[27] Lebih Hambar dari Es Teh Tawar

438 116 101
                                    

ADA YANG KANGEN SHIVERA DAN QUIVERA?

KING AND QUEEN OF ICE HAHAHAHA


oOo

Yolanda baru selesai latihan cheersleaders dan keheranan melihat Shivera, teman sebangkunya, duduk sendirian di dalam kelas yang sepi. Shivera tidak sedang mengerjakan tugas, bermain HP, membaca buku atau hal lain yang mungkin dilakukan kalau siswi normal yang duduk sendirian. Cewek itu cuma menatapi tangannya yang terbuka seolah-olah baru sadar bahwa jarinya ada lima, lentik, punya garis tangan yang tegas dan saling potong. Ya, kira-kira sampai bisa menghitung garis tangannya ada berapa kalau dilihat dari betapa seriusnya tampang Shivera mengamati tangannya sendiri.

"Lo ngapain?" Yolanda berdiri di sebelah Shivera dan ikut mengamati telapak tangan.

Shivera tergeragap. "Eh-eng-enggak apa-apa. Lo kok di sini? Sejak kapan?" Mendadak Shivera khawatir tadi Yolanda melihat aksinya membuat lapisan es tipis di atas tangannya.

"Sejam yang lalu kira-kira."

"Hah?! Serius?!" Shivera kelabakan menatap jam dipergelangan tangannya. Sudah jam berapa ini? Apa Yolanda tadi melihat ulahnya?

Yolanda memutar bola mata. Tahu bahwa sahabatnya sedang tidak beres. "Bercanda elah!"

Lega. Shivera lega. Lalu dia melipat bibir, bertanya sesuatu dengan ragu tapi merasa Yolanda mungkin punya jawaban atas kegelisahannya. "Yo, apa yang lo lakukan kalau lo melukai seseorang?"

"Ha? Melukai?" Yolanda mencondongkan wajah pada Shivera. "Lo habis bikin patah hati siapa?" Bukannya segera menjawab, Yolanda malah berdecak-decak. "Nggak kakaknya, nggak adiknya, sama-sama doyan bikin orang patah hati. Ingat karma lo!"

"Apa sih, Yo. Bukan luka kayak gitu. Luka beneran."

"Luca yang blasteran Italia itu?" Mata Yolanda melebar.

"Au ah!" Shivera berdiri dengan wajah ditekuk.

"Sabar Bu, sabar." Yolanda mendudukkan Shivera lagi. "Lo ngelukai gimana?"

"Luka fisik, Yo. Luka fisik. Gue terlalu syok dan nggak ngerti harus gimana."

"Minta maaf. Itu yang pertama."

Shivera meneguk ludah.

"Kedua, ya lo obatin lah, kayak scene-scene drama romantis."

"Kalau lukanya parah?"

"Astaga Shiv, lo habis ngapain anak orang sih? Nabrakin anak orang ke truk tronton?"

"Ya, bukan."

"Terus?" Yolanda menatap dengan curiga. "Siapa?"

Nah, ini pertanyaan yang dihindari Shivera. "Ya udah, gue balik duluan." Shivera cepat-cepat berkemas dan meninggalkan Yolanda sendirian. Dia bahkan tidak peduli waktu Yolanda menawari pulang bersama. Pasca kehilangan kontrol kepada Hideki hari itu, Shivera merasa harus melakukan social distancing kalau mau hidupnya aman.

oOo

Shivera mondar-mandir di depan kelas Hideki sambil menggigiti kuku jari. Saran Yolanda menghantuinya. Dia mengaku tidak terjadi apa-apa pada Hideki tapi rasa bersalah menggerogotinya. Terutama setelah tahu Hideki masuk rumah sakit. Bagaimana kalau cowok itu mengalami luka dalam yang parah?

"Bisa nggak, jiwa pembantu lo jangan dikeluarin di sini?" Aragani yang baru datang merasa kurang afdol kalau belum merecoki Shivera. "Mondar-mandir kayak setrikaan."

Shivera tidak dalam mood menanggapi gangguan tak penting macam Aragani, jadi dia pilih balik badan dan menggeser posisinya mondar-mandir.

Aragani melipat tangan dengan kesal karena diabaikan. Tapi kekesalannya segera menyingkir ketika melihat Hideki muncul di kejauhan. "Deki!"

Mendengar nama itu disebut, Shivera ikut menoleh dan mendapati Hideki berjalan di koridor. Shivera berjalan cepat mendahului Aragani untuk mengadang cowok itu. "Hideki!"

Kemunculan Shivera yang tiba-tiba membuat langkah Hideki berhenti mendadak.

"Lo nggak apa-apa kemarin?" tanya Shivera dengan kepala mendongak—lantaran Hideki lebih tinggi darinya.

"Saya? Kenapa?" Hideki memiringkan kepala.

"Hideki, udah belajar buat test Matematika nanti belum?" Aragani muncul di antara dua orang itu. Dia tersenyum manis dan keganasan yang ditunjukkan pada Shivera sudah menghilang. "Ajarin gue dong, ada bagian yang masih belum gue pahami." Tangannya dengan lancang menarik lengan Hideki.

"Gue masih punya urusan sama Hideki," Shivera berusaha menyingkirkan tangan Aragani tapi cewek itu menampiknya dengan tangan yang lain.

"Yuk, Hideki." Aragani kembali mengamit Hideki tapi sengatan hawa dingin menyambar kulitnya saat Shivera menepuk lengannya. "Aw! Apaan sih, lo!"

Shivera menggigit bibir diam-diam. Sialan! Dia kelepasan lagi. Kenapa belakangan dia sering kehilangan kendali. Dengan rasa gengsi yang tersisa, Shivera menegakkan kepala. "Gue perlu ngomong sama Hideki selama sepuluh menit, setelah itu lo bisa kuasai dia sepanjang hari, sepanjang jam pelajajaran sekolah, sepanjang minggu, dan sepanjang semester."

Shivera menatap Hideki untuk meminta cowok itu berpihak padanya. Ternyata Hideki tengah memandanginya dengan serius.

"Jangan dengerin orang gila, Hideki. Matematika jam pertama nih!" Aragani merajuk. Tapi baik Hideki maupun Shivera tidak ada yang menyahutinya. Dua orang itu sibuk saling lempar tatapan ingin tahu dan Aragani merasa dirinya seperti lalat pengganggu. "Ya udah, sepuluh menit doang. Buruan!" Cewek itu menyingkir tanpa diminta.

Setelah Aragani pergi dan orang-orang tidak lagi memedulikan keberadaan mereka, Hideki bicara pada Shivera dengan suara pelan. "Yang barusan itu apa?"

"A-apa?" Dengan bodohnya, Shivera berakting seolah sedang mencari sesuatu. Tengak-tengok kiri-kanan. Akting yang payah. "Nggak ada apa-apa."

"Shivera!" Geram Hideki. Jelas-jelas tadi dia merasakan sengatan dingin di kulitnya waktu tangan Aragani yang mencengkeram lengannya ditepuk oleh Shivera.

Shivera mengalihkan tatapan dari Hideki. Kebohongannya akan cepat terbongkar. "Gue ke sini tadi mau tanya, apa lo udah baik-baik saja."

"Saya baik-baik saja," jawab Hideki dengan nada tak suka yang kentara. Dia kesal karena Shivera terus berlagak tidak tahu apa-apa. Dia bergegas pergi tapi Shivera menahannya.

"Kalau nggak apa-apa kenapa kamu ke rumah sakit?" Takut-takut Shivera memandangi badan Hideki yang kemarin terkena serangannya.

"Kenapa kamu merasa harus tahu urusan saya kalau kamu merasa tidak tahu apa-apa soal kemarin?" Hideki merasa tidak perlu bicara apa-apa lagi. Dia berbalik dan saat itu sengatan dingin kembali terasa di kulitnya saat Shivera menepuk lengannya. Hideki menoleh untuk memandangi Shivera.

"Ah. I-itu," mendadak Shivera gagap karena ditatapi Hideki dengan sorot dingin yang menguliti. "Gue habis minum es lilin. Iya. Es lilin. Maaf ya, tangan gue dingin." Dia mengibas-ngibaskan tangan lalu mundur perlahan dan pergi.

Hideki menatapi punggung cewek itu menjauh. Jelas cewek itu berbohong. Tidak ada bungkus es di tangannya. Kalau pun makan es lilin, dinginnya pasti sudah menghilang sejak cewek itu mondar-mandir di depan kelasnya, berdebat dengaj Aragani, dan mengobrol dengannya bermenit-menit lalu. Ada yang tak biasa dari Shivera dan dugaan Hideki tentang keanehan cewek itu makin menjadi. Dia harus mencari tahu sesuatu.

oOo


Nanti Kita Tahu Akhir Kisah IniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang