Part 21

45 4 0
                                    


Indira menangis tersedu-sedu dalam pelukan ibunya, setelah menceritakan semua yang sudah terjadi antara dirinya dan kakaknya. Sungguh dia benar-benar ingin kakaknya bisa meraih kebahagiaan bersama pria yang dicintainya, namun apa daya niat untuk memberitahukan dan menjelaskan semua kesalahpahaman itu terhalang rasa ketakutan yang begitu besar dalam hatinya. Indira juga merasa sangat bersalah dan menyesal atas kebodohannya di masalalu, karena tingkah bodohnya itu lah dia sudah menyakiti banyak orang termasuk Jovan, suaminya.

Jovan, laki-laki yang begitu baik dan sabar. Laki-laki yang sangat mencintainya, yang selalu ada untuknya. Dia yang selalu memberikan dukungan pada Indira, meskipun hatinya tersakiti. Indira merasa bodoh karena terlalu dibutakan oleh obsesinya sehingga dia mengabaikan laki-laki sebaik Jovan. Seiring berjalannya waktu perlahan Indira mulai merasakan debaran aneh dihatinya setiap kali bersama Jovan, dan perlahan rasa itu tumbuh semakin besar dan mengalahkan obsesinya. Atas kesabaran Jovan itu lah mereka saat ini dapat membina keluarga kecil yang bahagia.

Ya, bahagia. Indira merasa sudah sangat bahagia dengan keluarga kecilnya, namun ada rasa bersalah yang begitu besar dihatinya. Bagaimana mungkin dia bisa bahagia seperti ini sedangkan sang kakak sangat menderita saat ini, kesedihan dan kesakitan begitu terlihat jelas dimata sang kakak.

"Sudahlah sayang, semua sudah terjadi yang terpenting sekarang kita harus memberikan dukungan kepada kakakmu."

"Tapi apa mungkin bisa ma, mereka selalu saja bertengkar setiap kali bertemu, beberapa kali Dira melihat Kak Fera menangis sambil memandang foto pertunangan mereka." Ucap Indira masih dengan tangisannya.

"Mereka hanya belum bisa berdamai dengan hati mereka masing-masing, mereka masih sama-sama menjunjung tinggi ego mereka. Kamu tenang saja sayang, mama akan coba bicara lagi pada kakakmu nanti!" Indira mengangguk dalam pelukan ibunya.

"Andaikan Kak Fera, ngijinin Dira buat jelasin semuanya. Dira pasti sudah melakukannya sejak dulu. Tapi Kak Fera benar-benar tidak ingin aku menjelaskannya."

"Mungkin kakakmu punya alasan, kenapa dia melarangmu mengatakan segalanya. Kamu tau kan bagaimana keras kepalanya kakakmu?" Indira mengangguk sambil mengusap pipinya yang basah akan air mata.

Indira merasa sedikit lega, setidaknya orang tuanya sudah tau akar permasalahannya. Dia berharap kesalahpahaman ini cepat selesai.

"Mama nggak mau di anter Jovan, sebentar lagi kayaknya dia pulang." Ucap Indira saat Liana pamit pulang.

" Nggak usah, mama jalan kaki saja sekalian olahraga."

Rumah Indira dan orang tuanya memang masih berada dalam satu komplek jadi tidak heran jika Liana sering jalan-jalan sendirian ke rumah anaknya itu.

"Ya udah hati-hati, ma." Liana mengangguk, dan berlalu pergi dari rumah Indira.

*****

Indira tersentak kaget saat ada sepasang tangan kekar yang memeluknya dari belakang. Tangan mungilnya mengelus pipi sang suami yang saat ini sedang menyandarkan wajahnya dibahunya.

"Kamu ngagetin aja." Jovan tidak mendengarkan protesan sang istri, dia justru membenamkan kepalanya di ceruk leher istrinya.

"Lagi mikirin apa?" Tanya Jovan dengan menyandarkan dagunya dibahu Indira lagi .

"Aku hanya berpikir, bagaimana lagi cara untuk mendamaikan Kak Fera dengan Kak Reynard." Ujarnya dengan mata sendu yang memandang keluar jendela.

Jovan menghela nafas berat, istrinya masih saja memikirkan itu semua. Padahal Jovan sudah mengatakan untuk tidak terlalu memikirkan itu semua toh Fera juga sudah kembali. Jovan hanya tidak ingin istrinya jatuh sakit karena memikirkan masalah Fera.

"Jangan terlalu dipikirkan, kamu dan kakakmu juga sudah sama-sama tau kesalahan kalian. Kalau pun Fera dan Reynard berjodoh pasti akan ada jalan untuk mereka kembali." Jovan merasakan lengannya digenggam begitu erat oleh Indira.

Perlahan Jovan melepas pelukannya dan membalikkan tubuh Indira. Tangannya terulur untuk mengelus pipi putih Indira. Indira hanya diam seakan terbius oleh sentuhan lembut suaminya. Indira dapat melihat pancaran cinta dari manik mata didepannya, sungguh dia sangat beruntung dicintai oleh laki-laki didepannya itu.

"Cobalah untuk memaafkan dirimu sendiri, aku tidak mau kamu sakit karena terlalu stres memikirkan ini semua."

"Tapi aku belum bisa tenang sebelum Kak Fera bisa meraih kebahagiaannya, kamu tau aku yang sudah menghancurkan kebahagiaannya, aku yang sudah memupuskan impiannya, semua karena aku." Air mata kembali luruh dari mata Indira setiap kali mengingat kebodohannya.

"Iya aku tahu, tapi mungkin memang sudah takdirnya seperti ini sayang, aku yakin Fera akan mendapatkan kebahagiannya nanti, walaupun tidak bersama Reynard."

"Kak Fera masih sangat mencintai Kak Reynard."

"Iya, nanti aku coba bicara lagi sama Reynard agar mau memaafkan kakakmu."

"Terima kasih sayang, kamu selalu mendukungku selama ini. Bahkan aku merasa sangat kecil dan nggak pantas buat kamu." Ucap Indira sendu.

"Sstt..kamu ngomong apa sayang, kita memang harus saling mendukungkan dalam rumah tangga. Dan perlu kamu tau, kamu istimewa dimataku. Jangan pernah merasa kecil dan nggak pantas. Aku tidak sesempurna itu!" Indira tersenyum dan menghambur kedalam pelukan suaminya.

"Aku sayang kamu." Ucap Indira sambil membenamkan kepalanya didada bidang suaminya. Jovan mengecup puncak kepala istrinya berkali-kali.

"Iya, aku juga sayang kamu." Jovan mengelus lembut punggung sang istri.

"Baiklah sudah nangis-nangisnya, sekarang waktunya kamu memanjakanku." Indira terkekeh dan mencubit pelan pinggang suuaminya.

"Dasar mesum." Gumam Indira.

"Aakkhhh..!" Indira terpekik kaget saat Jovan tiba-tiba menggendongnya ala bridal style, Indira segera mengalungkan tangannya ke leher sang suami.

Indira pasrah saat Jovan menurunkannya di ranjang dan segera menindihnya. Mereka menikmati malam kenikmatan dibawah cahaya bulan yang masuk dari celah jendela kamar mereka.

*****

Jovan menggeliat saat merasakan panas matahari menerpa wajahnya, tangannya meraba-raba samping tempat tidurnya namun tidak menemukan keberadaan istrinya.

"Huueekk..hueekk.." Jovan membuka matanya saat mendengar suara seseoarang muntah.

Dia segera mengenakan boxernya yang terbuang dilantai dan berlalu kekamar mandi. Dan benar saja, dia melihat istrinya sudah tertunduk di westafel dengan wajah pucat.

"Pusing?" Tanya Jovan sambil memijit tengkuk istrinya, Indira hanya menggeleng lemah masih dengan memuntahkan isi perutnya.

Indira segera membasuh mukanya dan membalikkan tubuhnya. Dia merasa sangat lemas dan tak bertenaga untuk berjalan.

"Kita ke dokter ya." Ucap Jovan sambil menuntun tubuh istrinya kembali ke atas ranjang.

"Nggak usah, aku mungkin cuma masuk angin. Dibuat tidur sebentar nanti juga akan pulih."

"Kamu yakin hanya masuk angin?" Tanya Jovan, dia berharap Tuhan sudah mengabulkan doanya.

"Iya sayang, emang aku kenapa kalau nggak masuk angin begini." Ucap Indira polos, Jovan terkekeh dan menggesekan hidungnya ke hidung Indira.

"Kamu tidak melihat kalender, kayaknya kamu belum menstruasikan bulan ini?"

Indira tertegun mendengar pertanyaan suaminya. Apa mungkin?
Indira baru sadar dia belum datang bulan. Semoga saja ini kabar baik, batin Indira.
Dia tersenyum pada Jovan sambil mengelus perutnya.

"Semoga dia tumbuh disini." Gumam Indira dengan senyumannya.

"Kita periksananti!" Ucap Jovan sambil mencium kening Indira lama.

Luka Dalam CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang