Perginya Nadya

17.3K 820 61
                                    

Steve memutar gagang pintu, tetapi tidak bisa. Pintu terkunci, itu artinya, di dalam ada orang. Dugaannya benar jika Nadya ada di dalam sana. Steve mengetuk pintu dengan memanggil Nadya berulang kali, tetapi istrinya itu tetap tidak bergeming. Bahkan menjawab saja tidak mau.

"Sayang, buka atau aku dobrak pintunya."

Nadya tetap diam. Steve semakin dibuat frustrasi karena Nadya masih saja diam dan tidak mau menyahuti perkataannya.

"Sekali lagi aku tanya, kamu buka pintunya atau aku dobrak," ancam Steve sekali lagi.

Seakan berhasil dengan usahanya, Steve tersenyum senang begitu Nadya mau membuka pintu untuknya.

"Sayang, kamu nggak papa, kan?" tanya Steve dengan raut khawatir.

Nadya yang melihat itu hanya tersenyum getir. Rasa kecewa itu tentunya semakin dalam saat melihat suaminya.
"Iya, Mas."

Steve menghembuskan nafasnya lega.
"Sayang aku mau jelasin semuanya sama kamu. Kamu dengerin aku, ya?"

Nadya menggeleng.
"Aku lagi nggak mood bahas itu, Mas. Aku ngantuk. Boleh aku lanjut tidur?" izinnya kepada sang suami.

Bukan untuk melanjutkan tidur. Hanya saja Nadya ingin menghindari suaminya untuk sementara ini--untuk menenangkan pikirannya yang kalut. Semua ini dilakukan supaya rasa kecewa dan marahnya kepada suami menyurut dahulu, baru dia akan mendengarkan penjelasannya.

Nadya tidak ingin terburu-buru. Dia ingin Steve menyadari dulu kesalahannya. Dan juga, tentunya isi hatinya. Apakah masih tetap untuknya, atau sudah berpindah secepat itu?.

Jika memang dirinya berharga untuk Steve, maka tidak masalahkan, jika Nadya membuat Steve berjuang sedikit lagi untuk mengejar maafnya? Dan nantinya mereka bisa mengejar kebahagiaan itu bersama-sama. Tanpa pengganggu ataupun perusuh. Seperti pelakor, contohnya.

Steve mengiyakan, menghargai keinginan istrinya yang tidak menerima kehadirannya untuk saat inu. Mungkin dengan ini Nadya bisa menenangkan dirinya dari kekecewaan yang dirinya buat. Dan untuk Steve, ini juga sesi untuk merenungi kesalahannya, mengapa Ia bisa sefatal ini. Hingga seluruh keluarganya memaki dirinya.

"Aku masuk ya, Mas. Malam ini aku sama Nathan nginep disini dulu. Mas nggak perlu khawatir, aku baik-baik aja."

"Iya, sayang. Mas minta maaf, nanti Mas jelasin semuanya sama kamu. Tanpa ada yang Mas tutupi. Kamu istirahat dulu, jaga kesehatan. Makan kalau kamu lapar, jangan ditahan. Sayang jangan nangis, Mas mohon.." ucapnya.

Mendengar kalimat perhatian suaminya itu untuknya, Nadya merasa terharu. Air matanya mengalir. Suaminya terlihat begitu tulus mengatakan. Nadya juga sangat merasakan kasih sayang suaminya itu. Tetapi dia juga tidak bisa melupakan begitu saja masalah tadi. Mungkin bagi kalian ini sepele, tapi tidak untuk Nadya. Ini masalah besar, dimana dirinya direndahkan di depan banyak orang, sedangkan suaminya hanya menjadi penonton. Bukan tameng yang akan melindunginya dari orang-orang jahat yang ingin merendahkannya.

Nadya menutup pintu dengan pelan, mungunci pintu itu, lalu tubuhnya seketika merosot kebawah. Air matanya semakin deras menetes. Menciptakan garis air di setiap pipinya. Nadya mengusap air matanya. Tidak ada gunanya menangis. Dirinya harus kuat untuk anaknya.

Saat ini prioritasnya hanya putranya, Nathan. Untuk Bella, Nadya tidak berhak mengikut campurkan dengan masalah dirinya. Dia anak Steve, tanggung jawab penuh di tangan Steve. Maka dari itu, dia hanya bisa membawa Nathan. Itu saja sudah cukup untuk mengingatkan dirinya, bahwa Ia harus kuat untuk anaknya.

Nadya beranjak ke atas ranjang. Memandangi wajah putranya yang damai saat tidur. Putranya ini duplikat suaminya. Nadya tidak bisa berhenti mengingat Steve jika terus melihat Nathan di dekatnya. Sekilas mereka begitu persis. Meskipun sang ayah dari putranya sudah menua, tetapi tidak bisa menghilangkan kemiripan mereka.

***

"Kami pulang dulu, ma, pa." pamit Steve kepada orang tuanya.

Pagi sekali, Steve mengajak Nadya beserta Anak-anaknya untuk pulang. Untungnya istrinya itu mau menurutinya untuk pulang. Itu berarti istrinya sudah berhasil memenangkan dirinya, dan siap untuk mendengarkan penjelasannya. Begitu pikir Steve.

Berbeda dengan Nadya. Dia bukannya sudah memaafkan Steve. Hanya saja dirinya juga perlu pulang ke rumah mereka. Barang-barang keperluannya berada di sana semua. Nadya dan Nathan perlu berganti pakaian, dan di rumah ini, mereka tidak meninggalkan pakaian.

"Iya, kalian hati-hati. Jaga kesehatan ya, Nadya. Jaga juga cucu-cucu mama," ucap mama Anne.

Nadya mengangguk.
"Mama, Nadya juga minta maaf kalau ngerepotin." Dalam hatinya, Nadya juga mengucapkan maaf untuk hal lain.

"Nggak sayang. Mama malah suka kalau kamu sering-sering kesini. Mama jadi ada temannya, nggak kayak itu.. di kamar mulu," ucapnya sambil menunjuk Sella yang duduk di sofa.

"Biarin, orang kerjaan kok," celetuk Sella membela diri.

"Steve, jaga anak istrimu. Jangan sampai masalah kalian berlarut-larut, cepat selesaikan. Nggak baik suami istri berantem lama-lama." Ucap papa Haryo menasehati.

"Iya, pa. Jangan khawatir, Steve pasti jagain mereka." ucap Steve dengan merangkul pundak istrinya.

Nadya tersenyum.
"Yaudah, pamit ya, ma, pa. Sella, aku pulang, ya. Assalamu'alaikum."

"Waalaikumsalam."

Di perjalanannya pulang, Nadya hanya diam, sesekali berbicara kepada Nathan yang Ia pangku sambil menyusu. Tanpa memperdulikan keberadaan Steve.

Sesampainya di rumah. Nadya langsung menuju kamarnya, tujuannya untuk mempersiapkan pakaian kerja Steve. Di rumah mama Anne, mereka sempat sarapan dulu. Jadi pagi ini, Nadya tidak perlu repot untuk membuat sarapan.

"Sayang, Mas berangkat. Kamu hati-hati di rumah. Tunggu Mas pulang dari kantor. Kamu dengerin semua penjelasan Mas nanti. Mas sayang kamu," ucap Steve dengan mencium kening Nadya setelahnya.

Nadya hanya mengangguk mengiyakan.

"Bunda hati-hati di rumah. Bella berangkat ya."

Setelah anak dan suaminya pergi. Nadya bergegas menyiapkan pakaiannya untuk di masukkan ke koper kecil miliknya. Tidak banyak, hanya berisi beberapa pakaiannya, dan juga pakaian Nathan tentunya. Keperluannya sudah masuk semua. Kini Nadya meraih dot susu dan beberapa biskuit Nathan untuk di perjalanan mereka jika Nathan menginginkannya.

Nadya berniat untuk mengunjungi rumah mamanya. Tanpa pamit. Ia sengaja bersikap biasa saja tadi, agar Steve tidak curiga bahwa Ia masih marah dan kecewa, sehingga memutuskan untuk kabur lagi. Mungkin dengan ini, Steve bisa menunjukkan usahanya lagi.

Nadya segera menuju ke bandara. Pesawatnya berangkat dua jam lagi. Ia akan menunggu di sana dengan tenang, di rumah ini, Ia masih was-was jika ada yang melihatnya pergi dengan koper lalu mengadukan kepada Steve. Semalam Nadya sempat memesan tiket itu. Inilah tujuannya, untuk membawa Nathan mengunjungi rumah neneknya.

Nadya segera mematikan ponselnya setelah taksinya datang. Takut-takut kalau Steve menghubungi menanyakan keberadaannya. Nadya pasti tidak bisa menjawab. Biarlah Steve curiga, ini juga demi kebaikannya. Untuk menyembuhkan sakit hatinya, mungkin.

"Yeay, sebentar lagi Nathan ketemu nenek. Seneng nggak sayang? Bunda seneng banget tau, kita mau ketemu nenek," ucapnya kepada sang putra.

Anaknya itu terlihat senang, dengan tawa yang memperlihatkan mulut dengan dua giginya itu. Nadya merasa tenang melihat putranya yang tersenyum. Beruntung Nathan masih sangat kecil, jadi tidak perlu melihat kedua orang tuanya bertengkar seperti ini. Kabur-kaburan.

Sebenarnya dirinya juga bingung bagaimana menjelaskan kepada ibu kandungnya. Mengapa Ia datang sendiri, tidak dengan suaminya. Pasti mamanya itu akan curiga. Tapi tidak masalah, Nadya akan jujur dengan mamanya. Percuma saja jika Ia berbohong. Mamanya tidak akan semudah itu untuk percaya, mamanya kenal betul dengannya, karena memang anaknya, mamanya yang melahirkannya.

TBC

***

Gimana part ini? Masih suka, atau malah engga?🤣

Vote komen, kuy. bikin aku lebih lebih semangat ngetik untuk lanjutin cerita ini.

Pastiin part sebelumnya juga di vote, aku pasti bakal seneng banget, hehe..
*Maksa ini woi.

Kaga ah, becanda..

See U❣

PRIA TUA-KU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang