Setiap hari waktu bangun tidur, hal pertama yang gue liat adalah muka abang gue. Dana. Dengerin suaranya, bahkan merhatiin dia pasang sarung sama kopiah. Wajar sih... kita kan tidur sekamar.
Hal lain lagi yang gue lihat adalah muka ngorok adek gue. Syafiq. Tapi itu nggak bikin gue dongkol. Mungkin karena udah biasa dari kecil tidur bareng di satu kamar.
Maklum, rumah yang keluarga gue tempatin ini kan bukan rumah gedong. Cuma ada tiga kamar dan semua penuh terisi.
Bagi gue, hidup ini tuh hampir sempurna. Walau lifestyle yang gue anut itu sederhana. Harta bukan segalanya kan? Yang penting gue punya saudara-saudara yang kompak dan akur juga orang tua yang perhatian.
Kalau ada yang tanya apa impian gue? Jawabannya cuma satu. Membangun keluarga harmonis. Sama siapa?
Well... sebenarnya ini rahasia. Gue pengen bisa membangun keluarga yang samawa bareng Pelita.
Ya. Pelita yang itu. Anak sulung bapak Ghani dan ibu Zifara. Cewek yang bertahun-tahun ini menyandang status sebagai sahabat gue.
Apa yang gue suka dari dia?
Banyak.
Pelita itu cewek pinter dan kuat. Maksudnya bukan cewek menye-menye yang bergantung sama cowok. She is very independent. Tapi dia juga pinter menyesuaikan kondisi. Ada hal-hal di mana Pelita melibatkan sosok lelaki untuk membantunya.
Pelita.
Dia juga jago masak. Memang dari luar kelihatannya cewek itu kayak nggak kenal sama bumbu dapur. Tapi sebenarnya jago banget. Lagi-lagi ini bukan hal mengherankan. Keluarga besarnya punya bisnis kuliner sih.
Cuma naksir Pelita itu berat, euy! Saingannya luar biasa. Terutama abang gue sendiri.
Orang-orang bilang gue ini ganteng. Cewek-cewek di kampus juga nggak lelah ngejer-ngejer gue, tapi kalo lo semua liat gimana bentukan abang gue. Beuh! Gue nyerah.
Tapi kayaknya Pelita bukan tipe cewek yang liat tampang. Buktinya seberapa keras Bang Dana ngelempar jokes tentang calon istri pada Pelita, tetap mental begitu saja. Haha...
Oke, kayaknya abang gue bukan saingan yang perlu dikhawatirkan. Satu orang sih yang akhir-akhir ini bikin gue snewen berat. Namanya Dani. Temen satu fakultas dan ada di tim basket yang sama.
"Jadi kalian deket banget sama Pelita?" Tanyanya suatu hari ke gue dan Malik.
"Iya. Kita bahkan punya foto telanjang bertigaan." Gue ngomong asal dan ambigu aja sekalian.
Muka Dani melongo, tapi si bule cepat-cepat meluruskan keadaan.
"Foto telanjang pas kita bertiga bayi. Kayak lagi dijemur gitu pas pagi sama mama-mama kita." Jelas Malik.
Mulut Dani langsung membentuk huruf 0 lebar. Tidak jadi salah sangka.
"Kelihatannya dia asik ya." Lanjut Dani. Demen banget ngomongin Pelita.
"Ya gitu. Kenapa? Lo mau kita kenalin?" Tawar Malik.
Jauh di dalam hati gue, nggak setuju banget sama tawaran itu. Tapi gue ini siapa ngelarang-ngelarang orang temenan?
Akhirnya si Dani kenalan juga sama Pelita. Bahkan dianterin pulang dong... dongkol juga sebenarnya. Padahal gue sore itu punya kesempatan untuk nganterin Pelita pulang.
Semua gara-gara Kak Syafa yang tiba-tiba nelpon minta jemput.
... dan untuk beberapa waktu belakangan ini gue gabut banget. Diem di rumah sampai jamuran gara-gara virus korona.
Nggak apa-apa sih sebetulnya di rumah terus. Gue jadi fokus ngerjain skripsi dan bimbingan pun lebih efektif via online. Tapi... tapi...
Gue kangen Pelita.
Gimana ya, nggak lihat muka sama denger suaranya itu nggak enak banget.
Dasar gue, bucin.
Iya... iya... gue ngaku udah jadi bucin akutnya Pelita. Cuma pengit aja buat ngaku. Pertimbangannya banyak banget bro!
Satu pesan masuk tiba-tiba mengangkat semangat gue. Pelita nyuruh gue ke rumahnya dong... seneng. Jadi seketika itu gue siap-siap pakai jaket, pasang masker, dan pakai sarung tangan. Meluncur ke rumah Pelita yang nggak jauh-jauh amat.
Rumah sahabat gue ini cukup besar. Punya halaman luas dan banyak pohon buah. Ada mangga, rambutan, sampai bunga kamboja.
Sambutan yang gue terima juga hangat banget. Berasa kayak pulang ke rumah. Mungkin karena suasana di dalamnya mirip-mirip kayak di rumah gue sendiri. Saudara cewek itu juga banyak dan aktif banget mulutnya.
Rasa bahagia dan seperti di rumah itu sayangnya memudar waktu ngelihat kehadiran Malik. Harusnya gue udah duga, kita pasti bertigaan.
Lama-lama gue mikir. Apa mungkin si bule juga kayak gue? Maksudnya suka-naksir ke Pelita? Masalahnya Malik ini susah dibaca ekspresinya.
"Gue sebenarnya diajak jalan ke Bandung sama Dani. Bukan dufan." Ucap Pelita.
Tadinya kita ngebahas soal bumi yang memulihkan diri selama korona mewabah ke seantero bumi. Terus nyerempet ke masalah kencan. Eh... malah...
"Nggak boleh!" Gue cepat-cepat melarang. Nggak sendirian, Malik juga ngomong hal yang sama kayak gue. Kompakan gitu ngelarangnya.
Alhasil gue ngelihatin Malik dan si bule itu juga ngelihatin gue. Rasanya tatapan mata tajam sohib gue itu kayak ada bara apinya.
Jangan-jangan emang beneran dia suka Pelita juga?
"Nggak boleh pergi berduaan. Jauh. Kalo emang mau main ke Bandung, ajak salah satu dari kita atau ajak salah satu adek lo. Lo juga bisa ngajak Bara kan? Katanya adeknya Dani temen Bara. Itu lebih baik." Jelas Malik.
Entah kenapa penjelasan panjang lebar itu membuat gue lega. Kayaknya sih Malik begitu bukan karena suka, cuma khawatir aja.
Bayangkan kalo gue harus saingan sama Malik? Brooo... kalah telak gue. Soalnya Pelita kelihatan jauh lebih akrab dan nyaman sama si bule. Sama gue dia nggak pernah jalan bareng berdua aja. Boncengan motor berdua aja bisa dihitung jari. Lah... si Malik sama Pelita sering banget pergi berduaan. Makan bareng, nongkrong di kafe bareng, bahkan liburan bareng.
Huh... jadi pengen cepet lulus terus kerja dapat gaji gede. Habis itu buru-buru lamar Pelita sebelum keduluan sama cowok lain.
.
.
.Bil, kayaknya kamu tuh enggak peka ya... 😆
Guys... ini loh Bang Dana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelita (Complete)
RomanceTentang Pelita dan kisah persahabatannya yang membuat hatinya rumit.