🍂 1O 🍂

7.9K 1.2K 91
                                    

Vote dulu sebelum baca 👌

As always, 100 votes dan 30 komentar. Aku ngedit sama ngerjain TA soalnya 😁👍










Kejadian itu membuat Mark sedikit canggung dengan Renjun. Sejujurnya ia clueless, ia tidak tau apa yang terjadi pada Renjun, ada apa dengannya. Sejak tadi ia hanya berpikir, bertanya pada diri sendiri tanpa menemukan jawaban.

Renjun juga jadi tidak banyak bicara dan dari yang Mark perhatikan, gerakan pemuda itu semakin melambat. Renjun juga terlihat mudah lelah.

Mark tidak berani untuk bertanya lebih jauh, ia takut Renjun kelelahan menjawab segudang pertanyaan yang ada dikepalanya. Kadang Mark itu terlalu kritis jika menyangkut suatu hal yang ia sukai.

Jadi, sebenarnya Mark itu sudah suka Renjun?

Gitu?

"Hari ini kamu sarapan seadanya aja ya. Aku nggak bisa bikin makanan banyak-banyak buat kamu," ujar Renjun saat ia meletakkan sepiring tumisan sayur dan daging di atas meja.

Mark menggeleng pelan sambil menipiskan bibirnya. Laki-laki itu menarik kursi makan kemudian duduk yang diikuti oleh Renjun.

"Nggak masalah sih yang penting gue sarapan," jawab Mark sambil menuangkan air ke dalam gelas kemudian menyerahkannya pada Renjun.

"Nih, minum dulu. Lo kayanya lemas banget," ujar Mark pada Renjun yang sedang menelungkupkan kepalanya di atas meja makan.

Renjun mendongak kemudian mengambil gelas itu dari tangan Mark, "Terima kasih," balasnya seraya tersenyum tipis.

Mark hanya mengangguk kemudian mulai menyendokan nasi beserta lauk-pauknya yang sudah Renjun masak. Ia menyuapkan suap demi suap ke mulutnya sambil melirik Renjun yang sedang terkulai lemas di atas meja.

"Ren," Mark menyentuh pundak Renjun tapi tidak ada jawaban.

Sejujurnya Mark panik karena akhir-akhir ini Renjun suka tertidur di sembarang tempat, tapi bukan itu yang membuatnya takut melainkan wajah pucat Renjun.


"Ren, jangan mati please," lirih Mark sambil menggigit bibir bawahnya. Dengan segera ia bangkit dari kursinya untuk mengurus Renjun yang sepertinya sudah kembali tertidur. Ia menegakkan tubuh Renjun agar bersandar pada perut dan pinggangnya, by the way Mark berdiri di sebelah kursi yang diduduki Renjun ya. Dengan cekatan ia memerikan denyut nadi serta napas dari Si Cantik.  "Syukur masih napas, Ya Tuhan. Jangan bikin gue jantungan dong," lirih Mark bersamaan dengan kelegaan yang mengalir dalam tubuhnya.

Laki-laki itu segera menggendong Renjun menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Tidak perlu susah payah menggendong Renjun karena tubuh Renjun itu ringan. Walaupun ia makan banyak tapi tetap saja tubuhnya tidak gendut sama sekali. Dengan hati-hati Mark merebahkan tubuh kurus Renjun di atas ranjangnya kemudian menyelimutinya sampai sebatas dada.

"Lo sakit apa sih? Tiap gue tanya, lo selalu bilang kalau lo baik-baik aja. Kenyataannya lo sama sekali nggak baik. Muka pucat kaya orang mati, gue kan jadi parno kalau mau ninggalin lo sendirian di rumah. Cepet sembuh kek lo biar gue ada yang ngomelin tiap hari. Harusnya lo udah seneng dong, kan gue udah nggak konsumsi minuman keras lagi, nggak makan junk food lagi. Yang gue makan cuma masakan lo doang," Mark bermonolog tepat di samping tempat tidur yang ditiduri oleh Renjun.

Ia berjongkok kemudian menggenggam tangan kecil yang terasa mendingin itu, "Apa yang lo rasain sekarang? Lo bisa bagi ke gue. Katanya kita ini soulmate kan, kenapa lo nggak mau bagi rasa sakit lo sedikit aja ke gue? Biar gue bisa ngerasain sakitnya juga dan kita cari jalan keluarnya sama-sama," lanjut Mark dengan monolognya. Tangannya menepuk-nepuk pelan punggung tangan Renjun.

Kedua mata cantik itu masih terus terpejam, enggan untuk membuka dan menatap Mark. Napasnya masih berhembus teratur dan denyut jantungnya berdetak konstan. "Nanti gue usahain pulang siang ya, pokoknya lo nggak boleh kemana-mana. Di rumah aja, istirahat sampai ngerasa lo baikan lagi. Gue berangkat kerja dulu, see you," pamit Mark kemudian laki-laki itu mendekat dan mengecup kening Renjun cukup lama.

"IDIH ANJIR! BARUSAN GUE NGAPAIN?!!"

***

Siapa bilang setelah itu perasaan Mark tenang-tenang saja. Tidak sama sekali. Laki-laki itu justru resah dan gelisah sejak ia berangkat bekerja dan saat ia sampai di kantor. Saat di jalan menuju kantor ia terus menerus melihat ambulan bahkan mobil jenazah yang lewat. "Anjir hari ini banyak banget yang mati. Kok gue jadi deg-degan gini ya?" Salah satu monolognya saat berada di jalan. "Apa jangan-jangan bentar lagi gue juga ikutan mati? Jangan dong! Belum nikah nih!" Dan monolog yang lainnya.

Biasanya Mark akan bersikap masa bodoh dengan sekitarnya tapi kali ini tidak bisa. Ia terus kepikiran Renjun yang berada di rumah, bahkan pekerjaannya banyak yang terlantar. Dalam satu menit, Mark bisa melirik ke arah jam dinding di ruangannya sebanyak 4 sampai 5 kali.

BRAK!

"NGGAK BISA GUE KAYA GINI!"

Dengan segera ia membereakan semua barang-barangnya dan bergegas keluar dari ruangannya. Bahkan Lucas yang baru saja membuka ruangan Mark ikut keheranan saat melihat bosnya itu pergi dengan tergesa-gesa.

"Yah, pergi. Baru pengen minta tanda tanda," desah Lucas kecewa, terpaksa ia harus kembali lagi besok. Sesuatu kali ini mungkin memang sangat penting bagi Mark sehingga ia rela berpacu dengan maut. Mengendarai mobil gila-gilaan saking khawatirnya dengan Renjun.

Pukul 13.46 ia sampai di rumahnya yang besar dan serba putih itu. Masih dengan langkah yang tergesa, Mark masuk ke dalam rumahnya. Entah mengapa rumahnya terlihat lebih terang dari biasanya, lebih sejuk dan lebih dingin dari biasanya, bahkan hampir semua jendela terbuka. Tapi bukan itu yang ia pedulikan sekarang, Renjun jauh lebih penting. Mark menaiki tangga dengan langkah lebar, sekali melangkah 2 anak tangga terlampaui.

Clek!

Pintu kamar dibuka dan ia masih melihat sosok Renjun yang berada di atas ranjang dengan posisi yang sama seperti tadi pagi. Dengan napas yang menderu, Mark melangkahkan kakinya mendekat ke arah Renjun yang masih enggan untuk membuka kedua matanya.

"Berarti dari pagi, lo sama sekali nggak buka mata, Ren?" lirih Mark tanpa mengedipkan kedua matanya. Mark menjatuhkan dirinya tepat di samping Renjun. "Kalau sampai besok lo nggak buka mata juga, kita ke rumah sakit ya,” Dengan lembut ia mengusap surai hitam milik Renjun.

***

Semua manusia hanya bisa merencanakan. Bagaimana hasilnya nanti, itu semua keputusan Tuhan. Mungkin hal itu yang terjadi pada Mark pagi ini. Niat ingin membawa Renjun ke rumah sakit, tapi justru ia yang sakit. Renjunnya menghilang. Lenyap. Entah kemana. Sudah letih berlari untuk mencari tanpa ada hasil. Sudah letih berteriak untuk memanggil tanpa ada sahutan. Sudah letih untuk menangis tanpa ada yang membuatnya tersenyum kembali. Semuanya sudah terlambat, Renjun pergi sebelum Mark mengutarakan apa yang ia rasakan selama ini terharap Si Cantik.

Punggungnya bersandar pada dinding, matanya menatap lurus dengan pandangan kosong, matanya membengkak dan memerah karena menangis. "Semua ini tuh apa maksudnya? Kenapa pergi begitu aja?" lirihnya lagi.

"Apa aku bisa berdiri lagi seperti dulu kalau nggak ada kamu? Sedangkan pondasi terkuatku sedang goyah dan rapuh,” Setelahnya ia kembali menangisi kepergian Renjun yang meninggalkan bekas sangat mendalam di hatinya. Sekarang ia mengerti maksud dari pesan Renjun waktu itu.

***

A/N :

Haiii! 3 hari tidak berjumpa, saya balik lagi! Semoga suka! Jangan lupa vote dan komentarnya!

From The Future📍 Markren ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang