37. Keputusan

17K 677 95
                                    




Sudah hampir dua hari Daffa menyembunyikan masalah saat di villa pada Bia. Setiap Bia berusaha bertanya dia selalu mengalihkan pembicaraannya.

Sengaja Daffa melakukan itu. Dia hanya butuh waktu untuk menetralkan pikirannya.

Dan Daffa rasa kali ini dia harus membahasnya dengan Bia. Pikirannya sudah tenang seperti semula.

“mau cerita?” tanya Bia lembut saat melihat Daffa yang menghampirinya dengan raut wajah yang tak bisa di gambarkan. Daffa mengangguk lalu duduk di samping Bia.

Melihat itu Debia berusaha sebisa mungkin membuat situasi yang nyaman agar Daffa bisa bercerita dengan leluasa.

Dia mengelus lengan atas Daffa berusaha untuk membuat Daffa agar tidak terlalu takut untuk menceritakan masalahnya.

“papa nyuruh aku kuliah di ausie” ujarnya cepat dan jelas.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

Sampai detik ke 10 tidak ada suara yang di keluarkan Bia. Mereka hening.

Penyataan Daffa tadi cukup membuat Debia terkejut tapi percayalah di detik-detik ke heningan mereka Debia berusaha untuk merangkai jawaban terbaiknya.

“itu bakal jadi peluang yang bagus buat masa depan kamu” ujar Bia membuka suara.

“kok kamu gak keberatan sih Bi? emang kamu siap kalo kita tinggal berpisah? Empat taun loh bi” ujar Daffa heran, dia mengharapkan halangan dari istrinya agar memperkuat niatnya untuk tidak menuruti keinginan papanya itu.

“kamu lupa kamu yang bilang ke aku bahwa pernikahan kita gak bakal jadi penghalang buat pendidikan kita. Dan aku setuju dengan pendapat kamu. aku tau kamu dengan tegarnya berusaha ngebolehin aku kuliah di luar kota. Dan aku juga berhak bilang ke kamu bahwa aku gak ada masalah kalo kamu mau kuliah di ausie, walaupun itu emang sulit buat kita karena tinggal terpisah. Kamu sendiri kan yang bilang cuma empat taun, waktu bakal berjalan cepet” tutur Bia. Seketika Daffa merutuki perkataannya itu yang malah jadi boomerang untuknya.

“aku gak bisa jauh dari kamu” ujar Daffa sedih. Melihat itu tenggorokan debia menjadi tercekat. Di berusaha menahan tangisannya.

“aku juga gak Bisa. Tapi kita harus. Demi masa depan kita. Aku pengen kita jadi orang yang berpendidikan. Kita pasti bisa ngelewatin ini bareng-bareng. Turutin kemauan papah kamu. Aku yakin dia udah mikirin yang terbaik buat anaknya” ujar Bia.

Daffa jadi teringat perkataan papahnya. Dia ingin anaknya menjadi orang yang sukses yang bisa menafkahi istrinya secara layak. Oleh itu keyakinan Daffa pun berubah. Dia mulai mempertimbangkan ke inginan papah nya itu.

“kalau kamu jadi orang sukses bukan hanya aku yang bangga. Tapi juga keluarga kamu dan tentunya keluarga aku. Papah pasti bangga punya menantu kaya kamu” Daffa merenenung kembali. Benar kata Bia. Istrinya itu adalah anak tunggal dan orang tuanya pasti menginginkan menantu yang berpendidikan dan sukses. Begitupun dengan papah mamahnya, dia anak laki-laki satu satunya dan ingin membuat mereka bangga akan hal itu.

“kamu bener. Harusnya aku gak ngeyel pas papah ngusulin itu. Aku tau papah mau yang terbaik buat anaknya. aku bakal nurutin ke mauan papah tapi kamu harus tau semua itu buat masa depan kita, semua ini semata-mata buat kamu. aku mau jadi suami yang bertanggung jawab dengan istrinya dan membuatnya bangga” ujar Daffa mantap. Debia tersenyum mendengar keputusan Daffa. Ternyata mereka bisa berfikiran dewasa untuk masa depannya nanti.

....

Daffa dan Debia mengunjungi rumah orang tua Daffa untuk membahas masalah kuliah. Dan juga untuk meminta maaf akan kejadian waktu itu.

Nikah Dini?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang