37 ; The Privilege of Love

293 88 13
                                    

Yera segera berlari memasuki kafe peninggalan maminya. Ia segera membuka jaketnya dan mengibaskan rambutnya agar segera kering dari basahnya air hujan.

Hujan lebat sedang menerpa kota mereka, Yera yang tadi lupa membawa payung didalam jok motornya langsung berlari masuk ke dalam kafe.

Yera menatap sekelilingnya, keadaan kafe tak seramai biasanya. Mungkin ini akibat persaingan ekonomi antar kafe-kafe tetangga atau mungkin karena orang-orang terjebak hujan diluar sana.

Niat Yera yang semula berjalan menuju ruangan khusus terhalang ketika melihat salah seorang yang tak asing baginya. Yera melangkah mendekati orang tersebut.

"Mark?" Orang yang dipanggil Yera langsung intens menatapnya. Ia langsung menunjukkan senyum manisnya saat Yera menyapa.

"Eh, Yera." Ujar Markus dan Markus memundurkan bangku yang ada didepannya.

"Duduk?" Yera mengangguk lalu duduk di hadapan Markus.

"Enggak pulang?" Markus menggeleng menjawabi pertanyaan yang dilontarkan oleh Yera.

"Tunggu hujannya agak reda, gue nggak bawa jas hujan." Yera mengangguk paham lalu mengangkat tangannya untuk memesan minuman.

"Lo mau nambah? Biar gue yang traktir," ujar Yera sebelum pelayannya pergi membuat pesan Yera sedangkan Markus menggelengkan kepalanya.

"Nggak usah, Yer."

"Ayoklah, nggak-papa. Lo mau apa? Lo mau minuman terfavorit orang-orang yang sering beli disini? Gue pesenin ya!" Ujar Yera segera dan Markus yang mendengarnya merasa tidak enak hati.

"Nanti bangkrut kafe lo, Yer. Mending nggak usah aja," Yera tersenyum tipis.

"Halah nggak-papa, jarang-jarang gue traktir orang kok."

Mereka saling hening, tak satupun berkutik di antara mereka. Yera asyik dengan jurnalnya di atas meja, sedangkan Markus asyik mengerjakan tugas di laptopnya. Sampai akhirnya minuman yang Yera pesan datang.

"Thanks ya," ujar Markus sedangkan Yera memberi jempol kepada Markus.

Yera kembali menatap jurnalnya, ia menghitung berapa persen jumlah keuntungan yang didapat oleh kafe tersebut.

Musik menggema di antara mereka, suara itu berasal dari speaker kafe yang memutar lagu milik Mich dengan judul Lucky One mengalun merdu didalam sana. Markus seketika menoleh ke arah Yera didepannya.

"Yer,"

Yera menoleh ke arah Markus dan menatap penuh tanda tanya ke arahnya.

"Lo percaya nggak sama yang namanya jatuh cinta?"

Yera mengerutkan keningnya. Pikiran Yera dibuat melayang dengan pertanyaan random yang dilontarkan oleh Markus.

"Gue percaya,"

"Tapi, kenapa lo nolak cintanya Dery sama Lukas?" Yera diam tak berkutik sekalipun. Ia tertunduk menatap jurnalnya lalu menatap Markus kembali.

"Ada banyak alasan orang jatuh cinta di dunia ini, Mark. Dari sifat, sikap, kepribadian, penampilan, dan macam-macam. Tapi, ada alasan sulit untuk jatuh cinta, Mark." Markus menatap bola mata indah milik Yera.

"Jatuh cinta itu bukan sekedar alasan yang kusebutkan aja, Mark. Jatuh cinta itu adalah keistimewaan. Istimewa yang sering disalahgunakan sama manusia." Markus menatap penuh tanda tanya ke arah Yera.

"Alasan mengapa kita sulit jatuh cinta. Yaitu ; kita sulit untuk bangun ketika kita sudah terlalu jatuh dalam cinta. Daripada jatuh cinta, mending ganti jadi bangun cinta. Saling membangun didalam cinta itu lebih baik adanya daripada jatuh cinta."

Guardianship【✓】Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang