DI PINGGIR REL KERETA

995 26 1
                                    

Satu Sinar kuning kemilau tiba-tiba menyergap, garang. Hitamnya malam buyar seketika. Bantalan-bantalan rel berderak kaget. Supriyanto melangkah mundur. Kelopak matanya terpejam, menahan silau. Angin keras menampar-nampar wajahnya. Dingin. Menggigit.

Dalam kegelapan pandang ia dapat merasakan debu menyengat lubang hidung; disertai bau sampah yang bertaburan di sekitarnya. Kendang telinganya seakan pecah diledakkan suara hingar-bingar yang sangat membisingkan.

Ketika semua prahara itu perlahan-lahan berlalu dan Supriyanto membuka kelopak matanya kembali, samar-samar masih terlihat lampu belakang gerbong terakhir, bergoyang lembut seperti penari yang kelelahan. Kian lama kian menjauh. Tinggal titik kuning lemah yang kemudian lenyap ditelan kegelapan malam yang kembali mengelam, semakin hitam. Namun sayup sampai masih terdengar bunyi nafas naga besi itu berdesas-desus teratur; seolah-olah sadar bahwa tempat peraduan yang nyaman tetap menanti dengan setia. Perjalanan panjang itu akan berakhir di stasiun Bandung.

Dan di halte Cikudapateuh, perjalanan hidup segelintir anak manusia justru baru saja dimulai. Supriyanto menyeberangi rel sambil terbatuk-batuk karena sisa debu masih menempel di lubang hidung. Ia memasuki gang sempit yang membelah rumah-rumah liar sepanjang rel kereta. Rumah-rumah tanpa beranda, tanpa penerangan listrik, bahkan mungkin juga tanpa harapan walau hanya sejumput belaka.

Dari balik dinding bilik salah satu rumah petak yang dilaluinya, terdengar suara cekikik perempuan; mirip ringkik kuda binal tengah birahi. Dan suara serak seorang lelaki mengumpatkan ucapan kotor menyebut-nyebut sesuatu mengenai kemaluan si perempuan.

Supriyanto bergidik seram. Terus saja melangkahkan kaki dalam kegelapan malam. Gang yang dilaluinya membelok tidak karuan. Sekali ia hampir saja menabrak pintu, tegak bingung lalu kemudian melihat sebuah celah sempit di sebelah pintu untuk masuk ke gang berikutnya. Baru dua tiga langkah memasuki celah tadi, Supriyanto dibuat kaget oleh makian kasar seseorang.

"Haram jadah! Kau babi busuk!"

Supriyanto tertegun. Lalu terdengar suara lain menimpali:

"Aku tak sengaja Kang..."

"Tak sengaja pantatmu. Lihat buku bonku basah semua."

"Nanti kujemur, Kang..."

"Awas kalau rusak! Kau tahu, malam besok yang keluar pasti nomor 35 atau 53. Lihat! Aku pasang 1000 untuk 35 dan 500 untuk 53. Dan justru kuah sayurmu pas tumpah di bon bernomor mahal ini. Sialan! Sini, dekatkan lampu biar kuperiksa, apakah..."

Geleng-geleng kepala Supriyanto mendengar pertengkaran sengit di balik dinding papan yang dilewatinya. Teringat, baru tiga hari yang lalu surat kabar di kota ini menyiarkan ucapan Walikota Bandung bahwa Bandung sudah bebas dari judi buntut. Itu pun setelah satu bulan penuh diadakan razia besar-besaran oleh polisi dibantu Laksusda.

Mestinya Supriyanto mendobrak masuk ke rumah barusan, menyita barang bukti yang ada dan cukup menangkap para pelaku. Tetapi daerah ini tidak termasuk wilayah hukum kantor dinasnya. Dan ia hadir di sini bukan pula sebagai petugas. Melainkan sebagai pribadi. Itupun dengan tujuan, yang semakin sedikit orang tahu akan semakin baik.

Akhirnya ia melihat nyala lampu samar-samar di depannya. Sebuah pintu tampak menganga terbuka. Seseorang tampak menyelinap dari kegelapan di seberang pintu. Siap masuk kembali ke dalam rumah. Namun segera dia menunggu, ketika melihat ada seorang pendatang tak dikenal.

"Selamat malam... Neng," sapa Supriyanto setelah menyimak sebentar orang di depannya.

Perempuan itu berumur sekitar 25-an, agak pendek. Tetapi dadanya besar, begitu pula pinggulnya. Ia mengenakan rok terusan warna gelap, dandanannya tidak teratur.

PRIMADONA  - ABDULLAH HARAHAPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang