupnya belum sempurna sebelum merasakan patah hati seperti apa. Aneh kan?

"Gue pengen nangis tapi nggak bisa..." rengeknya. 

"Ngapain sih buang-buang air mata. Kalo lo nggak mewek ya udah!" Lama-lama Syabil gerah juga dengan tingkah sahabatnya. 

Fokus pemuda itu pun teralihkan karena ponselnya berbunyi. 

"Kakak lo lagi?" Tebak Malik.

"Ya gitu... kebiasaan dah. Kapan sih dia nikah biar nggak ganggu gue?" Gerutu Syabil sambil memasang jaket. "Duluan. Assalamualaikum!" Pamitnya.

"Waalaikumsalam." Balas Malik dan Pelita bersamaan.

Kini suasan meja menjadi lebih hening. Hanya suara helaan napas Pelita yang berulang kali terdengar. Kelihatannya ia lebih frustasi karena tidak menangis daripada kenyataan baru putus dari pacar. 

Pelita (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang