01 ; Awal Mula Katanya

2.5K 366 216
                                    

Semua manusia memiliki dua ketakutan yang sudah ia miliki sejak lahir ; yaitu takut akan suara keras dan takut akan jatuh.

Ya, semua manusia pada normalnya takut dengan suara keras dan jatuh bukan? Tapi bukannya kita bisa tidak takut lagi akan kedua hal itu. Ya, mungkin saja dengan menjadi seorang yang pemberani.

Seperti misalnya jika kamu mendengar suara keras, kamu harus bisa menutup telingamu agar suara tersebut tidak masuk ke indera pendengaranmu dan jika engkau berada di tempat ketinggian engkau tidak boleh takut akan jatuh dari situ, kamu harus berhati-hati jika berada di situ.

Ya, semua orang harus berani untuk melawan ketakutannya.

Ya, semua orang. Tanpa pengecualian sekalipun, walaupun engkau adalah anak seorang raja atau anak seorang presiden. Engkau harus berani dan tangguh.

"Yera, mau makan?" Tanya seseorang yang tengah berada di muka pintu kamarnya sambil menatap Yera yang tengah duduk tersungkur di ujung ranjang.

"Tidak usah, aku akan sarapan di sekolah." Ketusnya dingin, tanpa memperdulikan orang yang tengah bertanya kepadanya.

Wanita tersebut menghembuskan nafasnya secara kasar dan pergi meninggalkan kamar milik seorang gadis muda. Samar-samar mendengarkan jejak kaki kepergiannya, Ave Shayera Purnamasan melirik sebentar muka pintunya yang tidak ditutup rapat oleh wanita tersebut.

Ave Shayera Purnamasan kembali menatap bingkai foto keluarganya yang sedang bergantung di tangan kanannya. Bingkai foto yang telah dihujani oleh air mata seorang gadis muda yang masih saja memikirkan masa silam tersebut.

Kalau boleh jujur, Ave Shayera Purnamasan yang akrab dipanggil Yera itu sangat membenci tangisan. Tangis itu buat orang yang bodoh dan jika kau menangis, kau adalah orang bodoh tersebut.

Secara tidak sadar, Yera mengatakan dirinya sendiri bodoh.

Bingkai foto yang kira-kira sudah berumur enam tahun lamanya. Bingkai foto—yang kala itu diadakan pemotretan untuk foto keluarganya, umur Yera sekitar sebelas tahun. Yera asyik bermain dengan adiknya dan sesekali kakaknya menganggu dirinya dan adiknya.

"Kak Yera, aku sudah ganteng belum?"

"Sudah dong, kan adik kakak selalu ganteng."

"Mami, kak Gia ngolokin aku. . ."

"Pelaporan cuih,"

"Kakak Gia, adik. Sudah jangan bertengkar!"

"Papi nanti foto sama aku ya? Ya ya?"

Klise memori lama kembali berputar di otaknya, sebuah adegan rekaman singkat tenang percakapan sebuah keluarga yang bahagia melakukan pemotretan foto keluarga.

Tapi siapa yang tahu, jika itu merupakan pemotretan foto keluarga mereka untuk terakhir kalinya. Yera tersenyum tipis menatap foto keluarga miliknya yang telah usang dimakan oleh waktu.

BEPP

Suara alarm di jam tangan kirinya berbunyi, pertanda ia harus segera pergi ke sekolahnya.

"Yera makan du—" ingin melanjutkan ucapannya, pria itu menatap lurus ke arah Yera yang tidak meresponnya. Yera pergi begitu saja dari hadapan dua orang tersebut.

"Sudah mas, biar aku aja yang ngantar bekel buatnya." Wanita tersebut menatap suaminya sambil tersenyum. Ia menatap kepergian Yera, sampai kapan Yera mau menerimanya?

**

Yera mengendari motor Scoopy berwarna hitam menuju sekolahnya, jalanan pagi menuju sekolah kali ini tidak terlalu padat. Yera hanya perlu membutuhkan 15 menit sampai ke sekolahnya.

Guardianship【✓】Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang