34. D&D

21.2K 715 62
                                    

Waktu menunjukkan pukul delapan malam. Daffa masih menikmati angin malam di halaman belakang rumahnya tepatnya di depan kolam renang.

Sembari memetik gitar dia duduk di kursi  yang tersedia di ruangan beralas ubin kayu tersebut.

Debia tersenyum simpul saat melihat suaminya dari balik jendela rumah.

Kenapa aku selalu suka melihat Daffa main gitar?- batin Bia.

Bia menghampiri Daffa sembari membawa dua gelas susu hangat yang baru di seduh.

“makasih sayang” ujar Daffa sambil tersenyum manis.

“iya. Kamu gak dingin?” tanya Bia pada Daffa. Pasalnya dia hanya memakai kaos pendek putih polos dengan celana kolor sepaha saja.

Berbeda dengan bia yang sudah hangat dibalut seweeter tebal yang menutup hingga leher dengan bawahan leging selutut berwarna putih. Tak lupa dengan rambutnya yang di gulung hingga atas.

“peluk dong biar anget” jawab Daffa yang di balas delikan oleh Bia. “itu mah maunya kamu” ujar Bia.

“kalo gak mau buka aja sweeter kamu”

“kamu mau pake sweeter aku gitu?”

“engga. Liat kamu pake daleman doang juga aku langsung panas” seketika Bia melebarkan matanya saat mendengar ucapan suaminya itu.

“iiiiii otaknya yaaa” rengek Bia sambil memukuli lengan atas Daffa yang berada disampingnya. Tawa Daffa pecah sambil berusaha menghindari pukulan istrinya itu.

“awhh haha udah sayang sakit”

“kamu sii” bia menghentikan tindakannya lalu mengangkat kakinya keatas dan memeluknya menggunakan tangan. Ya. Dia kedinginan.

Daffa yang tengah menghabiskan susunya itu mengalihkan pandangan pada istrinya.

“masuk Bi kalo dingin” ujar Daffa.

“gak mau. Aku mau nemenin kamu” tanpa sadar Debia bisa membuat Daffa senyum kegirangan.

“tunggu" ujar Daffa. Dia masuk ke dalam rumah lalu kembali lagi membawakan selimut untuk Bia.

“makasih. Perhatian banget si” ujar Bia. Di saat bia sudah berbalut sweeter dan selimut Daffa masih kuat bertahan dengan kaos dan kolornya itu. Dan entah kenapa Daffa terlihat keren di mata Bia walau dengan pakaian sedanya saja. yah walaupun notabennya Daffa memang ganteng.

Daffa kembali memetik gitarnya.

“ganteng banget si” ujar Bia yang membuat Daffa mendongkakkan kepalanya ke arahnya.

“emang” jawab Daffa dengan pedenya yang membuat Bia mendelikkan lagi matanya. Daffa yang melihat itu malah tertawa.

“sayang, bentar lagi kan UN. Kamu mau lanjut kuliah dimana?” tanya Daffa.

“emh g-gimana ya Daf. Aku ngikut persetujuan kamu aja deh. Kitakan udah berkeluarga. Jadi kamu berhak ko ngatur kuliah aku dimana. Seorang istrikan harus nurut sama suami” ujar Bia. Dan itu membuat Daffa mengernyit bingung.

“Bi, aku tau kamu punya masa depan sendiri aku tau kamu punya univ yang kamu inginkan. Jangan terpatok sama pernikahan kita Bi. sebelum pernikahan ini terjadipun aku udah janji sama diri aku sendiri kalau aku gak akan ngejadiin pernikahan ini sebagai halangan buat pendidikan kita. Kita ini masih muda, kita harus sama kaya anak-anak yang lain yang berusaha keras ngejar impiannya. Apalagi kamu yang punya kelebihan, kamu pinter, dan aku bakal seneng kalo kamu masuk univ impian kamu” Tutur Daffa.

“a-aku takut kamu keberatan sama pilihan aku” ujar Bia lirih sembari menatap ubin yang ada di bawah. Daffa yang melihat itu langsung menghampiri Bia dan terduduk bertopang sikut di bawah kursi yang diduduki istrinya itu.

Nikah Dini?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang