Bunyi dering bel mengejutkan Supriyanto. Lewat pintu kamarnya yang terbuka, ia lihat kakaknya berlari-lari ke ruang depan. Pakaian yang dikenakan Suprihatin gemerlapan, sekilas tampak wajahnya yang riang gembira.
Supriyanto segera tahu siapa yang menekan bel. Segera ia duduk di kursinya, pura-pura menekuni buku-buku pelajaran yang sengaja ia serak-serakkan di meja.
Benar saja dugaannya. Tak lama ia dengar langkah kaki, dan suara berat menyapa:
"Hai, kawan!"
Supriyanto mengangkat muka. Sahutnya:
"Hai, bang Laung."
"Lagi asyik belajar ya? Bagus. Calon adikku harus anak pintar. Supaya kelak, bisa jadi polisi tauladan. Nih. Kubawakan sesuatu untukmu," dan Parlaungan, kekasih tetap kakaknya menyodorkan sebuah bingkisan yang diterima Supriyanto dengan malu-malu.
"Nggak usah repot-repot bang," ujarnya berbasa-basi.
Dulu, Parlaungan yang akhirnya membelikan Supriyanto sepasang sepatu Adidas. Bingkisannya kali ini, satu set pulpen Parker, model terbaru.
"Terima kasih, bang Laung. Aku akan belajar sungguh-sungguh," Supriyanto mengikrarkan janji.
Dari belakang punggung Parlaungan yang tinggi kekar itu, terdengar suara Suprihatin mengoceh:
"Apa! Buktinya, hari ini dia bolos lagi!"
Supriyanto ingin mencakar kakaknya. Untung Parlaungan menengahi.
"Kalau tak pernah bolos sekolah, bukan laki-laki namanya..."
Namun toh Parlaungan tidak semurah hati itu. Ia melanjutkan dengan pertanyaan sambil lalu:
"Apa hukumannya kalau mangkir sekolah lebih dari tiga hari, Yanto?"
"Diberi peringatan oleh wali kelas, bang," jawab Supriyanto tersipu.
"Kau senang dibikin malu di depan teman-temanmu?"
"Tidak dong!"
Parlaungan tertawa lembut, terus berlalu ke belakang untuk menemui calon mertua perempuannya. Suprihatin menguntit di belakang kekasihnya, masih terus mengomel:
"Kau terlalu memanjakan adikku, bang Laung. Kau pula yang dulu mengajarinya merokok..."
Di kamarnya, Supriyanto nyengir kuda. Ia sudah tahu apa jawaban Parlaungan: laki-laki yang tidak merokok itu, banci! Supriyanto kemudian teringat, apa nasihat Parlaungan dulu, yang sampai sekarang dipatuhinya.
"Kalau ingin merokok, Yanto, belilah dari uang sakumu. Jangan dari saku orang lain."
Setelah kakaknya meninggalkan rumah Bersama Parlaungan, Supriyanto diperingatkan ibunya agar tidak lupa mandi dan makan pagi. Ia mematuhi perintah itu, kemudian membantu ibunya menyetrika. Ketika itulah ia lihat air mata menggenangi pipi ibunya.
"Mama menangis," desah Supriyanto, terkejut.
Cepat-cepat ibunya menyeka air mata, lantas mencoba tertawa. Jawabnya:
"Lihat. Aku tidak menangis lagi bukan?"
"Mengapa mama menangis?"
Supriyanto mendesak, dan diam-diam kuatir bahwa ibunya menangis akibat kelakuan ayahnya. Ayahnya yang mengaku sebagai manusia terhormat, berlagak suci di rumah, nyatanya di luar sana mengencani pelacur.
Ibunya membenahi pakaian yang sudah selesai disetrika, menarik nafas dalam, kemudian:
"Kau senang sama bang Laung, nak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
PRIMADONA - ABDULLAH HARAHAP
AdventureSebuah novel lama karya Abdullah Harahap yang terbit dalam bentuk stensilan di tahun 1980an, berkisah tentang petualangan seorang perwira polisi bernama Supriyanto.