Riuh lalu lalang penumpang kereta menjadi pemandangan yang dilihat Pelita saat keluar dari gerbong. Hari masih gelap gulita, maklum ia menunpang kereta eksekutif malam. Jadi gadis itu tiba di kota tujuan saat dini hari.
Seperti sudah terbiasa, Pelita berjalan santai. Pintu keluar adalah satu-satunya hal yang ingin ia lihat.
"Kak Pelit!" Seru seorang pemuda yang berdiri di ambang pintu keluar. Wajahnya yang mirip dengan Pelita menyunggingkan senyum sumringah. Tangannya melambai semangat.
"Pelita! Nama gue Pelita!" Protes gadis itu.
"Enakan juga dipanggil Kak Pelit. Sesuai sama sifatnya." Balas pemuda tampan itu.
"Terserah." Pelita memutar matanya. Terlalu lelah untuk menanggapi ocehan sang adik. Bara namanya.
Oh iya, hari ini gadis itu baru tiba di Jogja. Mau refreshing katanya. Suntuk terkungkung dalam aktivitas monoton di ibu kota. Apalagi ia sedang berjibaku mengerjakan skripsi yang sangat memusingkan.
Tidak seperti biasa, kali ini Pelita sendirian. Baik Syabil maupun Malik menolak pergi. Katanya mereka harus mengerjakan banyak revisi. Syukurlah, itu membuat gadis jelita satu ini punya waktu me time tanpa harus terganggu dengan kehadiran dua sahabatnya. Pengganggu itu berganti dengan sosok sang adik. Bara.
Angin dingin subuh menerpa wajah Pelita ketika motor vespa milik sang adik melaju kencang membelah jalanan kota. Walau masih gelap, aktivitas warga sudah mulai menggeliat. Motor-motor yang mebawa sayuran hilir mudik. Mungkin mereka para pedagang di pasar. Begitu pikir Pelita.
Merasa dingin, gadis itu merapatkan jaket dan memeluk erat punggung Bara. Mata Pelita juga terasa berat, mengantuk. Tapi ia harus bertahan hingga sampai ke rumah eyang. Bisa repot nanti kalau tertidur dan jatuh dari motor.
"Kak, lo pegangannya kurang kenceng kali, sampai gue nggak bisa nafas!"Seru Bara sarkastik. Gadis itu terkekeh dan melonggarkan pegangannya.
"Kapan lagi lo dipeluk cewek cantik!" Ledek Pelita.
"Ya kali..." protes Bara.
Bagi adik-adiknya, Pelita itu sosok kakak yang sering sekali merasa gemas. Ia sama sekali tidak canggung mencubit pipi bahkan menciumi pipi adik-adiknya. Sampai di umur segini pun, ia masih melakukan hal itu. Biasanya, Bara dan Bintang pasrah jika kakaknya sedang kumat merasa gemas pada mereka. Lain lagi dengan Banyu dan Kejora. Mereka adalah kelompok yang selalu protes dan menghindari skinship sang kakak.
Lima belas menit berada di jalanan, motor melaju lebih pelan. Mereka memasuki jalanan desa. Gelap. Lampu jalanan yang minim dengan kiri-kanan sawah menciptakan kesan horor. Pelita sih tidak takut, tapi adiknya yang sekarang mengendalikan motor itu adalah sosok penakut.
"Tadi lo jemput gue jalan dari sini apa kosan?" Tanya Pelita akhirnya. Penasaran juga.
"Kosan dong." Jawab Bara.
Jelas sekali. Mana berani pemuda dua puluh tahun itu melewati jalanan mewah (mepet sawah) yang gelap sendirian saat dini hari begini.
Laju motor semakin pelan dan akhirnya berhenti di depan gerbang besi. Dari luar terlihat halaman luas yang penuh dengan pohon buah-buahan dan bunga. Jauh di dalam sana terdapat satu bangunan bergaya jawa yang ukurannya cukup luas juga punya banyak kamar.
Mesin motor dimatikan dan Bara meminta sang kakak untuk turun dari motor.
"Gue harus buka gerbang." Ucap pemuda itu.
Setelah satu menit berkutat membuka gembok lalu memarkir motor di dalam garasi, akhirnya Pelita bisa masuk ke dalam kamar yang nyaman.
Gadis itu merentangkan tubuhnya di kasur empuk dan lembut. Matanya menatap langit-langit kamar. Rasa kantuk itu hilang seketika.
"Kak." Panggil Bara. Pemuda itu masuk ke dalam kamar dan ikut berbaring di samping sang kakak.
"Biasanya lo kalo gini ada apa-apa nih. Curhat?" Pelita sudah hafal gerak-gerik sang adik. Sama saja seperti Banyu, kembaran Bara.
"Tau aja." Bara terkekeh.
"Curhat apa nih? Lo naksir cewek?" Tebak gadis itu.
"Nggak tau juga dibilang naksir atau apa. Cuma gue suka dag dig aja kalo ketemu dia." Cerita pemuda dua puluh tahun itu.
Pelita menyeringai, "adekku udah gede ternyata." Ejeknya.
Tapi ternyata Bara tidak terpancing oleh ledekan sang kakak tercinta. Alih-alih protes, ia malah melontarkan pertanyaan aneh. "Jadi kak, lo pilih yang mana? Yang hitam manis kayak kecap bangau apa yang putih kayak susu beruang?"
"Hah?"
"Iya pilih Bang Syabil apa Mas Malik?"
"Pertanyaan apa tuh? Random banget. Ngapain gue harus milih?"
"Karena lelaki juga butuh kejelasan. Emang lo mau poliandri ya?"
Pelita mengubah posisi tidurnya menjadi miring menghadap sang adik yang masih terlentang menatap plafon.
"Mulut lo!" Hardiknya.
Bara juga akhirnya tidur dengan posisi miring menatap mata sang kakak sulung.
"Sebagai cowok, gue yakin dua-duanya ada rasa sama lo. Coba tanya deh ke Banyu sama Bintang. Mereka pasti setuju. Feeling gue nih kuat banget, Kak."
Gadis itu memutar matanya. Merasa apa yang dibicarakan sang adik hanyalah bualan karena lelah dan mengantuk.
"Tidur sana di kamar lo!" Pelita menoyor kening sang adik.
Bara cemberut seraya memegang keningnya. "Udah mau subuh, gue harus bangunin Eyang. Lo juga jangan langsung tidur. Subuhan dulu." Pesan pemuda itu sebelum beranjak dan meninggalkan kamar Pelita.
Sepeninggal sang adik, gadis itu terpekur. Ucapan Bara terngiang di otaknya.
Nggaklah... mereka sahabat gue dari masih bayi.
Lebih seperti mengelak. Ia tahu, bahwa tidak ada yang bisa menjamin isi hati seseorang. Pun dirinya yang sampai sekarang tidak mengerti dengan perasaannya sendiri.
.
.
."Lain kali ajak itu teman-temanmu yang ngguanteng itu loh." Ucap uti tiba-tiba saat sarapan bersama.
"Bang Syabil sama Mas Malik?" Bara yang malah menanggapi.
"Iya, itu... biasanya kan Pelita udah kayak princess dikawal pengawal." Lanjut uti.
"Uti... bisa tersakiti itu si Malik kalo dibilang mirip pengawal." Pelita terkekeh. Ia teringat bagaimana wajah lucu sahabatnya saat sedang merajuk.
"Emang kalo Bang Syabil nggak marah, Kak?" Pancinga Bara.
"Ngamuk. Bukan marah lagi." Pelita menerima umpan sang adik dengan baik.
"Pokoknya temanmu yang ganteng itu lain kali di ajak juga. Kalau mau keliling kan bisa pakai mobil akung. Ya kan, Kung?" Uti melirik sang suami.
"Hmmm.." tanggap akung malas-malasan.
Seperti bapak Pelita -Pak Ghani, akung adalah sosok yang amat sangat tidak rela cucu-cucu perempuannya didekati oleh pemuda lain. Kasihan calon suami Pelita nanti, harus menjalani screening berlapis-lapis.
"Memangnya kamu nggak terpesona apa sama mereka. Kan ganteng, Nduk. Siapa tahu ada yang cocok buat jadi calon." Sambung uti.
"Calon? Aduh... nggak lulus kriteria." Ucap Pelita dengan asal.
Mulut memang bisa dengan mulus menyangkal, tapi otak dan hatinya seperti tidak sejalan.
Diam-diam, gadis itu mengamati dua sahabatnya yang ternyata cukup mumpuni untuk dijadikan teman hidup. Tapi ia berani bersumpah, hingga detik ini tidak ada rasa apa pun terhadap Syabil dan Malik. Pelita ingin selamanya mereka menjadi sahabat baik dan karab hingga akhir hayar.
.
.
.Jadi, apa para prince charming benar-benar punya rasa ke Pelita? Benarkan feeling Bara tentang dua sahabat kakanya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelita (Complete)
RomanceTentang Pelita dan kisah persahabatannya yang membuat hatinya rumit.